Tak sedikit warga masyarakat mengeluhkan masalah tagihan rekening listrik yang tiba-tiba melambung tinggi. Kenaikan mencapai sekitar 60% dari yang biasa dibayar. Kenaikan ini dinilai tidak wajar.
Tidak sepatutnya pihak pengelola stroom negara alias PLN membebani rakyat yang sudah susah terdampak Covid-19. Selain itu, kalangan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di berbagai sektor dapat dipastikan juga terbebani akibat kenaikan tarif listrik yang tanpa pemberitahuan maupun sosialisasi itu.
Anggota Komisi VI DPR RI Marwan Jafar mengungkapkan persoalan tersebut kepada para wartawan di Jakarta, Kamis (14/5).
"Apa pun istilah atau dalih yang disampaikan oleh pihak PLN sungguh tak masuk di akal sehat kita. PLN menyebut bukan kenaikan, tetapi "hanya" ada tambahan tagihan listrik yang dihitung mulai Maret atau April dan seterusnya. Di mata rakyat biasa, tetap saja persoalan itu dirasakan sebagai kenaikan tagihan," ujarnya.
Mantan Ketua Fraksi PKB DPR ini menambahkan, sebagian warga mengakui pemakaian listriknya meningkat karena penerapan kebijakan bekerja atau belajar dari rumah (WFH). Mereka menyampaikan kalau pun ada kenaikan tagihan, diperkirakan sekitar 30%.
Tetapi, kata Marwan, kalau kenaikan melonjak sampai 60%, diyakini hal itu merupakan akal-akalan PLN saja. Praktik seperti itu bisa dikategorikan sebagai pembohongan publik.
"Bukti tidak profesionalnya pengelolaan oleh PLN juga sudah tercium oleh lembaga Ombudsman yang akan mengusut indikasi kesalahan atau malaadministrasi oleh manajemen PLN," tandas Marwan.
Ia menegaskan, khususnya buat tagihan mulai Mei ini, dengan kenaikan tagihan pembayaran berarti juga menunjukkan PLN hanya melakukan penghitungan secara serampangan atau spekulatif tanpa melakukan pengecekan langsung ke lapangan. Apalagi bila didasari motivasi yang sistematis maupun ada unsur perbuatan yang disengaja.
"Yang jelas, sudah ada juga sebuah surat resmi dari petinggi Kementerian Perindustrian, No.B/368/M-IND/IND/V/2020 tertanggal 6 Mei 2020 yang ditujukan ke Dirut PLN yang antara lain mendesak penundaan pembayaran 50% tagihan PLN dan penghapusan denda keterlambatan, demi membantu cash flow dan keberlangsungan kalangan industri manufaktur selama masa pandemi Covid-19," ungkap Mantan Menteri Desa-PDTT ini.
Ia menambahkan akan mendukung bila lembaga seperti Ombudsman melakukan investigasi buat mengetahui lebih jauh apakah misalnya ada konsiprasi internal di PLN yang merugikan rakyat.
Sementara PT PLN (Persero) kembali menegaskan tidak ada kenaikan tarif listrik kepada pelanggan selama masa pandemi Covid-19. "Jadi sebenarnya tarifnya tidak naik, karena pemakaian pelanggan selama di rumah saja jadi tagihannya melonjak," kata Manager PLN UP3 Surakarta Ari Prasetyo di Solo, Kamis (14/5).
Ia mengatakan, ada kebiasaan pelanggan yang berubah selama masa pandemi ini. Jika biasanya penggunaan listrik akan berkurang di saat pelanggan bekerja di luar rumah, untuk saat ini tidak demikian.
"Biasanya pelanggan ke kantor seharian kan listriknya mati. Kalau sekarang terpakai lebih lama, misalnya AC nyala terus, semua alat elektronik juga tidak pernah mati. Jadi sebenarnya normal saja," katanya.
Meski demikian, pihaknya mengaku menerima banyak keluhan terkait lonjakan besaran tagihan listrik tersebut dari para pelanggan.
"Terkait keluhan ini selalu diklarifikasi oleh para petugas. Selanjutnya pelanggan akhirnya mengerti dan bisa menerima adanya kenaikan tagihan listrik ini," katanya.
Ia mengatakan pada klarifikasi tersebut para petugas memberikan penjelasan sehingga akhirnya pelanggan bisa memahami.
"Kami tunjukkan pemakaiannya seperti apa dan ternyata memang benar pemakaiannya seperti itu. Jadi tidak ada kenaikan dari kami," katanya. (Ant)