Perubahan kebijakan pemerintah kunci agar tak impor beras
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional/ National Food Agency (Bapanas/NFA) Nomor 2 Tahun 2023 pada 9 Januari 2023, Badan Urusan Logistik (Bulog) ditugaskan untuk mengelola stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) tahun ini yang mencapai 2,4 juta ton. Sementara, di akhir tahun minimal 1,2 juta ton stok beras.
Kemudian, pada 24 Maret 2023, Bapanas menugaskan Bulog untuk segera impor 500 ribu ton sebagai bagian dari pengadaan beras luar negeri sebanyak 2 juta ton selama 2023.
Urgensi impor ini ditujukan sebagai program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Beras (SPHP) dan bantuan beras bagi sekitar 21,35 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang didistribusikan pada Maret hingga Mei sebanyak 10 kilogram (kg) per bulan per keluarga. Maka total sekitar 640,59 ton beras yang akan disalurkan.
Keputusan impor beras di tengah masa panen raya pun menuai banyak tanggapan pro dan kontra. Namun, Kepala Divisi Pengadaan Pangan Lain Bulog, Yayat Hidayat mengungkapkan, impor beras sangat diperlukan karena stok beras di gudang Bulog sebagai CBP dan komersial hingga saat ini hanya ada 280 ribu ton.
“Karena kebutuhan yang mendesak, maka dari alokasi kuota 2 juta impor, harus masuk segera kuota 500 ribu ton yang targetnya akan terpenuhi hingga akhir Juni 2023. Tapi kuota 2 juta ton ini akan dievaluasi seiring waktu. Kalau ada tren pemasukan dalam negeri yang menggembirakan, tentu tidak harus dieksekusi semua,” ujar Yayat dalam pemaparannya di Alinea Forum “Memperkuat CBP dari Pengadaan dalam Negeri”, ditulis Selasa (18/4).
Yayat menguraikan, sepanjang 2023 realisasi pengadaan beras sudah naik bertahap dengan total hingga 15 April 2023 sebanyak 222.554 ton beras, yaitu dari 6.921 ton (Januari), 6.774 ton (Februari), 80.605 ton (Maret), dan 128.255 ton (April).
Selanjutnya, pengadaan beras Bulog dilakukan dengan penyerapan reguler atau sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang sudah ditetapkan. HPP untuk gabah kering panen (GKP) di petani senilai Rp5.000 per kilogram (kg) dengan syarat kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%, GKP di penggilingan ditetapkan senilai Rp5.100 per kg dengan kadar air maksimal 25% dan kadar hampa 10%, gabah kering giling (GKG) di penggilingan ditetapkan senilai Rp6.200 per kg dengan kadar air maksimal 14% dan kadar hampa maksimal 3%, serta GKG di Gudang Bulog senilai Rp6.300 per kg dengan kadar air maksimal 14% dan kadar air hampa maksimal 3%.
Sedangkan, untuk beras di Gudang Bulog ditetapkan Rp9.950 per kg dengan derajat sosoh minimal 95%, kadar air maksimal 14%, butir patah maksimal 20%, dan butir menir maksimal 2%.
“Ini baik gabah maupun beras sebenarnya sudah mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan HPP sebelumnya. Naik sekitar 19% lebih dibandingkan HPP sebelumnya, seperti GKG yang sebelumnya Rp5.300, kemudian beras yang sebelumnya Rp8.300 sekarang Rp9.950,” ujar Yayat.
Ia mengungkapkan, harga beras di pasaran pada 2023 ini cenderung di atas HPP. Pada awal 2023 harga GKP mencapai Rp5.837 per kg. Kemudian, mengalami penurunan seiring dengan masuknya musim panen yang puncaknya di Maret 2023. Penurunan harga GKP tercatat menjadi Rp5.274 per kg namun masih berada di atas HPP.
“Untuk penyerapan dengan harga pasar di atas HPP, maka Bulog melakukan pengadaan dengan fleksibilitas harga. Namun kebijakan ini perlu dipertimbangkan dengan matang, karena dampaknya luar biasa. Salah satunya, saat Bulog menetapkan harga fleksibilitas lebih tinggi dari harga pasar, maka harga pasar perlahan ikut naik juga, sehingga hal tersebut menjadi tidak efektif,” tutur Yayat.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pertanian Agus Saifullah menilai, perlu adanya perubahan kebijakan pemerintah sebagai instrumen di bidang perberasan. Pertama, terkait pengadaan beras Bulog yang semakin menurun dan diikuti penyaluran dan stok Bulog yang juga terus menurun.
“Sejak 2017 tidak ada lagi penyaluran captive market terhadap hasil pengadaan beras Bulog atau CBP, sehingga kapasitas penyerapan Bulog semakin sempit,” kata Agus.
Meski penyaluran beras Bulog menurun, namun jumlahnya juga lebih besar dari pengadaan, sehingga menyebabkan CBP terus turun. Maka, menurut Agus, perubahan kebijakan pemerintah dalam hal ini sangat berpengaruh bagi pengelolaan beras Bulog.
Kedua, hubungan penting antara harga beras, harga gabah, dan harga pasar. Pada masa panen, perdagangan beras terjadi ke pasar umum dan Bulog sebagai CBP. Namun, Agus menjelaskan, dalam beberapa tahun terakhir, harga gabah dan beras cenderung di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sehingga membuat pengadaan Bulog tidak terserap dengan baik.
Agus menjelaskan, ada kecenderungan rasio HPP beras dengan HPP gabah kering panen (GKP) semakin menurun. Ini terlihat pada awal 2015 dengan rasio sekitar 2. Kemudian, di 2021-2022 rasionya turun jadi 1,97 meski kembali naik menjadi 1,99. Artinya, margin yang digunakan untuk memproses gabah menjadi beras semakin mengecil untuk dimasukkan ke pengadaan Bulog.
“Rasio yang cukup menarik itu mestinya minimal 2,02 ke atas. Itu akan menarik bagi pedagang untuk memproses gabah yang dibeli dari petani untuk dimasukkan pengadaan ke Bulog. Karena memiliki margin yang cukup untuk biaya pengolahan, transport, dan yang lainnya,” tuturnya.
Ketiga, perlu adanya penguatan CBP untuk dimensi jangka pendek dan panjang. Pada jangka pendek, harga sangat penting dengan kondisi panen yang eksisting seperti saat ini. Jika ingin memperbesar penyerapan maka perlu strategi harga yang paling penting dimodifikasi.
“Artinya, saat musim panen ketika surplus musimannya cukup besar, pedagang didorong untuk melakukan pemasaran perdagangan baik kepada pasar umum atau Bulog. Tapi jika margin di pasar Bulog kurang cukup, maka pedagang akan condong ke pasar umum,” kata Agus.
Selain itu, dalam penguatan CBP jangka panjang, yang penting adalah faktor kelembagaan.
Menurut Agus, kelembagaan saat ini sudah lebih baik sejak adanya Badan Pangan Nasional (Bapanas) karena berbagai perencanaan operasional Bulog dirancang oleh Bapanas dengan baik. Namun, yang terpenting adalah faktor penganggaran menjadi penting baik saat pengadaan, penyaluran untuk penerimaan Bulog, dan pelaksanaan saat over stocking atas CBP dan juga penurunan kualitas akibat masa simpan lebih lama.
“Saya lihat untuk instrumen–instrumen itu sebenarnya sudah ada, tapi tinggal diimplementasikan dengan waktu yang tepat yaitu pada September. Jadi sebetulnya perencanaan perberasan itu pada bulan-bulan September sebetulnya perencanaan perberasan itu sudah selesai semua, karena pengadaan relatif berkurang, penyaluran sudah terlihat, dan panen bisa diprediksi, juga jika diperlukan impor, maka bisa ditentukan karena di akhir dan awal tahun produksi beras di kawasan Asean sedang berlangsung,” ujar Agus.