Kementerian Perindustrian menyatakan perjanjian kerja sama komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) diproyeksikan mampu membuka peluang ekspor mobil listrik ke Australia hingga mencapai 1,1 juta unit.
“Potensi pasar otomotif di Australia sebesar 1,1 juta ini sudah terbuka bagi seluruh produsen Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam keterangan resmi kepada Alinea.id, Selasa (12/3)
Menurut Airlangga, kerja sama ini juga akan memberi peluang Indonesia untuk ekspor mobil listrik dan hybrid ke Negeri Kanguru tersebut dengan tarif preferensi 0%. Seperti diketahui, IA-CEPA menyepakati bahwa 6.747 pos tarif barang asal Indonesia akan dibebaskan bea masuknya ke Australia.
Peluang besar
Sementara, dalam sepuluh tahun terakhir, industri otomotif di Australia menutup pabriknya karena pasar negara kanguru tersebut dianggap tidak menguntungkan bagi para produsen mobil.
Untuk memenuhi kebutuhan kendaraan roda empat, selama ini Australia mengandalkan impor dari beberapa negara seperti Thailand, Jepang, China, dan India.
Berdasarkan tipe, lanjut Airlangga, permintaan mobil di Australia, jika digabung mobil penumpang dengan tipe Sport Utility Vehicle (SUV), setiap tahun bisa mencapai 70% dari total pasar di negeri tersebut.
Mobil penumpang kerap kali diisi jenis mobil sedan ataupun crossover, sedangkan SUV serta mobil komersial yang paling banyak diburu tak lain adalah kabin ganda.
Menurut Airlangga, daftar merek mobil paling laris di Australia antara lain Mazda 3, Toyota Corolla, Camry, Holden Toyota RAV 4, dan Hyundai i30.
Selain itu, mobil-mobil kabin ganda seperti Toyota Hilux, Ford Ranger, serta Isuzu D Max mencatatkan penjualan moncer. Rata-rata, penjualan Toyota di Australia mencapai 200.000 unit per tahun. Dengan hitungan tersebut, merek asal Jepang itu menguasai rata-rata 17,5 persen pasar otomotif.
Sejak lima tahun belakangan, volume pasar mobil di sana tidak bergeser jauh. Permintaan pasar tertinggi terjadi pada 2016, sebanyak 1,17 juta unit. Karakter pasar itu pun hampir serupa dengan Indonesia. Mobil penumpang mendominasi permintaan pasar Australia.
Perubahan skema PPnBM
Sementara, Airlangga mengatakan pemerintah juga akan melakukan perubahan skema Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan. Hal ini dilakukan untuk menggenjot industri otomotif nasional.
Dalam aturan baru ini, PPnBM tidak lagi dihitung dari kapasitas mesin, namun pada emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor. Semakin rendah emisi, semakin rendah tarif PPnBM kendaraan. Skema itu tengah dikonsultasikan oleh pemerintah pada parlemen.
“Insentif baru yang dikeluarkan pemerintah ini disederhanakan menjadi berbasis emisi. Skema harmonisasi ini diharapkan bisa mengubah kendaraan produksi dalam negeri menjadi rendah emisi, meningkatkan investasi, dan memperluas pasar ekspor,” kata dia.
Dengan aturan baru tersebut, semakin rendah emisi kendaraan, maka semakin rendah tarif pajaknya. Berbeda dengan aturan sekarang yang mempertimbangkan besaran kapasitas mesin mobil.
Harmonisasi skema baru ini sekaligus memberikan insentif produksi motor dan mobil listrik di tanah air, sehingga PPnBM menjadi nol persen. Bila dalam aturan sebelumnya insentif hanya diberikan untuk kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau (KBH2), dalam aturan baru ini insentif diberikan kepada Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) atau kendaraan bermotor kategori beremisi karbon rendah.
Selain itu, kendaraan Hybrid Electric Vehicle (HEV) yang mengadopsi motor listrik dan baterai untuk peningkatan efisiensi, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) yang dayanya dapat diisi ulang di luar maupun di luar kendaraan, dan Flexy Engine.
Airlangga mengatakan, perubahan skema PPnBM ini diproyeksikan berlaku pada tahun 2021. Hal tersebut mempertimbangkan kesiapan para pelaku usaha. Dengan tenggat waktu dua tahun, pelaku usaha akan mampu melakukan penyesuaian dengan teknologi atau bisa memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif PPnBM yang lebih rendah lalu pelaku usaha baru bisa mendapatkan kepastian berusaha.
“Kami sudah berdiskusi dengan para pelaku usaha. Mereka sudah minta waktu dua tahun untuk menyesuaikan. Pabrikan Jepang yang sudah eksisting di industri otomotif sudah siap, juga pabrikan dari Eropa,” tuturnya.
Airlangga menuturkan, pertumbuhan industri otomotif di Tanah Air sangat meyakinkan dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor industri nonmigas sebesar 9,98%. Data ekspor kendaraan bermotor roda dua menunjukkan tren kenaikan sebesar 53% dan 44% pada 2016-2018.
“Kalau kita lihat dari unitnya roda empat ini produksinya 1,3 juta nilainya US$13,7 miliar dan ekspornya ke mancanegara 346 ribu atau US$4,7 miliar. Di ASEAN 297 ribu unit atau US$2,3 miliar,” ucapnya.