Peternak ayam mengeluh alami kerugian hingga Rp3 triliun dalam kurun waktu sembilan bulan terakhir. Hal ini ditengarai lantaran tingginya Harga Pokok Penjualan (HPP) yang tidak sebanding dengan harga jual ayam.
Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Singgih Januratmoko mengatakan saat ini HPP daging ayam mencapai Rp20.000 per kilogram, lebih besar dibanding harga jual ayam di pasaran.
“Karena HPP kita sudah mahal, kalau harga bagus Rp18.000 sampai Rp19.000. Tapi HPP terakhir kemarin sudah Rp20.000. Pakan mahal,” katanya saat ditemui usai audiensi dengan Kementerian Pertanian, Kamis (13/6).
Ia melanjutkan hal ini diperparah oleh harga ayam tiga hari belakangan. Sejak 10 Juni 2019 harga ayam hanya sekitar Rp8.000 sampai dengan Rp9.000 per kilogram.
“Harga ideal itu di Jawa sekitar Rp15.000. Kalau ini kan sampai Rp 8.000 hingga Rp9.000. Rugi separuh. Sampai Desember kemarin saya hitung sudah Rp2 triliun (kerugian). Jadi Sekitar Rp3 triliun (sampai sembilan bulan) kerugian,” ujarnya.
Selain itu, Singgih juga menyoroti soal harga bibit ayam (DOC) yang tetap tinggi meski harga ayam turun. Menurut dia, hal tersebut turut berdampak pada tingginya ongkos produksi peternak ayam. Ia mengatakan, hal ini telah disampaikannya kepada pemerintah.
“Kita bilang juga, kenapa DOC itu selama 9 bulan terakhir tidak mengikuti hukum pasar. Jadi harga ayam turun tapi DOC tetap mahal,” tuturnya.
Ia dan para peternak ayam lainnya juga mengeluhkan mengenai aturan main yang tidak jelas dari pemerintah. Ia mengatakan, seharusnya perusahaan besar dengan produksi berlimpah tidak ikut masuk ke pasar tradisional.
“Kita minta ada pemisahan. Harusnya perusahaan besar itu tidak itu masuk ke pasar becek, mereka seharusnya fokus pada penjualan daging olahan saja,” ucapnya.
Untuk itu, katanya, pihaknya dan asosiasi peternak unggas yang terlibat dalam rantai distribusi ayam ini mengajukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Pertanian nomor 32 tahun 2017.
“Jadi kita nanti di Permentan yang nomor 32 itu ada pasal yang akan diperbaiki, yaitu pasal 12, tentang Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU),” ujarnya.
Ia pun menyoroti soal masih banyaknya aturan pemerintah yang dianggap belum berjalan dengan semestinya dalam penerapannya.
“Aturan banyak sanksi belum ada. UU banyak tapi penjabarannya ke bawah belum ada, dari permennnya dari kepmenya. Ada aturan yang kurang dan ada aturan yang gak dijalankan,” tambahnya.