close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Thaksin Shinawatra dalam pertemuan di Pentagon, Amerika Serikat pada September 2005./Foto commons.wikimedia.org
icon caption
Thaksin Shinawatra dalam pertemuan di Pentagon, Amerika Serikat pada September 2005./Foto commons.wikimedia.org
Bisnis
Kamis, 27 Maret 2025 15:54

Polemik Thaksin Shinawatra di Danantara

Perekrutan Thaksin sebagai Dewan Penasihat Danantara mengundang kontroversi karena rekam jejaknya.
swipe

Chief Executive Officer (CEO) atau Kepala Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Rosan Roeslani mengumumkan kepengurusan lengkap Danantara di Jakarta, Senin (24/3).

Dalam kepengurusan itu, terdapat nama-nama orang asing, seperti Lieng-Seng Wee yang menjabat sebagai Managing Director Risk and Sustainability Danantara dan Yup Kim yang menjadi Komite Investasi dan Portofolio Danantara.

Sementara di kepengurusan Dewan Penasihat Danantara, terdapat nama pendiri perusahaan dana lindung nilai Bridgewater Associates asal Amerika Serikat Raymond Thomas Dalio atau Ray Dalio, ekonom dan analis kebijakan publik asal Amerika Serikat Jeffrey David Sachs, dan Manajer Portofolio Ekuitas di Capital Group asal Amerika Serikat F. Chapman Taylor.

Satu nama lagi adalah mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra. Namanya menjadi polemik di antara beberapa nama lain.

“Kehadiran Thaksin adalah kesalahan besar yang tidak bisa ditutupi oleh tokoh lain. Ini akan membawa dampak yang besar bagi reputasi Danantara,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Alinea.id, Selasa (25/3).

Menurut Bhima, masyarakat dan investor menunjukkan respons negatif terhadap kehadiran Thaksin di Dewan Penasihat Danantara. “Thaksin memiliki sejumlah masalah hukum, seperti korupsi dan penghindaran pajak,” kata Bhima.

Thaksin punya rekam jejak yang problematik. Misalnya, penjualan saham Shin Corporation ke perusahaan Singapura, Temasek Holdings pada Januari 2006. Keluarga Shinawatra mendapat keuntungan 73 miliar baht atau 1,88 miliar dolar AS dari transaksi itu. Penjualan itu memicu kemarahan publik. Sebab, saham yang dijual dinilai sebagai aset nasional, yang semestinya tak boleh dijual ke pihak asing.

"Tidak ada kontribusi yang bisa diharapkan jika historinya dipenuhi masalah," tutur Bhima.

Sementara itu, dihubungi pada Senin (25/3), Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai Danantara harus lebih fokus menunjang performa yang solid melalui program-program dan target yang jelas. Dia pun menekankan pentingnya pemantauan dan evauasi rutin untuk memastikan pencapaian target dan tata kelola yang dijalankan.

“Mengingat pasar masih skeptis terhadap Danantara, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi kunci dalam membangun kepercayaan,” kata Esther.

img
Ikhsan Bilnazari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan