Anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati, ragu postur RAPBN 2024 dalam merealisasi target pemerintah tahun depan. Dicontohkannya dengan penurunan prevalensi stunting dan menghapus kemiskinan ekstrem.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajaran mencanangkan transformasi ekonomi pada 2024 melalui strategi jangka pendek dan strategi jangka menengah. Strategi jangka pendek menyasar penghapusan kemiskinan ekstrem, penurunan prevalensi stunting, pengendalian inflasi, dan peningkatan investasi. Adapung jangka menengah fokus beberapa agenda, seperti sumber daya, pembangunan infrastruktur, hingga hilirisasi sumber daya alam (SDA).
"Akan sangat sulit bagi pemerintah untuk bisa mewujudkannya penurunan prevalensi serendah mungkin dan menghapuskan kemiskinan ekstrem hanya dalam waktu kurang lebih 1 tahun ke depan, sedangkan agenda jangka menengah yang menjadi target pemerintah akan sangat tergantung dari presiden terpilih," tuturnya dalam keterangannya, Senin (21/8).
Anis lantas menyinggung alokasi anggaran pendidikan Rp660,8 triliun (20% APBN) yang dinilai belum mencerminkan peningkatan mutu dan kualitas. "Skor PISA (Program for International Student Assessment) Indonesia juga masih di bawah rata-rata OECD dan ASEAN-5."
"Hal yang sama juga ditunjukkan dari angka partisipasi kasar (APK) untuk perguruan tinggi (19-24 tahun) yang masih tertinggal dibandingkan peers (sederajat). Hal itu menunjukkan mandatory spending untuk pendidikan belum berjalan efektif," imbuhnya.
Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, anggaran kesehatan Rp186,4 triliun (5,6% APBN) juga bakal tidak membawa perubahan signifikan pada kualitas layanan kesehatan. Disandingkannya dengan pengalaman 10 tahun terakhir.
"Tingginya angka prevalensi stunting serta penanganan penyakit katastropik yang masih signifikan. Selain itu, belum optimalnya layanan dasar dan kegiatan promotif-preventif yang tecermin dari masih tingginya persentase puskesmas yang belum memenuhi standar tenaga kesehatan," urainya.
Anis berpendapat, sebaiknya alokasi anggaran infrastruktur Rp422,7 triliun diarahkan untuk menyelesaikan proyek strategis nasional yang belum selesai. Pembangunan ibu kota negara (IKN), misalnya.
"Anggaran bidang ketahanan pangan dialokasikan sebesar Rp108,8 triliun juga belum terlihat hasilnya. Bahkan, banyak program pengembangan kawasan food estate yang gagal dilaksanakan," katanya.
Lebih jauh, Anis mengingatkan, kebijakan hilirisasi SDA masih memiliki pekerjan rumah (PR) yang harus diselesaikan. "Industri yang terlibat bergelimang keuntungan, sementara rakyat hanya sebagai penonton."