Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China dikatakan memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap sebuah negara. Bagi negara-negara ASEAN, perang dagang memiliki dampak tidak langsung. Terutama bagi negara yang bergantung pada aktivitas rantai suplai (supply chain) dan industri manufaktur.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, Indonesia tidak terlalu terpengaruh terhadap perang dagang karena hanya memiliki industri manufaktur dan supply chain yang kecil.
“Semakin dominan sektor manufakturnya dan kontribusinya sangat besar di ekonominya mereka akan terkena hit semakin besar,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (16/7).
Sri Mulyani menyebut hal ini kemudian menimbulkan dampak baik dan buruk. Sisi baiknya, dengan perlambatan pertumbuhan industri supply chain dan manufaktur, Indonesia tidak begitu terdampak perang dagang.
“Buruknya karena kita ingin mentransformasi perekonomian Indonesia,” ujarnya.
Sementara, negara ASEAN yang terdampak signifikan yakni Thailand dan Singapura. Untuk Singapura, hal ini dipengaruhi oleh ekspor-impor Negeri Singa itu yang lebih besar daripada total Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara Tiongkok dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi terlemah sejak 27 tahun terakhir.
“Kelihatan bahwa Singapura sudah masuk negative zone growth karena ekspor-impor dia lebih besar dari GDPnya dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok terlemah sejak 27 tahun terakhir,” tuturnya.
Sri Mulyani menjelaskan saat ini sebagian negara mulai melakukan langkah-langkah proteksi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak dari ketidakpastian ekonomi global yang sedang terjadi.
Ia menjelaskan mulai muncul banyak sekali perjanjian bilateral yang dilakukan. Untuk Indonesia, katanya, Bank Indonesia merintis bersama-sama dengan partner dagang transaksi hanya menggunakan bilateral currency saja.
“Sehingga mengurangi ketergantungan terhadap dolar. Saat dolar menjadi sangat mahal,” jelasnya.
Selain itu, trade bilateral juga merupakan satu langkah untuk mengurangi dampak negatif global ke dalam negeri masing-masing.
Ekspor terganggu
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Johnny Darmawan menilai perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berdampak pada ekspor Indonesia.
Selama ini, ekspor indonesia masih dipenuhi oleh barang-barang setengah jadi (intermediate). Untuk memproduksi barang tersebut, Indonesia membutuhkan pasokan bahan baku yang diimpor luar negeri.
“Jadi kalau di sana ribut, Indonesia terkenda dampak karena sulit mendapat bahan baku,” katanya saat dihubungi Alinea.id.
Ia melanjutkan, sebagai negara berkembang, Indonesia tidak bisa lepas dari hubungan ekspor-impor dengan negara lain. Sehingga, perang dagang secara tidak langsung menyebabkan penurunan produksi negara-negara dunia dan juga menurunkan permintaan bahan baku.
“Ekspor China kan drop (menurun). Artinya produksinya menurun,” kata dia.
Lebih jauh, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Bidang Otomotif ini juga menjelaskan turunnya produksi dalam negeri akan berdampak pada pemutusan kerja para karyawan.
Sementara, nilai mata uang negara-negara yang terlibat perang dagang ini jga akan bergejolak. Terutama berdampak pada harga dolar AS.
Ia menjelaskan, saat ini Indonesia masih memiliki utang dalam bentuk dolar. Sehingga, kenaikan harga dolar akan meningkatkan besaran utang negara.
Produk masih kalah saing
Sementara itu, Johnny mengatakan, Indonesia sebetulnya dapat memanfaatkan perang dagang ini dengan membidik pasar yang biasa diisi oleh produk-produk China di Amerika. Hanya saja, kata dia, produk Indonesia tidak kompetitif.
Ia mengatakan, mahalnya harga kebutuhan bahan baku produksi, seperti bahan bakar dan biaya logistik menyebabkan harga jual meningkat.
“Barang yang kita punya itu masih kalah bersaing. Tidak kompetitif. Industrinya siap tapi cost (biaya produksi) mahal,” ujarnya.
Harga komoditas menurun
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyatakan perang dagang menyebabkan harga komoditas dunia menurun.
Untuk itu, kata Enny, Indonesia harus menghindari jebakan rendahnya harga komoditas dengan menggenjot industri manufaktur.
“Harus segera melakukan industrialisasi. Kembangkan pengolahan. Kalau komoditas ini kita olah kita tidak perlu bergantung lagi dengan dua negara besar tadi,” ujarnya.
Enny melanjutkan, dengan mengolah produk-produk secara mandiri dan lebih baik, Indonesia dapat mengekspor produknya ke berbagai negara.
“Tapi kalau kita tidak melakukan pengolahan kita akan bergantung dengan dua negara tadi (AS dan China). Padahal kita bisa cari peluang di pasar baru untuk (memasarkan) barang jadi atau setengah jadi,” ujarnya
Enny mengakui selama ini investasi di sektor industri masih terkendala regulasi yang berbelit dan mudah berubah serta ketersediaan energi yang mahal.
Ke depan, kata Enny, Indonesia bisa fokus pada industri yang sudah memiliki nilai tambah besar bagi perekonomian. Ia mengatakan, Industri yang kompetitif itu industri yang berbasis agro untuk industri hilir dan tambang untuk mother industrinya.