Pertanian 4.0: Dari traktor tanpa awak hingga drone penebar benih
Kinerja sektor pertanian kian moncer di masa pandemi. Ironisnya, hal ini tidak diikuti perubahan pada kesejahteraan petani. Nasib dan kehidupan petani masih identik dengan pendapatan yang rendah.
"Ironis karena selama pandemi kontribusi pertanian ke perekonomian itu termasuk paling besar. Tapi, usia petani yang sebagian besar sudah 50 tahunan, hasil (usahataninya) enggak akan bisa optimal," kata pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ahmad Ma'ruf, saat berbincang dengan Alinea.id, Rabu (13/10).
Dua tahun lalu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencatat, lahan baku sawah (LBS) Indonesia seluas 7.463.948 hektare. Angka ini naik 358.000 hektare dari tahun 2018, yang seluas 7.105.145 hektare.
Dari luasan tersebut, produksi padi pada 2020 sebanyak 54,65 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika dikonversikan ke beras setara sebesar 31,31 juta ton. Atau meningkat 21,46 ribu ton atau 0,07% dari produksi beras tahun 2019.
Selain itu, kontribusi sektor pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mengalami peningkatan pada tahun lalu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2020 sektor pertanian menyumbang 13,75% terhadap PDB.
Sektor tersebut kembali tumbuh hingga 12,93% pada kuartal-I 2021 dibanding kuartal sebelumnya. Sumbangannya terhadap PDB mencapai 14,27%.
Pertumbuhan sektor pertanian yang positif itu tidak diimbangi dengan keadaan petani. Selain berpendapatan rendah, profesi petani juga lekat dengan usia renta. Berdasarkan data Survei Pertanian Antar Sensus (SUPAS) BPS pada 2018, total rumah tangga pertanian Indonesia berjumlah 27.682.117 dan sebanyak 47,52% atau sekitar 13,16 juta adalah rumah tangga petani padi.
Dari jumlah itu, petani yang berusia di atas 50 tahun ada sekitar 50% dengan 63% di antaranya tidak menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selain itu, berdasarkan data Sensus Pertanian 2013, rata-rata lahan per rumah tangga petani hanya 0,66 hektare dan pendapatan per musim tanam adalah Rp4,95 juta/per hektare atau per bulan sekitar Rp1,25 juta/bulan.
"Artinya pendapatan petani per bulan tidak lebih dari Rp800 ribu per bulan. Jika dibedah lagi, maka 60% dari petani hanya menguasai 1.000 meter persegi artinya pendapatan tidak lebih dari Rp150 ribu per bulan," ungkapnya.
Sedangkan menurut data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian hanya sebesar Rp1,92 juta per bulan, terendah dari 17 sektor yang ada. Dengan kondisi tersebut, wajar jika generasi muda baik yang berasal dari generasi Y, milenial maupun gen Z enggan memilih profesi sebagai petani. Alhasil, regenerasi petani kian terancam.
"Mereka lebih milih buat ke sektor jasa, atau perdagangan yang hasilnya lebih pasti dan lebih banyak," imbuh Ma'ruf.
Seperti diketahui, pada 2020 jumlah penduduk muda Indonesia ada sekitar 64,50 juta jiwa. Dari jumlah tersebut hanya 21% saja yang terjun ke sektor pertanian. Jumah ini jauh lebih sedikit dibandingkan pekerja muda di sektor jasa dan manufaktur yang secara berturut-turut sebanyak 55% dan 24%.
Hal ini diamini oleh Kepala Pusat Pelatihan Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Leli Nuryati. Kata dia, pendapatan di sektor pertanian memang relatif lebih rendah dari sektor lainnya, terutama jika petani tidak mengupayakan pengelolaan lahan pertanian yang serius.
"Banyak masyarakat muda yang menganggap kalau pemerintah kurang memberikan perhatian atau insentif di sektor pertanian," ujar Leli kepada Alinea.id, Minggu (26/9).
Padahal, menurut Leli, rendahnya pendapatan petani bisa juga disebabkan oleh kurangnya pemanfaatan lahan pertanian hingga minimnya pengetahuan dan kemampuan para petani untuk mengakses teknologi dan informasi. Karenanya, untuk mendorong minat para pemuda agar terjun ke sektor pertanian, saat ini pemerintah melakukan berbagai cara.
Beberapa di antaranya adalah dengan penyuluhan pendidikan vokasi dan pelatihan yang dapat mendukung pertambahan usaha petani milenial, serta penyuluhan pendidikan vokasi dan pelatihan yang mendukung program utama Kementerian Pertanian. "Memang kurangnya pendapatan petani ini bisa disebabkan oleh banyak hal," imbuhnya.
Inovasi presisi
Sementara itu, Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakutas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Jangkung Handoyo Mulyo mengatakan, selain masalah regenerasi petani ada hal lain yang menjadi tantangan utama di sektor pertanian, yaitu penyusutan lahan pertanian.
Menurut Jangkung, setidaknya setiap tahun lahan pertanian mengalami penyusutan sekitar 0,03%. Di sisi lain produksi pangan yang tumbuh hingga 0,56% per tahun dalam dua dekade terakhir juga diikuti konsumsi beras yang turut mengalami kenaikan hingga 0,16% per tahun. Hal ini dikarenakan populasi masyarakat yang juga melonjak hingga 1,29% per tahun.
"Kalau ini terus berlanjut, lama-lama kita akan defisit dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras Indonesia harus memenuhinya dari impor," jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (7/10).
Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian Ali Jamil mengungkapkan, salah satu cara untuk meningkatkan produksi pertanian sekaligus mengerek taraf hidup para pekerja di bidang pertanian adalah dengan menerapkan pertanian presisi.
"Kita sedang berusaha meningkatkan produksi, indeks pertanaman, dan produktivitas pangan melalui pertanian presisi," katanya, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Pertanian presisi atau precision farming merupakan sistem pertanian terpadu berbasis informasi dan produksi, untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan profitabilitas produksi pertanian dari hulu ke hilir yang berkelanjutan. Cara ini juga akan meminimalisir dampak yang tidak diinginkan pada lingkungan.
Selain itu, pertanian presisi menggunakan pendekatan dan teknologi yang memungkinkan perlakukan presisi pada setiap simpul proses rantai bisnis pertanian dari hulu hingga hilir sesuai kondisi. Dengan input dan teknik yang tepat, tidak akan terjadi pemborosan sumberdaya.
Singkatnya, petani melakukan tindakan budidaya secara tepat (presisi) berdasarkan informasi yang mereka terima. Dengan pertanian presisi, petani mengolah tanah, menanam, merawat, memanen tanaman secara presisi. Itu dilakukan dengan bantuan perangkat teknologi digital yang membantu petani mampu menghitung jarak tanam secara tepat.
Mulai dari kebutuhan benih dan pupuk, umur panen hingga jumlah panen yang tepat. Aktivitas ini dibarengi dengan penggunaan alat mesin pertanian yang cerdas seperti sensor presisi yang cerdas, satelit, drone, computer, dan lain sebagainya.
Ada beberapa teknologi yang saat ini tengah dikembangkan oleh Balai Besar Pengembangan Mekanisme Pertanian (BBP Mektan) Kementan. Salah satunya adalah Automatic Weather Station Telemetry atau Stasiun Iklim Telemetri Dua Arah (AWS Telemetery).
Peneliti BBP Mektan Astu Unadi mengungkapkan, AWS Telemetery ialah alat yang digunakan untuk mengamati cuaca secara otomatis, intensif, dan kontinu. Selain itu, alat yang telah dikembangkan sejak 2007 lalu itu juga berfungsi untuk mengukur curah hujan, kelembaban udara, temperatur udara, intensitas radiasi, dan kecepatan angin.
"Dalam dua menit, kondisi cuaca di wilayah yang terpasang alat ini akan terekam langsung dan akan langsung terpantau," jelasnya, kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Kamis (14/10).
Astu bercerita, alat ini praktis telah membantu kerja petani untuk melihat kapan waktu yang tepat untuk melakukan berbagai kegiatan pertanian, mulai dari masa tanam hingga panen. Sebab, hanya dengan aplikasi yang telah diinstal melalui smartphone android, semua jadwal pertanian yang sudah ada pada Peta Kalender Tanam akan dikirim langsung oleh pusat AWS Telemetery kepada para petani.
"Karena ini sifatnya terpusat, dari pusat yang ada di Bogor, nanti petani hanya perlu melihat dari kalender pertanian yang ada di HP (handphone) untuk tau cuaca sampai kapan waktu yang tepat untuk bertanam," urai mantan Kepala BBP Mektan itu.
Selain AWS Telemetery, BBP Mektan juga telah mengembangkan alat lain yang dimungkinkan untuk mempermudah kerja petani, seperti Autonomous Tractor, Agriculture Flying Robot dan Rice Transplanter.
Peneliti dari BBP Mektan Sigit Tri Wahyudi menjelaskan, Autonomous Tractor merupakan traktor yang dilengkapi empat roda dan digunakan untuk mengolah tanah dengan sistem kemudi secara otomatis.
Alat ini dikembangkan dengan sistem navigasi Real Time Kinematika (RTK), di mana base rover yang terdapat pada traktor ini berbasiskan modular. Keunggulannya, salah satunya bisa mengolah lahan sesuai dengan peta perencanaan dengan akurasi sekitar 5 hingga 25 cm.
Sistem navigasi yang digunakan oleh inovasi teknologi 4.0 itu juga telah dilengkapi Global Positioning System (GPS) berbasis RTK. "Dengan program yang sudah ada semua, dia (petani-red) bisa melakukan aktivitas lain. Tinggal memantau," kata Sigit.
Teknologi pertanian yang praktis itu, dia bilang, memang sengaja diciptakan untuk menarik minat generasi muda agar masuk ke sektor pertanian. Di saat yang sama, penerapan Autonomous Tractor sebagai salah satu alat dalam pertanian presisi juga dimaksudkan untuk dapat meningkatkan hasil produksi yang lebih tinggi daripada hanya menggunakan traktor konvensional.
Namun demikian, kelengkapan fitur dalam Autonomous Tractor membuat alat yang telah dikembangkan sejak 2015 lalu itu bernilai tak murah. Kata Sigit, satu alat Autonomous Tractor membutuhkan biaya setidaknya Rp500 juta. Sedangkan traktor konvensional hanya dihargai dengan Rp250 juta hingga Rp300 juta.
Mahalnya Autonomous Tractor disebabkan oleh sistem yang dirancang sendiri oleh anak-anak bangsa serta komponen traktor yang masih banyak diimpor dari berbagai negara di dunia.
"Keuntungannya, kita dengan traktor ini kalau ada kendala bisa atasi sendiri. Sedangkan kalau dari luar dan ada kendala, itu kita enggak bisa bongkar sistemnya sendiri," terang Sigit.
Teknologi pertanian 4.0 lain yang dikembangkan oleh BBP Mektan ialah drone. Peneliti dari BBP Mektan Mahendra MT mengungkapkan, teknologi yang terdiri dari drone penebar benih dan drone pemupukan ini diyakini bisa meningkatkan efisiensi biaya produksi padi. Sebab, dengan menggunakan teknologi ini benih padi maupun pupuk dapat terdistribusikan sendiri ke seluruh area lahan, tanpa membutuhkan banyak tenaga manusia.
"Karena semua sudah bisa dilakukan dengan android yang sudah terhubung dengan sistem drone," katanya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (7/10).
Operasional drone penebar benih padi ini terbilang sederhana. Dia bilang, operator hanya memasukan data program ke remote control, kemudian tangki benih padi atau hopper diisi terlebih dahulu. Dari kapasitas 15 kg tangki harus diisi 80% bagian saja atau 12 kg dengan bukaan sebesar 70%.
Drone ini mempunyai kapasitas muat sekitar 15 kg benih padi, kecepatan tanam 2-3 km/jam dengan ketinggian 1,5-2 m dari permukaan tanah, lebar kerja 4 meter, kapasitas kerja 0,8-1 ha/jam (1,00-1,25 jam/ha). Jumlah benih rata-rata 144 butir/meter persegi, sementara dari perhitungan, kecepatan padi yang ditebar dari drone adalah 6,3 m/det (21,6 km/jam).
Meski mudah, petani harus selalu mempertimbangkan kondisi cuaca sebelum mengoperasikan drone. "Karena drone belum dapat dioperasikan dalam kondisi hujan dan berangin kencang," ujar Mahendra mewanti-wanti.
Hadirnya teknologi ini, lanjut ahli mekanisasi itu, sudah bukan merupakan hal baru lagi di sektor pertanian. Sebab, pada 2020 lalu, Kementan bersama perusahaan swasta, salah satunya PT Adi Sakti bekerja sama untuk mengembangkan drone, agar dapat digunakan secara masif oleh petani.
"Kalau masif, mungkin akan ada swasta yang memproduksi bahan bakunya," imbuh Mahendra.
Selanjutnya, teknologi 4.0 lain yang tengah dikembangkan oleh BBP Mektan adalah mesin penanam padi otomatis atau Rice Transplanter Jajar Legowo. Rancangan mesin ini merupakan hasil rekayasa ulang dari transplanter metode 30x30 cm.
Alat ini terdiri atas lima komponen utama, yaitu sistem penanaman dan sistem pengumpan bibit padi metode tanam Jajar Legowo 2:1, sistem transmisi dan penggerak, sistem kendali, rangka utama, serta unit pelampung. Mesin ini mempunyai dimensi 2.480 x 1.700 x 860 mm, bobot 178 kg, daya penggerak 5,5 HP dan menggunakan metode pembibitan metode dapog.
Keunggulan mesin tanam padi metode Jajar Legowo ini adalah manuverability (kemudahan operasional), mampu menggantikan 20 tenaga kerja tanam/ha, kapasitas lapang 5,2-6 jam/ha sehingga mampu menurunkan kebutuhan tenaga kerja dan biaya tanam sekaligus mempercepat waktu tanam.
Teknologi ini dapat diterapkan dengan baik pada kondisi lahan dengan pengolahan tanah sempurna, memiliki kedalaman kaki (foot sinkage) 400-600 mm, serta tinggi genangan air 30-100 mm.
"Nah mesin ini bisa menjadi jawaban atas tantangan ketersediaan tenaga tanam yang sangat terbatas, untuk dapat meningkatkan indeks pertanaman padi dan menekan serangan hama dan penyakit," urainya.
Imbangi dengan SDM mumpuni
Dihubungi terpisah, Guru Besar IPB Dwi Andreas Santosa menilai, adanya teknologi pertanian presisi harus juga diimbangi oleh kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) pertanian yang memadai. Pasalnya, untuk mengoperasikan alat-alat tersebut dibutuhkan pengetahuan lebih.
"Sebelum diadakan massal, harus diberikan edukasi khusus dulu kepada masyarakat petani. Biar nantinya mereka bisa memanfaatkan alat ini dengan baik dan bisa menjadikan pertanian presisi itu benar-benar optimal," tutur dia, kepada Alinea.id, Rabu (13/10).
Selain itu, peningkatan kualitas SDM pertanian juga dirasa perlu dilakukan melalui pendidikan formal. Baik dengan pendidikan vokasi maupun pemfokusan pendidikan di perguruan tinggi.
Di saat yang sama, pemerintah juga harus mengoptimalkan lagi lahan pertanian yang sudah ada (lahan eksisting). Di antaranya adalah dengan pembalikan lahan agar unsur hara yang berada di bagian dalam tanah bisa lebih termaksimalkan.
"Karena yang biasa dipakai hanya bagian luarnya saja. Jadi kalau unsur hara yang ada di bagian atas tanah sudah habis, lahan pertanian akan kurang maksimal," jelasnya.
Dwi bilang, langkah ini dapat dilakukan pemerintah, karena pemerintah melalui Kementerian Pertanian lebih mengetahui unsur-unsur apa saja yang terkandung di masing-masing tanah di seluruh Tanah Air.
"Ini harus dilakukan rutin. Karena sebenarnya tidak semua alsintan (alat dan mesin pertanian-red) bisa digunakan di seluruh lahan," tandas Dwi.