Plus minus holding perusahaan pelat merah
Sejak era Presiden Soeharto, wacana holding atau penggabungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah berhembus. Ide ini pertama kali digagas oleh Menteri Negara Pendayagunaan BUMN era 1998, Tanri Abeng.
Dalam peta jalan atau road map yang dirancang mantan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini, keberadaan Kementerian BUMN ini seharusnya berakhir pada 2010. Setelahnya, akan digantikan oleh Badan Pengelola BUMN, yang dinamainya National Holding Company. Nantinya, lembaga tersebut akan dipimpin oleh Direktur Utama.
“Road map BUMN yang saya lahirkan untuk 2000-2015. Saya sudah merancang Kementerian BUMN berakhir 2010. Jadi, dia hanya 10 tahun jadi kementerian,” kata Tanri Abeng dalam diskusi virtual September 2020 lalu.
Pada jangka waktu 2010 sampai 2015, kata dia, akan digunakan untuk persiapan peralihan dari Kementerian BUMN menjadi National Holding Company. Pasalnya, untuk membentuk holding BUMN yang berskala nasional membutuhkan waktu sedikitnya 3 hingga 4 tahun.
Setelah lama tak kunjung terealisasi, wacana pembentukan holding BUMN kembali digaungkan oleh Menteri BUMN di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Rini Soemarno. Dalam gagasannya, holding adalah perusahaan induk yang membawahi beberapa perusahaan lain yang berada dalam satu grup perusahaan.
Sebagai bentuk implementasi dari rencananya itu, Rini kemudian membentuk road map yang salah satunya berisi rencana pembentukan holding BUMN sektor perbankan dan jasa keuangan, sektor pertambangan, sektor minyak dan gas (migas), sektor perumahan, sektor konstruksi, dan sektor pangan.
Sesudah Rini lengser dari jabatannya, ide ini dilanjutkan oleh Menteri BUMN saat ini, Erick Thohir. Beberapa holding BUMN diantaranya holding pertambangan, migas, industri asuransi, dan holding sektor farmasi pun sudah terbentuk.
Selain itu, pemerintah juga tengah berencana untuk membentuk holding BUMN lainnya, seperti holding BUMN pembiayaan ultra mikro yang nantinya akan digawangi oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., beranggotakan PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM.
Selanjutnya, Erick juga tengah mengusahakan pembentukan holding klaster pangan yang bakal dipimpin oleh PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dengan anggota PT Berdikari (Persero), PT Perikanan Nusantara (Persero) (Perinus), Perum Perikanan Indonesia (Perindo), dan PT Pertani (Persero). Selanjutnya PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Garam (Persero), PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), dan PT Bhanda Ghara Reksa (Persero).
Kemudian, masih ada rencana pembentukan holding BUMN aviasi dan pariwisata, holding hotel BUMN, holding BUMN jasa survei, dan holding Rumah Sakit BUMN. Selain itu, di dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian BUMN 2020-2024, pemerintah juga akan membentuk holding BUMN industri manufaktur, holding BUMN industri pertahanan, holding BUMN industri media, holding BUMN industri layanan kepelabuhanan, dan holding BUMN industri.
“Urgensi dari pembentukan holding BUMN ini agar peran BUMN sebagai agen pembangunan lebih optimal, mendukung tercapainya program pemerintah melalui sinergi BUMN, hilirisasi, dan kandungan lokal, pembangunan ekonomi, daerah dan kemandirian keuangan,” kata Erick, November 2020 lalu.
Tidak hanya itu, pembentukan holding BUMN juga diharapkan dapat meningkatkan total aset BUMN secara signifikan. Sehingga, penyediaan pendanaan investasi skala besar dapat dilakukan demi tercapainya kepentingan negara.
Meski begitu, pembentukan holding, selain mendapatkan dukungan dari beberapa pihak juga menuai kontra dari banyak pihak lainnya. Rencana pembentukan holding pembiayaan Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) dan Ultra Mikro (UMi) misalnya.
Pembentukan holding ini berdasar pada pentingnya penggabungan data yang dimiliki oleh BRI, Pegadaian dan PNM. Dus, tujuan pemerintah untuk mendorong pengusaha kecil naik kelas bisa tercapai. Begitu pun dengan tujuan agar pengusaha yang sebelumnya tidak bankable berubah menjadi layak mendapatkan kredit perbankan.
“Pembiayaan ultra mikro juga sama. Menggabungkan satu data UMKM. Dengan upaya kita, pengusaha kecil naik kelas, ultra mikro yang tadinya tidak bankable naik kelas jadi bankable, yang tadinya pinjaman Rp2 juta karena track record bagus jadi mendapat pinjaman Rp50 juta. Hal-hal ini kita gabungkan dan efisienkan,” ujar Erick dalam konferensi press secara daring, Rabu (16/12) lalu.
Saat holding terbentuk, nantinya jika pelaku usaha ingin mengajukan pinjaman sebanyak Rp20 juta-Rp30 juta akan langsung dibantu oleh Pegadaian. Namun, jika pinjaman yang diajukan sudah di atas Rp50 juta, pelaku usaha akan mendapatkannya dari BRI.
“Nah, ini kami sinergikan. Keberpihakan kepada pelaku UMKM harus dari pemerintah, swasta atau BUMN,” imbuh dia.
Pemerintah tetap pegang kendali
Sementara itu, meski telah berbentuk holding, pemerintah memastikan akan tetap memegang kendali tertentu pada BUMN yang menjadi anak perusahaan holding melalui kepemilikan saham dwiwarna. Hal itu disampaikan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata kepada Alinea.id, Selasa (6/1)
“Seperti holding BUMN yang telah berjalan, pemerintah akan mempertahankan kendali tertentu pada BUMN yang menjadi anak perusahaan holding melalui kepemilikan saham dwiwarna,” tutur dia.
Ini dilakukan agar anak perusahaan holding masih dapat menjalankan fungsinya sebagai agent of development (Agen pembangunan). Anak perusahaan holding pun masih memiliki kewajiban untuk membayarkan dividen kepada pemerintah seperti biasa.
Terlebih, kewajiban BUMN untuk membayar dividen telah tercantum di dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Diharapkan tetap bisa dicapai (PNBP dalam bentuk dividen), walaupun sudah terjadi holdingisasi. Dividen anak perusahaan disetorkan ke induk holding dan pada akhirnya menambah setoran dividen dari induk holding ke negara,” jelas Isa.
Ihwal perkembangan pembentukan holding pembiayaan UMKM dan UMi ini, dia bilang, saat ini masih dalam tahap pembahasan di lingkungan pemerintah. Begitu juga dengan nasib dari anak perusahaan holding, yang saat ini juga tengah didalami oleh kementerian-kementerian terkait.
Belum tepat
Sementara itu, ketidaksetujuan terkait pembentukan holding pembiayaan UMKM dan UMi diutarakan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra G. Talattov dan Pengamat BUMN Achmad Yunus.
Abra bilang, jika dilihat dari sisi urgensinya, keberadaan holding ini sebenarnya tidak begitu dibutuhkan untuk saat ini. Terlebih dalam keadaan negara yang saat ini masih belum bisa keluar dari pandemi Covid-19.
Belum lagi, inti atau core bisnis dari ketiga BUMN pembentuk holding berbeda sehingga, masing-masing perusahaan plat merah tersebut telah memiliki pangsa pasarnya tersendiri. Misalnya BRI dengan nasabahnya yang sudah bankable, Pegadaian dengan nasabahnya yang kebanyakan masih belum terjangkau oleh sistem perbankan dan PNM dengan nasabahnya tersendiri pula.
“Walaupun konteksnya adalah si mikro ini naik kelas. Tapi, persoalannya ini juga perlu dilihat disrupsinya terhadap bisnis dari Pegadaian dan PNM. Jangan sampai nanti terjadi kanibalisme dan yang akan diuntungkan, dia akan menggemukkan induknya, yaitu BRI. Apalagi kan BRI sudah jadi perusahaan terbuka, sedangkan Pegadaian dan PNM 100% masih pemerintah,” ujar dia kepada Alinea.id, Senin (4/1).
Menurutnya, penggabungan tiga entitas pelat merah itu jangan sampai menjadi momentum atau peluang untuk menolong BRI yang saat ini juga tengah menghadapi tekanan di tengah pandemi. "Karena kan kemarin juga kinerjanya menurun. Jadi, jangan sampai hanya didasari oleh motif untuk meningkatkan sentimen positif Bank BRI, dalam hal ini untuk meningkatkan nilai saham Bank BRI. Jadi, jangan semata-mata untuk itu,” imbuh Abra.
Selain itu, dirinya juga khawatir akan potensi terjadinya efisiensi pegawai, baik itu karyawan Bank BRI, Pegadaian maupun PNM. Sebab, dengan membentuk holding, sama artinya dengan menggabungkan tiga perusahaan plat merah itu menjadi satu.
Dengan demikian, lini bisnis yang sama bisa saja dilebur menjadi satu, dengan tujuan melakukan efisiensi perusahaan. “Sehingga digabung dan ada pihak-pihak yang harus dikorbankan, ada pegawai yang harus dirasionalisasi,” tuturnya.
Senada dengan Abra, Acmad juga menilai, pembentukan holding pembiayaan UMKM dan UMi kurang tepat bila harus diterapkan pada sektor ekonomi mikro ini. Selain karena kebanyakan pelaku UMKM dan UMi yang masih belum bankable, juga karena pola BUMN yang sama dengan sistem perbankan.
“Ini realitanya membebani rakyat. Sudah banyak bank BUMN yang punya usaha mikro dan kehadirannya seperti rentenir bagi pelaku usaha kecil,” kata dia, Selasa (5/1).
Karenanya, Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute ini menyarankan agar pemerintah tetap menggunakan koperasi untuk mendukung pembiayaan mikro. Sebab, dengan pembiayaan model koperasi, keputusan dan kebijakan terkait pembiayaan usaha kecil dan mikro akan disesuaikan dengan kesepakatan anggota atas dasar kemampuan anggota.
Selain itu, keuntungan yang didapatkan akan kembali ke anggota, yang mana pelaku UMKM dan UMi menjadi bagian di dalamnya, melalui pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU). “Ini yang harus di support pemerintah,” tambahnya.
Berbeda dengan Abra dan Achmad, Pengamat BUMN Toto Pranoto mendukung penuh keputusan pemerintah untuk membentuk holding pembiayaan UMKM dan UMi ini. Sebab, dengan adanya holding, pembagian peran dari ketiga perusahaan plat merah itu akan semakin jelas.
Nantinya BRI akan menjadi hulu yang dapat memberikan akses kredit pada pelaku UMKM. Sementara Pegadaian ada di ring tengah, sebagai intermediaries yang menyalurkan kredit kecil sekaligus menerima gadai kelompok grass root. Adapun PMN bisa menjadikan posisinya sebagai coach atau instruktur pemberdayaan pada segmen ultra mikro dan segmen kecil, sehingga segmen ini bisa lebih berdaya.
“Peran anggota holding bisa dioptimalkan dulu dengan mengkapitalisasi keunggulan (competitive advantage) yang mereka miliki,” jelas Toto.
Adapun soal pembentukan holding BUMN lainnya, menurut Toto adalah langkah tepat yang telah diambil pemerintah. Karena lewat holdingisasi ini, pemerintah akan lebih mudah untuk mengatasi kondisi pareto yang sampai saat ini masih menghantui BUMN.
Pareto sendiri merupakan kondisi dimana hanya sebagian perusahaan plat merah saja yang menghasilkan pendapatan. Adapun saat ini, dari keseluruhan BUMN, hanya 25 perusahaan terbesar saja yang menghasilkan hampir 90% total penjualan.
"Dengan pengelolaan model holding diharapkan jumlah BUMN akan berkurang. Hingga pengawasan dan monitoring atas kinerja akan lebih mudah oleh Kementerian BUMN," kata dia.
Dengan holdingisasi, tambahnya, nilai valuasi yang akan dihasilkan oleh perusahaan hasil konsolidasi ini akan jauh lebih besar. Sebagai contoh, valuasi holding BUMN yang menggabungkan 4 BUMN. Misalnya holding tambang MIND ID nilainya bukan 4, melainkan bisa setara dengan valuasi aset 6 hingga 7 perusahaan plat merah.
"Dari mana sumber pertumbuhan nilai ini? Dari efisiensi pengelolaan cost structure (mengurangi duplikasi), serta peningkatan nilai produk komoditi dengan pengelolaan sampai dengan ke hilir (downstream).
Namun demikian, holdingisasi tidak serta merta dapat dilakukan kepada seluruh BUMN. Akademisi Universitas Indonesia (UI) itu menyarankan agar BUMN yang masuk kategori adalah yang menjadi kebutuhan publik namun kinerja sudah menurun. Juga, BUMN yang kesehatan internalnya sudah minus karena terlalu banyak merugi yang sebaiknya dilikuidasi saja.
Sementara itu, lewat konsolidasi ini, Toto yakin, BUMN dapat menjadi tumbuh bahkan lebih besar dari holding BUMN Singapura Temasek. Apalagi, jika perusahaan-perusahaan plat merah dikelola dengan benar oleh tangan-tangan profesional.
"Meskipun model Temasek sebagai holding tidak sama dengan holding BUMN yang kita jalankan saat ini, namun memberikan indikasi bagaimana potensi holding BUMN kalau dikelola dengan benar oleh tangan profesional," tandas dia.