close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.
Bisnis
Jumat, 11 Juni 2021 07:19

Pilu di balik pembatalan ibadah haji

Tak hanya jamaah haji yang merasakan kekecewaan besar. Biro Haji dan Umrah terpaksa menelan kerugian puluhan triliun. 
swipe

Suhandi harus menelan kekecewaan usai melihat berita pagi di televisi tentang pembatalan haji 2021. Rencananya pergi ke Tanah Suci untuk melangsungkan ibadah haji harus pupus lagi. 

Kepada Alinea.id, lelaki 49 tahun itu berkisah, seharusnya dia berangkat haji tahun lalu. Namun, tingginya kasus harian Covid-19 hampir di seluruh belahan dunia membuat Pemerintah Arab Saudi tak kunjung membuka akses bagi jamaah haji dari negara mana pun. Akibatnya, Pemerintah Indonesia mau tak mau membatalkan pemberangkatan haji 1441 H. 

Lelaki yang akrab disapa Andi ini mengaku tak menarik uang yang telah dia setorkan di tabungan haji miliknya. Sebab, dirinya masih sangat berharap dapat menunaikan rukun Islam yang kelima itu di tahun ini. 

“Tapi ternyata tahun ini juga batal,” katanya dengan suara bergetar, Selasa (8/6). 

Meski kecewa, asisten koki sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan ini hanya bisa pasrah dan terus berharap pagebluk Covid-19 dapat segera berakhir. Ia sangat ingin bisa pergi haji setelah dua kali tertunda.

“Semoga dikasih umur panjang sama Allah SWT. Terus Corona-nya bisa cepet selesai, jadi mudah-mudahan bisa berangkat (haji) tahun depan,” kata warga Kalibata Timur, Jakarta Selatan itu.

Jamaah umrah tertidur setelah adanya pengumuman pembatalan pemberangkatan ke Arab Saudi dari Bandara Soekarno Hatta pada Februari 2020 lalu. Pembatalan dilakukan karena penyebaran Coronavirus. Foto Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana.

Kekecewaan karena pembatalan haji tak hanya dirasakan oleh calon jamaah haji (CJH) saja. Pengusaha-pengusaha biro haji dan umrah pun ikut terdampak. Ialah Uwais, salah seorang karyawan dari Talbia Tours & Travel yang juga mengeluhkan dampak pembatalan haji bagi perusahaan tempatnya bekerja. 

Dia bilang, sejak diberlakukannya pembatalan haji yang pertama, pada 2020 lalu hingga sekarang, agen pendaftaran haji khusus itu telah kehilangan pendapatan hingga Rp5 miliar. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya calon jamaah haji yang membatalkan pendaftaran hajinya dan meminta pengembalian dana. 

Selain itu, belum dibukanya kuota untuk perjalanan umrah juga turut menjadi penyebab susutnya penghasilan biro perjalanan yang beroperasi sejak 2017 itu. Karena itu, perusahaan terpaksa memberlakukan kebijakan pemotongan gaji karyawan sebesar 80%. 

Langkah ini ditempuh demi menghemat biaya operasional. Alhasil, banyak karyawan yang memutuskan untuk berhenti (resign) dari perusahaan. Uwais bilang, dari 15 orang yang bekerja di Talbia, saat ini hanya tersisa 3 orang saja. 

“Kerugian terbesar kita adalah berkurangnya SDM (sumber daya manusia),” ujar dia, kepada Alinea.id, melalui pesan singkat, Selasa (8/6).

Meski begitu, Uwais yang juga berperan sebagai admin perusahaan tersebut masih tetap bersyukur lantaran hingga saat ini masih ada karyawan yang bekerja untuk Talbia. Sebab, masih banyak perusahaan biro haji dan umrah lain yang sudah tidak memiliki karyawan dan harus menutup usaha mereka lantaran sudah tidak memiliki modal untuk biaya operasional. 

Di sisi lain, walaupun pemerintah telah membatalkan pemberangkatan haji tahun ini, masih banyak masyarakat yang mendaftarkan diri untuk dapat melaksanakan haji melalui Talbia. Perusahaan yang bermarkas di Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini juga membuka paket wisata Islami. Misalnya, wisata rohani ke Turki maupun ziarah makam Walisongo untuk destinasi lokal.

“Alhamdulillah masih tetap ada. Bahkan jumlahnya meningkat dibandingkan 2018, 2019,” imbuh Uwais. 

Pendapatan nihil

Berbeda dengan Talbia Tours & Travel, Direktur Utama Zam Zam Tour dan Travel Muhammad Tri Wibowo mengatakan, sejak pandemi Covid-19, perusahaannya tak bisa mencatatkan pendapatan sama sekali. Sebabnya, tidak ada masyarakat yang menunaikan ibadah umrah maupun haji. 

Agar tetap bisa bertahan hidup, laki-laki yang karib disapa Mamat itu mau tak mau harus banting setir menjadi penjual sembako, kurma, hingga hewan kurban. Selain itu, dia juga menutup sementara kantornya yang terletak di daerah Sukoharjo itu untuk menghemat biaya operasional. 

“Pegawai yang dulunya ngurus administrasi untuk haji dan umroh, sekarang ikut saya jualan sembako, kurma dan hewan kurban. Itung-itung bisa tetap kerja dan dapat gaji,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (9/6). 

Penutupan usaha biro haji dan umrah miliknya hanya dilakukan untuk sementara, sampai keadaan kembali normal. Sebab, sampai saat ini masih banyak dana calon jamaah haji yang belum ditarik. 

“Mereka masih menunggu pembukaan layanan umroh dan haji, agar bisa segera berangkat ke Tanah Suci,” imbuhnya. 

Adapun pengalihan atau diversifikasi usaha, menurut Mamat, kini banyak dilakukan oleh pengusaha-pengusaha biro haji dan umrah di berbagai daerah. Sisanya yang masih tetap bertahan sebagai penyalur haji dan umrah di daerah dapat dihitung dengan jari. 

Hal itu lantas diamini oleh Wakil Ketua DPP Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) HM Azhar Ghazali. Menurutnya, ada pula pengusaha yang fokus untuk menjalankan agen perjalanan islami atau wisata ke negara-negara mayoritas muslim seperti Turki. 

“Ini menjadi pilihan yang paling banyak diambil, selain pengurangan gaji atau PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),” urainya, kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Sabtu (5/6). 

Meski banyak pengusaha biro haji dan umroh telah mengalihkan usaha mereka, Azhar tetap berharap, setidaknya pemerintah dapat mengusahakan pelaksanaan umrah pada Agustus nanti. Hal ini selain dapat mengobati kekecewaan jamaah yang gagal berangkat ke Tanah Suci, bisa juga dilakukan untuk menyambung nafas perusahaan-perusahaan biro haji dan umrah di Indonesia. 

“Apalagi kita sudah setahun lebih tidak beroperasi,” imbuhnya.

Sementara itu, menurut Azhar, angka kerugian terkait pembatalan haji diperkirakan mencapai Rp20 triliun. Angka tersebut berasal dari perhitungan 221.000 kuota haji Indonesia yang terdiri dari 203.320 haji reguler dan 17.680 haji khusus.

Adapun menurut Sarikat Penyelenggara Umroh dan Haji (SAPUHI), setidaknya ada potensi kehilangan pendapatan hingga US$123 juta atau sekitar Rp1,845 triliun (kurs Rp15.000 per dolar AS). Jumlah itu diperoleh dari jumlah 12.300 jamaah haji khusus yang seharusnya berangkat tahun ini dan telah membayar biaya sebesar US$10.000. 

Selain itu, masih ada kerugian yang berasal dari gagalnya keberangkatan jamaah haji khusus di tahun sebelumnya. Ketua Umum Sapuhi Syam Resfiadi mencatat, setidaknya ada 221.000 jamaah haji khusus yang seharusnya berangkat ke Tanah Suci tahun 2020 dan 130.000 jamaah telah melakukan pelunasan.

“Ada sekitar 250 Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang memiliki izin dari Kemenag sekaligus memiliki jemaah tahun ini. Kerugian bisa lebih besar lagi kalau ditambah dengan pembatalan umrah,” kata dia, kepada Alinea.id, Minggu (6/6). 

Lebih lanjut dia menguraikan, pada tahun 2020 tercatat setidaknya ada 1 juta jamaah umrah dan 17.500 jamaah haji. Dengan angka tersebut, perusahaan penyelenggara haji dan umrah harus kehilangan pendapatan minimal Rp22,5 triliun. 

“Itu nilai yang sangat besar,” tegas Syam.

Jamaah haji mengantre masuk ke Bandara Soekarno Hatta untuk menuju Mekah, Arab Saudi pada 2015 lalu. Foto Reuters/Nyimas Laula.

Sebelum dibatalkan, pelaksanaan ibadah haji tahun ini, Indonesia mendapatkan kuota hingga 221.000. Biaya yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo dalam Keputusan Presiden (Keppres) tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1441 H/2020M pada 12 Maret 2020 untuk biaya haji reguler paling rendah Rp31 juta (embarkasi Aceh) dan paling mahal Rp38,352 (embarkasi Makassar).

Uluran insentif

Untuk bisa bertahan hidup, Wakil Ketua DPP Amphuri Azhar Gazali pun meminta uluran tangan pemerintah dengan memberikan insentif untuk perusahaan-perusahaan penyelenggara haji dan umrah. Bentuknya dapat berupa pelonggaran besaran bank garansi pelaksanaan haji dan umrah. 

“Insentif ini penting untuk meringankan beban biro haji dan umrah,” katanya. 

Selain itu, pihaknya juga mengharapkan agar pemerintah dapat memberikan pinjaman lunak kepada para agen perjalanan ibadah itu. Ia juga mengusulkan penyelenggaraan paket wisata halal oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang bekerjasama dengan perusahaan penyelenggara haji dan umrah. 

“Ini sudah diberikan kepada pengusahaa tour dan travel umum, jadi kami berharap insentif ini juga bisa diberikan kepada kami,” lanjutnya.

Menanggapi permintaan insentif tersebut, Plt. Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Khoirizi Dasir mengatakan, pihaknya tak bisa berkomentar banyak. Pasalnya, sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, dana haji saat ini sudah dikelola sepenuhnya oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). 

“Jadi kalau untuk keuangan atau stimulus saya tidak bisa komentar,” jelas dia, kepada Alinea.id, melalui pesan singkat, Senin (7/6).

Maskapai ikut rugi

Tak hanya biro penyelenggara haji dan umrah yang terkena dampak pembatalan haji. Maskapai penerbangan Garuda Indonesia termasuk yang harus gigit jari. Pendapatan dari penerbangan haji selama ini menjadi salah satu tumpuan Garuda. Menurut laporan keuangan Garuda tahun 2019, penerbangan haji mendatangkan pendapatan hingga US$234,27 juta dolar bagi Garuda. 

Di luar hal tersebut, kenyataannya haji memang tak pernah memberikan angka kecil di Indonesia. Menurut catatan BPKH, hingga akhir 2020, Asset Under Management (AUM) atau dana kelolaan haji senilai Rp144,78 triliun. 

Angka itu naik 16% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp124,32 triliun. Adapun dana kelolaan haji per Maret 2021 tercatat sebesar Rp149,15 triliun yang tersimpan di bank-bank syariah dan instrumen syariah lainnya dalam bentuk rupiah dan valas. 

Selain itu, BPKH juga memperkirakan dana kelolaan sepanjang 2021 nanti akan mencapai Rp155 sampai Rp160 triliun. Seiring dengan hal tersebut, imbal hasil dari dana kelolaan juga diperkirakan meningkat hingga Rp8 triliun sampai Rp8,5 triliun. 

“Karena ada pengecualian pajak. Ke depan bisa lebih optimis lagi," ujar Anggota Badan Pelaksana BPKH, Beny Witjaksono kepada Alinea.id, Selasa (8/6).

Sementara itu, sebelumnya Ketua BPKH Anggito Abimanyu menegaskan, meski dibatalkan, dana haji calon jamaah yang telah terkumpul akan tetap aman. Sebab, dana yang sudah ada diinvestasikan pada instrumen-instrumen syariah dan ditempatkan pada bank syariah yang juga mengedepankan prinsip syariah. 

Adapun untuk jamaah yang ingin menarik dana haji mereka, akan tetap dipersilakan. Hanya saja, Anggito mengingatkan bagi calon jamaah haji yang menarik dana hajinya bakal kehilangan antrean pemberangkatan haji. Konsekuensinya, antrean diproses dari awal lagi.

Anggito mengakui beberapa calon jamaah haji ada yang melakukan penarikan dananya, namun masih dalam tahap wajar. "Jamaah lunas tunda reguler sebanyak 196.865 jamaah, kemudian yang membatalkan itu kira-kira 600-an jamaah. Angka terus bergerak, jadi kurang lebih 0,3%," urai Anggito, di Jakarta Senin (7/8).

Namun demikian, dia mengimbau calon jamaah haji untuk tetap menempatkan dananya di BPKH atau di bank syariah yang ditunjuk oleh BPKH karena ada nilai manfaatnya. Nilai manfaatnya bisa dirasakan oleh jamaah tunggu dalam bentuk virtual account.

Anggito menjelaskan, hampir separuh dari biaya pemberangkatan haji disubsidi oleh BPKH melalui pengelolaan dana manfaat jamaah haji. Ia menambahkan rata-rata biaya pemberangkatan haji sebesar Rp70 juta.  Namun, jamaah hanya membayar tunainya sebesar Rp35 juta. 

"Jadi sisanya itu memang harus dicarikan dari sumber-sumber pengembangan dana haji oleh BPKH," kata Anggito.

Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan