Obligasi menjadi salah satu instrumen investasi yang menguntungkan hingga akhir tahun ini. Pergerakan surat utang dipengaruhi oleh tren suku bunga rendah yang masih akan berlangsung.
Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Syuhada Arief mengatakan pasar obligasi Indonesia masih menarik, terlihat pada tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang berada pada level atraktif.
Selisih imbal hasil SBN 10 tahun dengan surat utang negara Amerika Serikat (AS), US Treasury dengan tenor yang sama di kisaran 280 basis poin (bps) atau di atas rata-rata 250 bps. Sementara itu stabilitas inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, arah kebijakan fiskal domestik, serta outlook soft landing AS menjadi faktor risiko yang dapat mempengaruhi outlook pasar obligasi domestik ke depannya.
“Kami memperkirakan, imbal hasil SBN 10 tahun masih ada di kisaran 6% hingga 6,25% hingga akhir tahun ini,” ujar Arief, Senin (21/10).
Menurutnya, pasar obligasi akan diuntungkan oleh tren suku bunga rendah. Di dalam negeri, BI diprediksi akan kembali memangkas suku bunga acuannya setelah sebelumnya menyatakan akan beralih fokus kebijakan dari pro-stability menjadi lebih seimbang antara stabilitas dan pertumbuhan, mengindikasikan potensi ke depan dapat menjadi lebih pro-growth.
"Pemangkasan BI rate diperkirakan masih akan berlanjut di kuartal IV-2024, sebagai antisipasi dalam menopang pertumbuhan di tengah risiko perlambatan ekonomi global. Inflasi domestik yang rendah dan risiko melambatnya pertumbuhan ekonomi global dapat menjadi faktor pemicu bagi BI untuk lebih cepat memangkas suku bunga," katanya.
Secara historis dalam siklus pemangkasan suku bunga, dia bilang, imbal hasil obligasi cenderung turun mengikuti besaran pemotongan yang terjadi. Kondisi tersebut memberi peluang bagi investor untuk mengunci imbal hasil di level menarik saat ini sebelum pemangkasan suku bunga lebih lanjut.
Adapun di global, pertumbuhan ekonomi AS pada tahun 2025 diperkirakan masih mengalami moderasi. Sebaliknya, pertumbuhan kawasan Asia diramal membaik karena siklus pengetatan suku bunga sebelumnya yang tidak seagresif AS sehingga dampaknya lebih minor terhadap ekonomi. Pasar finansial Indonesia bakal diuntungkan oleh siklus pemangkasan suku bunga AS dan domestik.
"Ruang pelonggaran moneter diperkirakan masih cukup besar, di tengah peralihan menuju kebijakan pro-pertumbuhan," lanjutnya.
Dia menyebut bank sentral AS, The Fed berpotensi masih akan menurunkan suku bunga acuannya di kuartal IV-2024, namun besarannya tergantung kondisi dan indikator ekonomi yang terjadi. Angkanya sendiri diperkirakan tidak akan sebesar pemangkasan suku bunga The Fed yang terakhir.
"Kawasan Asia masih memiliki daya tarik, dipicu stabilitas pertumbuhan ekonomi dan selisih suku bunga riil dengan AS yang berpotensi melebar," katanya.
Dari China, lanjut Arief, pemerintah China telah mengumumkan serangkaian pelonggaran moneter dan komitmen terhadap stimulus fiskal, hal ini mengindikasikan perubahan fokus kebijakan dari pro-stability menjadi pro-growth. Perubahan ini awalnya disambut positif, dan mampu mendorong masuknya arus dana asing secara masif ke pasar saham China. Namun pasar masih menantikan stimulus fiskal untuk mendukung konsumsi masyarakat yang dipandang dapat lebih efektif mendukung pertumbuhan ekonomi China.
Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jumat (18/10) mengatakan ketidakpastian pasar keuangan global kini mulai mereda didukung pelonggaran kebijakan moneter beberapa negara utama merespons tekanan inflasi yang melambat. Inflasi AS diprakirakan semakin mendekati sasaran sebesar 2% secara tahunan (yoy) di tengah masih lambatnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya angka pengangguran.
Perkembangan tersebut mendorong The Fed memangkas suku bunga acuannya, Fed Funds Rate (FFR) sebesar 50 bps ke level 4,75% hingga 5% pada September 2024, dengan sinyal pelonggaran lanjutan hingga akhir tahun 2024. Sejalan dengan itu, yield US Treasury tenor 2 tahun menurun signifikan dan lebih rendah dari yield 10 tahun, serta indeks mata uang AS (DXY) juga melemah.
Di kawasan Eropa, European Central Bank (ECB) kembali menurunkan suku bunga acuan pada bulan September 2024 menyusul pemangkasan di Juni 2024. Adapun di Asia, inflasi yang rendah dan permintaan domestik yang masih lemah mendorong People's Bank of China (PBoC) menurunkan suku bunga acuan.
"Berbagai perkembangan tersebut meredakan ketidakpastian pasar keuangan global dan meningkatkan aliran masuk modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun demikian, memasuki Oktober 2024, risiko ketidakpastian pasar keuangan global kembali meningkat sejalan dengan eskalasi geopolitik di wilayah Timur Tengah, sehingga diperlukan respons kebijakan guna memitigasi dampak rambatan global," ujarnya.