Pertumbuhan ekonomi 2018 meleset, Menkeu salahkan global
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyalahkan kondisi global yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi dan kurs rupiah meleset dari target.
Sri Mulyani Indrawati memproyeksi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2018 mencapai 5,15%. Capaian itu jauh lebih rendah dari target dalam APBN 2018 sebesar 5,4%.
Kendati demikian, Menkeu beralibi pertumbuhan ekonomi itu lebih tinggi jika dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya sebesar 5,07%.
Menurut Menteri Terbaik Dunia dalam ajang World Goverment Summit itu, pertumbuhan ekonomi yang tidak melampaui target salah satunya lantaran adanya faktor eksternal.
"Karena kita perkirakan seluruh respons policy dari gejolak mulai terasa pada kuartal akhir. Namun tetap angkanya terjaga di atas 5,15% atau kalau dibulatkan jadi 5,2%. Didukung konsumsi pemerintah dan investasi. Namun ketidakpastian global yang meningkat terpengaruh ke permintaan ekonomi secara global," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers Realisasi APBN 2018 di kantornya, Rabu (2/1).
Menkeu Terbaik di Asia Pasifik Tahun 2018 versi majalah keuangan FinanceAsia ini memang mengakui sebagai tahun yang tidak mudah bagi Indonesia. Sejumlah asumsi makro ekonomi meleset dari perkiraan.
Rinciannya, tingkat bunga surat perbendaharaan negara (SPN) tiga bulan hanya mencapai 4,95%. Realisasi SPN tiga bulan itu lebih rendah dari asumsi APBN sebesar 5,2%.
Pun begitu dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang jauh dari proyeksi. Kurs rupiah diperkirakan hanya akan menyentuh Rp13.400 per dollar AS dalam APBN 2018, melambung hingga Rp14.247 per dollar AS.
"Sama seperti yang terjadi di berbagai negara akibat normalisasi dan kenaikan suku bunga The Fed. Depresiasi sampai 31 Desember 2018 adalah 6,89%. Namun kita menunjukkan bahwa Indonesia tidak out layer (jauh dari depresiasi negara lain), bahkan di antara negara G20 yang mengalami tekanan cukup besar," kilahnya.
Setali tiga uang, harga minyak mentah juga jauh dari asumsi APBN 2018. Target harga minyak sebesar US$48 per barel harus melonjak pada kenyataannya menjadi US$67,5 per barel.
Kondisi demikian, sambungnya, membuat belanja pemerintah membengkak demi menambal subsidi. Nilainya mencapai Rp216,8 triliun atau melonjak 138,8% dari target APBN 2018 senilai Rp156,2 triliun.
Pembengkakan nilai subsidi, kata dia, terdiri dari energi Rp153,5 triliun atau mengalami pembengkakan 162,4% dari APBN Rp94,5 triliun. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquefied petroleum gas (LPG) senilai Rp97 triliun (207%) dan listrik Rp56,5 triliun (118,6%).
Adapun, untuk subsidi non energi mencapai Rp63,3 triliun. Pembengkakan mencapai 102,5% dari APBN 2018 Rp61,7 triliun.
"Subsidi kita terbelanjakan Rp216,8 triliun, lebih tinggi dari APBN 2018. Karena ada perubahan policy subsidi energi terutama BBM per liter dari Rp500 jadi Rp2.000 per liter saat harga minyak tinggi. Meskipun akhir tahun sudah mengalami penurunan," ujar Menkeu.
Kondisi tak berbeda terjadi pada lifting minyak dan gas yang juga turut meleset. Lifting minyak terealisasi mencapai 776.000 per barel, meleset dari target APBN sebesar 800.000 per barel.
Demikian pula dengan lifting gas. Target lifting gas dalam APBN mencapai 1,2 juta barel oil equivalent per day (BOEPD), meleset menjadi 1,14 juta BOEPD.
Inflasi gemilang
Dari sejumlah asumsi makro yang ditargetkan, hanya inflasi yang mampu mencapai target. Bahkan, angka inflasi melampui target dalam APBN.
Realisasi angka inflasi mencapai 3,13% sepanjang 2018. Padahal, target angka inflasi dalam APBN mencapai 3,5%.
Mantan Managing Director Bank Dunia itu menyebut masih ada sejumlah faktor penggerak ekonomi global dan risiko yang masih perlu diwaspadai pada 2019.
Di antaranya normalisasi kebijakan moneter AS, lanjutan perang dagang AS-China, moderasi China, fluktuasi harga komoditas, dan isu geopolitik dan keamanan, termasuk Brexit dan konflik Timur Tengah.