Pemerintah mempunyai target netral karbon pada tahun 2060. Untuk merealisasikannya, penghentian operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara akan dilakukan secara bertahap.
Untuk menggantikan PLTU, salah satu pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang akan masuk adalah pembangkir listrik tenaga nuklir (PLTN). Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan, pembangunan PLTN perlu dipercepat demi mengejar netral karbon.
"[Untuk] mencapai zero carbon pada 2060, pembangunan PLTN harus dipercepat agar dapat menggantikan PLTU batu bara yang dipensiunkan," paparnya kepada Alinea.id, Rabu (23/2).
Fahmy menyebut, karakteristik PLTN berbeda dengan pembangkit EBT lain, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang sifatnya intermitten.
"PLTN satu-satunya pembangkit listrik EBT yang masif dan bukan intermittent, seperti tenaga surya dan matahari, sehingga lebih tepat menggantikan PLTU," jelasnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, sebelumnya mengatakan, penambahan pembangkit setelah 2030 tidak hanya berasal dari energi terbarukan, tetapi juga energi baru seperti nuklir.
Dia mengatakan, pemenuhan kebutuhan energi mulai 2035 akan didominasi variabel renewable energy berupa PLTS.
Tahun-tahun berikutnya diikuti pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dan pembangkit listrik tenaga arus laut (PLTAL). PLTN akan masuk pada 2049 dan mencapai 35 gigawatt (GW) pada 2060.
"Hidrogen akan dimanfaatkan bertahap mulai 2031 dan masif di 2051, sedangkan pembangkit PLTN operasi 2049," ungkapnya, Kamis (17/2) lalu.
Sementara itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menyebut, mulai masuknya PLTN pada 2049 terlalu lama. Peneliti senior BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, menyatakan, harus ada pembangkit pengganti yang setara jika PLTU akan berhenti beroperasi pada 2050.
"Kalau 2049 menjadi tahun pertama PLTN itu terlalu lama," paparnya kepada Alinea.id, Minggu (20/2).
Artinya, kata Djarot, harus ada pembangkit baseload berskala besar yang menggantikan keberadaan PLTU, dalam hal ini PLTN.
"Karena BATAN sudah lebih dari 40 tahun mempersiapkan, maka kapan saja pemerintah menyatakan go nuclear, maka kami siap," tegasnya.
Djarot memperkirakan, lokasi pertama pembangunan PLTN di Indonesia ada di Kalimantan Barat (Kalbar). Alasannya, dukungan masyarakat besar. Sesuai hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 2019, lebih dari 87% masyarakat setempat mendukung proyek PLTN.
"Mereka tidak ingin impor listrik dari Malaysia dan daerahnya relatif stabil dari gempa dan tsunami," tandasnya.