Kepala Badan pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menyampaikan, naik turunnya harga beras nasional sangat dipengaruhi oleh pola produksi padi yang musiman dan berlaku sama setiap tahunnya.
Pola tersebut terbagi dua, yaitu musim tanam yang terjadi pada November hingga Desember, dan musim panen raya yang berlangsung pada Maret hingga April.
Dari pola produksi yang sama di tiap tahunnya, Margo mengatakan, seharusnya pemerintah bisa mempelajari pola tersebut untuk mengambil langkah dalam penyerapan beras saat panen raya tiba, dan intervensi pasokan beras saat masuk musim tanam.
“Kalau dilihat dari riwayat pola panen, Maret dan April adalah fase panen raya. Artinya kita seharusnya bisa menyerap produksi beras sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, saat paceklik dan musim tanam itulah kita intervensi supaya harga beras bisa terkendali,” ujar Margo dalam Raker dan RDP Menteri Pertanian, Kepala BPS, Kepala Bapanas, dengan Komisi IV DPR RI, Rabu (7/12).
Margo menegaskan, seharusnya di tahun ini memiliki surplus beras. Alasannya, selama 2022, total produksi beras nasional diperkirakan mengalami surplus mencapai 3,70 juta ton. Sehingga ia berharap ke depannya agar pemerintah bisa menggunakan pola produksi beras untuk menentukan waktu penyerapan dan intervensi beras.
“Di situlah (Maret-April) periode untuk menyerap sebetulnya. Sebaliknya, kita lihat akhir tahun dari Oktober sampai Desember, antara produksi dan konsumsi, level konsumsi lebih tinggi. Artinya, waktu menyerap di Maret dan April kita taruh di Oktober sampai Desember, harusnya cukup. Karena kalau kita hitung selama setahun, antara produksi dan konsumsi, kita masih surplus 1,70 juta ton,” terangnya.
Margo juga menyampaikan, yang menjadi tantangan dalam produksi beras nasional hingga saat ini adalah pendistribusian. Berdasarkan catatan BPS, provinsi di Indonesia yang menjadi sentra produksi beras terdiri dari tujuh provinsi, yaitu tertinggi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara. Ketujuh provinsi ini kata Margo menjadi penyuplai 75% stok beras nasional.
“Tantangannya yang dialami kawasan lain yang bukan produsen beras adalah pendistribusiannya,” lanjut Margo.
Kepala BPS ini kemudian juga mengungkapkan alasan tingginya harga beras di akhir 2022, dipicu sedang memasuki musim tanam serta adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) pada September.
“Di September harga beras mengalami kenaikan 1,44%. Kemudian Oktober mulai melandai 1,13%. November naik 0,37%. Jadi sekarang kenaikan harga beras walau suplainya terbatas, tetapi kenaikannya menunjukkan tren melandai. Artinya adalah harga ini adalah sinyal kecukupan,” tutur Margo.
“Jadi kalau harganya naik tipis-tipis, kita gak perlu worry. Orang harganya relatif landai, kita gak perlu worry. Kecuali kalau inflasi tinggi, saat itulah kita perlu takut. Bagaimana kita menyiapkan suplai. Kalau enggak, daya beli menjadi terbatas,” tambah Margo.
Dengan demikian, Margo meyakinkan bahwa secara makro harga beras hanya mengalami kenaikan yang tipis, dan hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan.
“Artinya secara makro ini kenaikannya tipis apalagi ada harga BBM. Dan itu kita tidak perlu khawatir,” tandas Kepala BPS.