Tidak semua masyarakat menengah ke bawah dapat menikmati daging kurban. Hal ini terjadi karena pelaksanaan kurban di Indonesia masih terdesentralisasi. Itu merupakan hasil riset Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) - Dompet Dhuafa soal ekonomi kurban 2019.
Salah satu tim tim peneliti IDEAS, Febby Meidawati, menjelaskan hingga saat ini tidak ada data resmi tentang jumlah dan nilai hewan ternak yang dikurbankan pada bulan Dzulhijjah setiap tahunnya di Indonesia. Ini karena pelaksanaan kurban masih terdesentralisasi oleh panitia kurban.
IDEA memperkiraka, dari jumlah penduduk muslim Indonesia sebanyak 232,1 juta orang, sejumlah 49,4 juta dapat dikelompokkan sebagai kelas menengah-atas. Dari kelompok tersebut, dengan tingkat ketaatan berkurban sekitar 27,5%, maka dapat diperkirakan jumlah orang yang berkurban mencapai 3,5 juta orang.
Dari total orang yang berkurban, IDEAS memperkirakan ada 2,49 juta ekor kambing dan 1,02 juta ekor sapi. Asumsinya berat hewan ternak kecil 25-50 kg dan berat karkas sebesar 42,5%, lalu hewan ternak besar 250-500 kg dan berat karkas sebesar 50%, maka potensi ekonomi kurban 2019 setara 181 ribu ton daging.
Dari jumlah tersebut, apabila dikalikan dengan harga riil (pasar) dan asumsi marjin distribusi dan perdagangan hewan ternak. Hitungan IDEAS potensi kurban mencapai Rp28,4 triliun.
Akan tetapi, jumlah besar tersebut tidak tersebar secara merata. Hal itu disebabkan karena kesenjangan ekonomi yang terjadi antara perkotaan dengan pedesaan. "Karena kesenjangan, kurban menjadi tidak merata," ucapnya.
Menurut IDEAS, surplus daging kurban terjadi di perkotaan namun di pedesaan terjadi defisit daging korban. Surplus banyak terjadi di wilayah Pulau Jawa dan defisit banyak terjadi Pulau Jawa dan Sulawesi.
Rinciannya, surplus daging antara 9.000 sampai 18.000 ton terjadi di Jawa Barat, DKI Jakarta, perkotaan Banten, dan perkotaan Jawa Timur.
Sementara defisit daging kurban terjadi di: pedesaan Jawa Timur sebanyak 22.000 ton, pedesaan Jawa Tengah 16.000 ton, pedesaan Sulawesi Selatan 9.000 ton, pedesaan Jawa Barat 5.000 ton dan pedesaan Lampung 5.000 ton.