Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3 % pada 2018 karena disumbang meningkatnya kontribusi ekspor dan investasi. Pimpinan Misi IMF untuk Indonesia Luis E. Breur dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Rabu (15/11) mengatakan permintaan domestik juga akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan kredit perbankan.
Namun, meningkatnya permintaan domestik itu masih dalam laju moderat. "Perekonomian Indonesia terus berjalan dengan baik, didukung oleh kebijakan makroekonomi yang hati-hati, peningkatan pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas, dan upaya berkelanjutan untuk memperkuat daya saing," ujar Breur seperti dikutip Antara.
Breur baru saja memimpin tim IMF untuk mengevaluasi perekonomian Indonesia. Kunjungan evaluasi dilakukan pada 1-14 November 2017. Dalam kunjungan penilainnya, IMF berdiskusi dengan perwakilan pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perwakilan sektor swasta.
Dalam kesimpulan diskusi untuk "2017 Article IV Consultation" itu, IMF memperkirakan laju ekonomi Indonesia akan berlanjut bertumbuh menjadi 5,3% pada 2018 setelah tumbuh 5,1% pada 2017.
Breur mengatakan terjaganya ekonomi Indonesia juga ditandai dengan laju inflasi yang terjaga. Pada tahun ini, inflasi diperkirakan 3,7% (year on year/yoy) dan menurun menjadi 3,6% pada 2018.
Transaksi berjalan Indonesia diperkirakan masih menderita defisit 1,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan membengkak menjadi 1,9% PDB pada 2018.
Namun, IMF menekankan, terdapat kecenderungan risiko ekonomi eskternal yang lebih besar karena potensi pembalikkan arus modal asing, pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di China, dan risiko kemanan dari stabiltas geopolitik kawasan.
Dari ekonomi domestik, risiko juga masih membayangi karena potensi kekurangan penerimaan pajak dan kecenderungan kenaikan suku bunga di pasar keuangan mengingat pengetatan likuiditas pasar keuangan global.
"Pada sisi positifnya, pertumbuhan global dan harga komoditas bisa lebih kuat dari yang diperkirakan," ujar Breur.
IMF menyimpulkan kebijakan Indonesia dalam jangka pendek harus menyeimbangkan orientasi ekonomi untuk mendongkrak pertumbuhan, namun pada saat yang sama menjaga stabilitas perekonomian.
"Kebijakan fiskal dirancang secara tepat untuk membangun kembali penyangga fiskal dengan menargetkan penurunan defisit anggaran pada 2018. Anggaran tersebut juga mencakup kebijakan menyeimbangkan kembali anggaran dari subsidi yang tidak ditargetkan dan pengeluaran tidak produktif lainnya terhadap belanja sosial dan investasi," katanya.
Untuk kebijakan moneter, IMF menyarankan otoritas untuk menjaga stabilitas harga sembari mendukung laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter yang diterapkan Bank Indonesia (BI) saat ini dinilai IMF sudah tepat.
Di sistem keuangan Indonesia, IMF menilai kebijakan tetap harus menjaga stabilitas.
Sejauh ini, ujar Breur, sistem perbankan Indonesia terjaga dengan baik dengan profitabilitas perbankan tinggi dan likuiditas yang cukup.
Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) terjaga, namun BI dan Otoritas Jasa Keuangan perlu terus mengawasi pergerakkan NPL, terutama untuk risiko kredit yang dirinci khusus (special mention) dan juga kredit yang direstrukturisasi.
Dari sisi pemenuhan kebutuhan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, IMF juga melihat peru kebijakan untuk menigkatkan penerimaan guna membiayai keberlanjutan pembenahan di sektor produksi, tenaga kerja, dan pasar keuangan.
IMF melihat terdapat kebutuhan mendesak untuk menerapkan strategi penerimaan jangka penengah yang menitikberatkan reformasi kebijakan pajak dan administrasi pajak guna mendukung penguatan iklim berbisnis.
"Dengan ruang fiskal yang terbatas, prioritas reformasi segera dapat diberikan pada reformasi struktural dengan biaya fiskal yang rendah, seperti mereformasi sistem pasar produk guna mendorong investasi swasta," ujar dia.
Pembenahan juga dapat dilakukan dengan merampingkan dan menyelaraskan peraturan rumit serta meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah.