Pinjol ilegal: Nasabah diancam, karyawan digaji besar
Pandemi Covid-19 membuat kondisi perekonomian masyarakat yang sudah sulit menjadi semakin terhimpit. Kondisi ini mendorong beberapa orang mencari dana segar. Namun, tak jarang masyarakat justru terjerat dalam lembaga pinjaman online (fintech peer to peer lending) yang ilegal.
Alih-alih menjadi solusi, pinjol ilegal justru membuat nasabahnya yang berhutang menjadi kian buntung. Praktik pengenaan bunga tinggi, peretasan kontak, hingga penagihan berwujud ancaman dan teror, menjadi konsumsi sehari-hari peminjam.
Ialah F, perempuan 30 tahun yang telah menjadi korban jeratan pinjol ilegal. Warga Jakarta Timur itu mengaku, kondisi ekonomi yang sulit membuatnya terpaksa meminjam uang lewat aplikasi online Uang Sakti pada Juli lalu. Meski mengetahui bahwa aplikasi tersebut ilegal, F tetap nekat mengajukan pinjaman melalui pinjol tersebut.
Hanya bermodal Kartu Tanda Penduduk (KTP), uang Rp1 juta yang diajukannya melalui aplikasi cair tak sampai satu jam. Ia diberikan waktu hingga 45 hari untuk melunasi pinjamannya tersebut.
“Saya enggak tau kalau bunganya besar dan pada hari ke lima udah ditagih. Saya dikasih waktu 7 hari buat lunasin,” kisahnya, kepada Alinea.id, Selasa (19/10).
Meski belum terhitung menunggak, F sudah diberondong penagihan dengan kata-kata kasar. Dirinya juga mendapatkan acaman berupa penyebaran data pribadi ke berbagai sosial media. Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan toko ini pun harus melunasi utang sejumlah Rp3 juta.
“Saya waktu itu cuma pinjam Rp1 juta, tapi yang harus dibayar Rp3 jutaan. Jadi bunganya bisa 2 kali lipatnya,” kata dia.
Gencarnya teror membuatnya ketakutan. Akhirnya, ia melunasi tagihan itu jauh sebelum jatuh tempo. Namun, selang dua minggu kemudian ada pesan penagihan lain yang masuk ke telepon pintarnya. Kali ini, perusahaan pinjol ilegal memintanya melakukan pelunasan hutang sebesar Rp2,6 juta.
Rentetan ancaman penagihan kembali ditujukan padanya. Bahkan, semua kontak keluarga serta teman-teman yang ada di ponsel F sudah ada di tangan perusahaan pinjol ilegal. F pun melapor ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena dirinya merasa tak mengajukan pinjaman ke aplikasi tersebut. Selain itu, dirinya juga membuat laporan kepada pihak kepolisian setempat.
“Mereka bilang aplikasi ini memang enggak terdaftar, dan data saya diperjual belikan sama mereka,” ujar F.
Berbeda dengan F, Poros menjadi korban pinjol ilegal Juni lalu. Poros bercerita, awalnya dirinya hanya iseng mengajukan pinjaman ke aplikasi Mr. Rupiah. Belum selesai proses persetujuan dari aplikasi, uang yang diajukannya sebesar Rp1,6 juta telah masuk ke rekening banknya. Tak hanya cepat, syarat yang dibutuhkan untuk mengajukan pinjaman pun hanya KTP dan nomor rekening saja.
Di balik kemudahan itu, Poros merasa ada yang tidak beres dari proses kredit itu. Benar saja, setelah uang cair, laki-laki 44 tahun itu diberitahu oleh customer service (CS) pinjol bahwa dirinya hanya diberi waktu 7 hari untuk melunasi hutangnya.
“Baru di hari kelima sudah diteror. Total uang masuk Rp1,6 juta, harus bayar Rp2,2 juta,” bebernya, kepada Alinea.id melalui pesan singkat, Rabu (20/10).
Selain diberikan tenor super singkat, saat penagihan, warga Bekasi itu juga dihujani dengan telepon dan pesan WhatsApp bernada kasar serta ancaman penyebaran data pribadi. Pesan dan teror melalui telepon tak hanya ditujukan pada dirinya saja, melainkan ke semua kontak yang ada di dalam ponsel pintarnya.
“Ini yang bikin saya stres banget waktu itu. Sampai keluarga dan semua teman, sampai atasan saya juga diteror,” keluh Poros.
Poros yang bekerja sebagai guru honorer di sekolah dasar di Bekasi itu lantas melaporkannya kejadian itu ke kantor polisi setempat. “Dampaknya bahaya banget, karena ancamannya itu benar-benar mengganggu kerjaan, aktivitas hari-hari, jadi panik, apalagi kita kan di situ dalam keadaan kepepet enggak ada sama sekali,” tuturnya.
Iming-iming gaji besar
Di balik tekanan yang dirasakan para nasabah pinjol ilegal, karyawan pinjol ilegal ternyata digaji cukup besar. Dua orang tersangka pinjol ilegal yang dibekuk Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tpideksus) Bareskrim Polri Jumat (15/10) di Jakarta Barat, HH (35) mengaku digaji sebesar Rp15 juta per bulan. Sedangkan AY (29) memiliki gaji lebih rendah dari itu, tapi mendapatkan akomodasi berupa unit apartemen.
“Berupa satu unit apartemen sendiri. Dari situ kerjanya, saya di Apartemen Laguna,” ungkap AY di Bareskrim Polri, Kamis (21/10).
Ihwal alat kerja, seperti ponsel dan pulsa, mereka bilang, semuanya telah disediakan oleh perusahaan. Tidak hanya itu, untuk menjadi seorang debt collector atau karyawan yang bertugas mengirim SMS dan telepon teror kepada nasabah, keduanya tidak dituntut untuk memiliki jenjang pendidikan tinggi.
Di tempat dan waktu yang sama, HH mengaku, pada mulanya, pihaknya hanya direkrut untuk mengirim SMS, tanpa mengetahui bahwa perusahaan tempatnya bekerja merupakan pinjol ilegal. Benar saja, dalam bekerja, tugasnya hanya mendistribusikan SMS kepada para nasabah, dengan narasi yang sudah rampung disusun oleh perusahaan.
“Sempat curiga karena isinya negatif. Kami hanya meneruskan SMS. Kami bukan yang neror,” terangnya.
Seiring berjalannya waktu, dia sadar bahwa perusahaan tersebut merupakan pinjol ilegal. Namun, HH memutuskan untuk tetap bekerja di sana karena gaji yang tinggi. Berbeda, AY mengaku pada awalnya sama sekali tak tahu bahwa pekerjaannya ini melawan hukum. Ia baru mengetahui bahwa perusahaan itu ilegal setelah satu bulan bekerja.
“Tapi tetap kerja di sana karena butuh uang lebih,” kata AY.
Karyawan Pinjol ilegal lain yang berhasil dihubungi Alinea.id, Sarah (bukan nama sebenarnya) mengaku digaji dengan nominal cukup tinggi, yakni Rp8 juta per bulan untuk deskcall atau penagih utang. Selain itu, sama seperti HH dan AY, peralatan kerja yang digunakan mahasiswi ini telah disediakan seluruhnya oleh perusahaan.
Sarah bercerita, sebagai deskcall pihaknya bertugas untuk menagih utang para nasabah yang sudah jatuh tempo. Dia bilang, toleransi keterlambatan yang diberikan adalah 1 hingga 10 hari. Apabila nasabah yang ditagih belum juga membayar utangnya, mereka akan melimpahkannya ke deskcall kedua. Sedang karyawan yang bertugas menagih nasabah sebelum waktu jatuh tempo disebutnya sebagai account receivable (AR).
“Dia tugasnya nagih sejak hari ke sepuluh itu sampai akhirnya mereka bayar,” katanya, Jumat (22/10).Meski bertugas sebagai penagih utang, Sarah mengaku tak pernah menagih nasabah dengan kata-kata kasar maupun ancaman. Karena dia hanya menagih melalui SMS maupun spam WhatsApp yang dilakukan tiap jam. Dia bilang, ada pihak lain, yakni pihak ketiga yang ditugaskan oleh perusahaan untuk menagih nasabah dengan cara lain.
"Perusahaan meng-hire mereka (pihak ketiga-red) tanpa sepengetahuan kami. Buat bantu nagih," kata dia.
Untuk kasus teror ke teman dan keluarga, sebelum nasabah melakukan peminjaman, aplikasi pinjol akan meminta nasabah untuk mencantumkan kontak darurat. Biasanya, nasabah akan mencantumkan kontak keluarga dan teman.
"Kami pasti menghubungi kontak darurat itu apabila nasabah tidak bisa dihubungi," imbuh Sarah.
Langkah lanjutan itu yang kemudian membuat hubungan para deskcall dengan para nasabah acap kali menjadi bermasalah. Namun, Sarah menegaskan, pihaknya hanya akan menghubungi kontak darurat nasabah apabila mereka benar-benar tak bisa dihubungi, baik karena nasabah yang selalu menutup telepon deskcall atau bahkan memblokir nomor pinjol.
"Ada nasabah yang enggak sopan, suka rewel. Mereka malah yang kalau ditelepon selalu marah-marah enggak terima," kisahnya.
Terkait pinjaman, Sarah membeberkan, perusahaan tempatnya bekerja akan memotong 30% dari total pinjaman nasabah. Dengan bunga yang diberlakukan ialah sebesar 5% sehari.
Sehingga, ketika ada nasabah yang mengajukan pinjaman sebesar Rp5 juta, dia hanya akan menerima uang senilai Rp3,5 juta. Sedangkan saat dia terlambat satu hari, nasabah itu harus membayar bunga keterlambatan sebesar Rp250 ribu per hari.
"Mereka banyak yang protes sih. Kenapa pinjamnya segini, dapatnya cuma segini. Tapi kan itu sebenarnya syarat yang sudah ditetapkan di awal," urai Sarah.
Meski memiliki potongan dan bunga cukup tinggi, pengajuan pinjaman melalui pinjol ilegal tergolong mudah. Hanya dengan foto KTP, foto selfie bersama KTP dan nomor rekening saja, nasabah sudah bisa mencairkan pinjamannya. Ihwal verifikasi data, semua dilakukan oleh mesin.
Sementara itu, untuk menggaet pelanggan, perusahaan pinjol biasanya mendapatkan nomor-nomor kontak calon pelanggan melalui jual beli nomor yang biasanya terjadi di counter-counter pulsa atau agen penjualan pulsa lain.
"Mereka (counter pulsa) yang jual dan pinjol yang beli," tuturnya.
Makanya, tak heran jika hampir setiap hari masyarakat bisa mendapatkan tawaran peminjaman dana dari perusahaan-perusahaan pinjol ilegal.
Berantas Pinjol Ilegal
Tumbuhnya pengguna tekfin, dibarengi juga oleh makin banyaknya jumlah pengaduan masyarakat terkait pinjol ilegal. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sepanjang 2019 hingga 2020, sudah ada 19.711 pengaduan masyarakat yang masuk ke otoritas. Sebanyak 52,97% atau 10.441 di antaranya mengeluhkan adanya pelanggaran ringan atau sedang. Sedangkan 47,03% sisanya atau 9.270 merupakan pengaduan pelanggaran berat.
Adapun pelanggaran berat yang biasanya terjadi meliputi pencairan tanpa persetujuan pemohon serta ancaman penyebaran data pribadi. Selanjutnya ada penagihan kepada seluruh kontak handphone dengan teror atau intimidasi hingga penagihan dengan kata kasar dan pelecehan seksual oleh debt collector.
Atas laporan-laporaan tersebut, Kominfo dan OJK telah memblokir 4.874 akun pinjol ilegal sejak 2018 hingga saat ini. Selain itu, pada tahun 2021 saja, ada 1.856 akun pinjol ilegal yang ditutup. Akun-akun itu tersebar di website, Google PlayStore, YouTube, Facebook, Instagram, hingga file sharing.
Tidak hanya itu, sepekan kemarin, rentetan penggerebekan juga dilakukan aparat penegak hukum terhadap sejumlah kantor pinjol ilegal di Jakarta, Tangerang Selatan, Semarang hingga Yogyakarta pekan lalu. Terbaru, Direktorat Reskrimsus Polda Jawa Timur telah mengamankan 13 orang karyawan pinjol ilegal yang berkantor di Jalan Raya Satelit Indah BN 8 Kelurahan Tanjungsari, Kecamatan Sukomanunggal, Jumat (22/10).
Bahkan, hingga Kamis (21/10) Polri telah menangkap total 45 orang tersangka terkait kasus-kasus yang berkaitan dengan pinjol ilegal. “Dit Tipideksus Bareskrim Polri dan Polda jajaran dalam periode satu minggu, 12-19 Oktober 2021 telah melakukan penangkapan terhadap 45 tersangka,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Ahmad Ramadhan di Kantornya, Kamis (21/10).
Dalam kesempatan lain, Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam Lumban Tobing mengatakan, sampai saat ini ada ada 106 platform pinjol yang terdaftar di OJK dan sebanyak 3.515 situs pinjol ilegal telah diblokir. Dia bilang, menjamurnya pinjol ilegal disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah literasi keuangan masyarakat yang masih rendah.
Berdasarkan OCBC NISP Financial Fitness Index, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia pada tahun 2021 baru berada di level 37,72 dari total skor 100. masih jauh lebih rendah dibanding Singapura yang pada tahun lalu tercatat di level 61. Sedangkan menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan OJK pada 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%.
"Literasi keuangan masyarakat yang kurang itu yang bikin mereka kalau terima SMS penawaran pinjaman online terus di-klik. Lalu masuk lah dia di situ," ungkap Tongam kepada Alinea.id, Selasa (19/10).
Untuk mengatasi pinjol ilegal, ada dua langkah yang dapat dilakukan, yakni langkah preventif dan represif. Langkah preventif, kata Tongam, dilakukan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak mengakses aplikasi pinjol ilegal. Alih-alih meminjam melalui pinjol ilegal, masyarakat lebih disarankan untuk meminjam uang melalui aplikasi pinjol legal yang sudah terdaftar di OJK.
Sementara langkah represif dilakukan dengan menghentikan kegiatan pinjol ilegal, mengumumkan ke masyarakat, memblokir situs dan aplikasi pinjol ilegal, hingga menyampaikan laporan informasi pengaduan ke Polri. Di saat yang sama, Tongam juga mengajak semua pihak untuk bersinergi memberantas praktik fintech ilegal tersebut.
Selain itu, pada Rabu (20/10), sejumlah menteri bersama pimpinan lembaga telah menandatangani pernyataan bersama untuk perang terhadap pinjol ilegal. Ada tiga poin penting yang terdapat dalam pernyataan bersama itu, yakni pencegahan, penanganan pengaduan masyarakat, serta penegakan hukum.
"Pencegahan berupa literasi keuangan menjadi yang utama. Kami melihat supply-nya itu ada karena demand-nya ada,” katanya.
Menurut Tongam, penanganan supply cenderung sulit lantaran para pelaku kerap berganti nomor kontak, situs, maupun server. Kompleksitas masalah yang terjadi di lapangan tersebut menyebabkan upaya pencegahan supply tidak bisa seratus persen efektif.
Mendukung langkah pemerintah untuk memberantas pinjol ilegal, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengaku mendukung penuh langkah pemerintah, otoritas, kepolisian, dan lembaga lain tersebut. Ketua AFPI Adrian Asharyanto Gunadi bilang, pemberantasan pinjol ilegal perlu dilakukan agar kebutuhan masyarakat untuk mengakses pendanaan dapat dilayani oleh fintech-fintech legal dengan baik dan sesuai prosedur operasional.
Di saat yang sama, dia juga berharap agar masyarakat bisa membedakan dengan jelas mana fintech ilegal dan mana yang legal. "AFPI akan memperkuat struktur tatanan dan memperkuat aspek perlindungan konsumen," jelasnya, kepada Alinea.id, Jumat (22/10).
Ihwal anggotanya yang terseret kasus pinjol ilegal, Adrian menekankan, pihaknya akan menindak tegas anggota atau rekanan anggota AFPI yang ada kaitannya dengan pinjol ilegal. Hal itu salah satunya dapat dilakukan dengan mengeluarkan member atau rekanan member yang terlibat dalam kasus pinjol ilegal.
"Salah satu yang kami cabut tanda pendaftaran AFPI adalah debt collection agency PT Indo Tekno Nusantara (ITN) kami lakukan per Jumat kemarin," tegas dia.