Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018 sebesar 5,17% ditopang konsumsi
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,17% sepanjang 2018, atau naik 5,07% dibandingkan 2017.
Kepala BPS Suhariyanto menyebut, dibandingkan beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi 2018 secara kumulatif (whole year/cumulative to cumulative/c to c) merupakan yang paling tinggi.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi di 2016 sebesar hanya 5,03% dan 2015 sebesar 4,88%. "Di tengah tantangan ekonomi global sepanjang 2018, pertumbuhan ekonomi tahun 2018 adalah pencapaian yang baik," kata Suhariyanto di Jakarta, Rabu (6/2).
Sementara itu, BPS juga mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 ini tertinggi sejak 2014. Namun demikian, pada 2018 pertumbuhan impor melewati kinerja ekspor.
Jika dilihat dari komponen pengeluaran, maka pertumbuhan ekonomi sepanjang 2018 menunjukkan kontribusi ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang negatif 0,99%. Namun, jika dilihat dari pertumbuhan secara kumulatif pada 2018 dibandingkan 2017, maka ekspor tumbuh 6,48%.
"Meski tumbuh, angka ekspor itu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan impor yang melesat 12,04%. Ekspor yang negatif ini menjadi faktor penurun dari laju pertumbuhan ekonomi," kata Suhariyanto.
Konsumsi rumah tangga
Sementara itu, pada 2018, konsumsi rumah tangga berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi yakni sebesar 2,74%. Konsumsi rumah tangga juga telah pulih dan tumbuh sesuai trennya sebesar 5,05% secara kumulatif pada 2018.
Kemudian, pertumbuhan ekonomi 2018 juga ditopang investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebesar 2,17%. Pertumbuhan PMTB tetap positif dengan tumbuh 6,67%.
Selanjutnya, sumber pertumbuhan ekonomi 2018 juga didorong konsumsi pemerintah yang berkontribusi 0,38%. Pertumbuhan konsumsi pemerintah secara kumulatif sebesar 4,8%. Terakhir, BPS mencatat kontribusi pertumbuhan ekonomi 2018 dari sumber lainnya adalah sebesar 0,87%.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengklaim, daya beli masyarakat sudah membaik karena adanya program pemerintah.
"(Penggerak daya beli masyarakat) karena adanya program pemerintah juga. Memang paling tidak, kelapa sawit sedikit membaik di masyarakat bawah. Meskipun karet belum, tapi artinya arah membaiknya (konsumsi rumah tangga) itu ada," ujar Darmin.
Dengan membaiknya produktivitas komoditas, kata Darmin, maka berkontribusi kepada konsumsi rumah tangga, yang pertumbuhannya mencapai 5,08% terhadap PDB pada 2018.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengakui pertumbuhan ekonomi 2018 yang tumbuh tinggi pada konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Misalnya saja, naiknya bantuan sosial program keluarga harapan (PKH), subsidi energi, dan dana desa turut menyumbang pertumbuhan belanja pemerintah yang tercatat 4,8%, atau naik dua kali lipat dibandingkan 2017 yang sebesar 2,14%.
"Pertumbuhan 2018 juga dipengaruhi kebijakan anggaran yang populis," kata Bhima kepada Alinea.id.
Investasi yang tumbuh 6,67% pada 2018 juga kata Bhima disebabkan gencarnya investasi di bidang infrastruktur oleh BUMN karya.
Dari sisi net ekspor, kabinet Presiden Joko Widodo dianggap belum efektif mendorong kinerja eskpor dan mengendalikan impor. Seperti diketahui, pertumbuhan ekspor turun dari 2017 sebesar 8,91% menjadi 6,48% pada 2018.
"Itu penurunan yang cukup signifikan. Kita terlambat untuk switch dari Pasar Utama AS-China yang sedang perang dagang ke pasar-pasar baru non tradisional. Indonesia juga masih terjebak pada ekspor komoditas mentah dan olahan primer yang nilai tambahnya kecil," ungkap Bhima.
Di sisi lain, impor naik 12% tahun 2018 dibandingkan 8,06% pada tahun sebelumnya. Efektivitas dari pengendalian impor dinilai belum dirasakan. PPH 21 misalnya hanya mengatur pajak barang yang porsinya cuma 5% dari total ekspor non migas.
"Insignifikan. Pemerintah harapannya bisa lebih berani untuk kendalikan impor untuk perbaiki kinerja perekonomian," kata dia.
Bhima mengatakan pemerintah memiliki “pekerjaan rumah” yang berat yaitu mempertajam implementasi Paket Kebijakan Ekonomi ke-16. Pasalnya, investor menunggu kejelasan dari paket kebijakan, khususnya soal percepatan perizinan online single submission (OSS) yang masih tumpang tindih dengan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di daerah, serta soal harga gas murah untuk industri.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, ke depannya, pemerintah harus memacu permintaan domestik yang dapat mendongkrak pertumbuhan sektor industri pengolahan. Selain itu, pemerintah juga harus menggenjot perdagangan, serta melanjutkan pembangunan infrastruktur yang dapat mempertahankan pertumbuhan sektor konstruksi.
“Permintaan domestik yang tinggi, akan mendorong konsumsi rumah tangga dan investasi tumbuh lebih besar,” kata dia.
Seperti diketahui, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018, tertinggi berasal dari Lapangan Usaha Industri Pengolahan sebesar 0,91%, Perdagangan Besar Eceran, Reparasi Mobil-Sepeda Motor sebesar 0,66%, dan Konstruksi sebesar 0,61%.