close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sebelum ditemukannya cadangan dari lapangan minyak dan gas (migas) yang baru, operasi produksi minyak dan gas bumi masih mengandalkan blok migas yang sudah berumur tua. / Antara Foto
icon caption
Sebelum ditemukannya cadangan dari lapangan minyak dan gas (migas) yang baru, operasi produksi minyak dan gas bumi masih mengandalkan blok migas yang sudah berumur tua. / Antara Foto
Bisnis
Jumat, 13 September 2019 10:41

Pertamina ungkap tantangan mengelola blok migas tua

Butuh teknologi tinggi dan biaya yang tak sedikit untuk mengelola blok migas berumur tua.
swipe

Sebelum ditemukannya cadangan dari lapangan minyak dan gas (migas) yang baru, operasi produksi minyak dan gas bumi masih mengandalkan blok migas yang sudah berumur tua.

Blok migas tua tentu saja memiliki kandungan migas yang semakin menurun. Guna mendongkrak produktivitas di ladang-ladang yang sudah tua, butuh teknologi yang terbaru agar hasil yang didapat bisa maksimal ke depannya.

Data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat ada sebanyak 89 wilayah kerja (WK) eksploitasi per 2018. Sebanyak 40 WK di antaranya sudah beroperasi lebih dari 25 tahun. Angka ini mengindikasikan blok-blok migas di Indonesia sebagian besar berusia tua.

General Manager Pertamina Hulu Mahakam, John Anis, mengutarakan kegiatan operasi di lapangan migas yang berusia tua memiliki tantangan khusus. Hal ini terkait bagaimana mempertahankan volume produksi berbekal inovasi dan teknologi.

Sebagai contoh, pengembangan shallow gas yang berbekal data seismik. Basis data seperti ini belum solid karena hanya menghasilkan interpretasi berdasarkan gambar. Di sinilah inovasi teknologi dibutuhkan sehingga bisa mengolah berbagai atribut seismik menjadi data yang lebih komprehensif.

“Kami kembangkan teknologinya, bagaimana dari atribut seismik bisa lebih dapat data solid. Ini yang sedang kami kembangkan,” ujar John, Jumat (13/9).

Data yang solid bisa membantu operator migas menyusun beragam skenario untuk menggali potensi yang tersimpan dari wilayah kerja berusia tua. Sementara itu, Senior Manager Subsurface Hess, William Ramsay, berpendapat bahwa dalam pengelolaan WK mature atau tua, data seismik berkualitas tinggi bukan lagi kemewahan melainkan sudah menjadi kebutuhan dasar.

“Data tersebut membantu memitigasi proyek, sehingga proyek dapat lebih berdaya saing,” tuturnya.

Setidaknya terdapat tiga hal mendasar dalam pengelolaan WK berusia tua. Pertama, keamanan harus diterapkan secara lebih ketat. Kedua, biaya pemeliharaan harus dijaga agar efisien namun tetap memberikan output optimal. Ketiga, operator secara intensif terus mencari sumber tambahan produksi berbekal inovasi teknologi, seperti Enhanced Oil Recovery (EOR).

Selain itu, ada beberapa potensi optimasi produksi dan penerapan teknologi lain untuk eksplorasi di cekungan matang. Contohnya, program pengeboran sumur produksi yang terintegrasi serta pemanfaatan teknologi pengeboran untuk target zona dalam dengan kondisi High Pressure High Temperature (HPHT).

Beragam tantangan muncul ketika mengelola lapangan-lapangan tua. Pada satu sisi, operator perlu untuk melakukan optimasi dalam mempertahankan jumlah produksi tetapi pada sisi lain juga berupaya untuk terus menambah jumlah cadangan. Malaysia dan Thailand juga mengalami masalah yang sama, mengingat cekungan yang ada juga sudah berproduksi dalam waktu yang lama.

Di Thailand misalnya, Lapangan Erawan dan Bongkot yang menjadi tulang punggung produksi secara total memproduksi 2,2 bcf per hari dan mendominasi 70% produksi harian gas Thailand, berdasarkan data Wood Mackenzie per akhir 2018. Optimisasi pengeboran menjadi kunci untuk menjaga tingkat produksi di Gulf of Thailand (Teluk Thailand).

Biaya besar 

Dalam pengembangan EOR sendiri membutuhkan biaya yang besar serta teknologi yang cukup matang yang bisa diterapkan pada kondisi saat ini. Pertamina sebagai salah satu operator yang memiliki banyak blok migas tua, menuju ke tahap EOR di mana memiliki metode inovasi polimer.

Presiden Direktur PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan PT Pertamina EP menerapkan metode EOR dengan implementasi chemical EOR berupa polimer untuk mendukung pencapaian target produksi.

Pengembangan lapangan minyak akan selalu melalui 3 tahapan yaitu primary, secondary, dan tertiary. Lapangan-lapangan Pertamina EP telah melalui proses primary dan sekarang sedang menuju proses secondary dan tertiary. Dengan minyak tersisa sebesar 8,2 BSTB, implementasi pattern waterflood dan EOR akan mengoptimalkan produksi minyak dan penambahan cadangan,” kata dia beberapa waktu lalu.

Nanang menjelaskan bahwa Pertamina EP telah memulai implementasi chemical EOR berupa polimer di Lapangan Tanjung pada Desember 2018 setelah melakukan kajian pada 2016 dengan bantuan pakar-pakar dari Institut Teknologi Bandung.

Injeksi polimer merupakan teknologi yang telah terbukti dan telah diimplementasikan lebih dari 30 tahun di berbagai lapangan minyak di dunia dengan rata-rata peningkatan Recovery Factor (RF) sebesar 5-10 persen terhadap OOIP.

“Pertamina EP sangat optimis melakukan waterflood dan EOR. Berdasarkan perkiraan produksi, produksi kumulatif minyak diharapkan sebesar 245 MMSTB melalui waterflood dengan puncak produksi sebesar 60.000 bopd pada 2026 sedangkan tahap tertiary akan menghasilkan produksi kumulatif sebesar 133 MMSTB dengan puncak produksi sebesar 30.000 bopd pada 2030,” jelas Nanang.

Dalam lima tahun terakhir, ada beberapa lapangan di dunia yang sudah melakukan proyek polymer flooding di antaranya adalah Venezuela (2017), Brazil (2017), dan Suriname (2014-2016). Di Indonesia, terdapat 4 KKKS yang sudah menerapkan chemical EOR yaitu Chevron, Medco, CNOOC, dan Pertamina.

Dalam waktu lima tahun ke depan, Pertamina EP akan melakukan pilot dan full scale chemical EOR di 5 struktur, yaitu Tanjung, Sago, Rantau, Jirak dan Limau, dan CO2 flooding di 3 struktur, yaitu Sukowati, Jatibarang dan Ramba.

Project Tanjung Polymer Field Trial di Lapangan Tanjung ini dimaksudkan untuk meningkatkan produksi Lapangan Tanjung melalui tahap secondary recovery dari optimisasi waterflood serta tertiary recovery dengan teknologi chemical EOR baik dari fase pilot maupun full scale. Adanya optimisasi waterflood diproyeksikan mampu menaikkan recovery factor Lapangan Tanjung dari 24,05% menjadi 27,25% pada 2035.

Untuk injeksi polimer di Pattern 12 Lapangan Tanjung diharapkan diperoleh minyak sampai dengan 45 MSTB pada 2021 dan penurunan water cut sumur-sumur monitor sebesar 5%. Desain injeksi dibuat dengan kebutuhan polimer sebanyak 70 ton, volume larutan polimer yang diinjeksikan adalah 200 ribu barrel dengan konsentrasi 2.000 ppm dan laju injeksi sebesar 1.000 barrel per hari.

Tanjung Field dipilih dengan menggunakan polimer karena karakter low recovery faktor dan high level dari cadangan heterogen. Saat ini Tanjung Polymer Field Trial telah memasuki fase ketiga. “Diharapkan dengan Polimer ini , dalam jangka waktu dua tahun akan dapat diperoleh penambahan minyak sebesar 45.000 BOPD”, ujar Nanang. (Ant)

img
Laila Ramdhini
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan