Potensi risiko Indonesia jadi anggota BRICS
Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS (Brazil, Russia, India, China and South Africa), usai pemerintah Brasil menyampaikannya pada Senin (6/1). Dalam pengumuman itu, pemerintah Brasil menyebut, negara-negara anggota lainnya sudah sepakat menjadikan Indonesia sebagai anggota tetap sejak 2023.
BRICS adalah asosiasi negara-negara berkembang yang punya pertumbuhan ekonomi pesat yang didirikan pada 2006. Mulanya bernama BRIC, sesuai akronim negara anggotanya, yakni Brasil, Rusia, India, dan China. Lalu, pada 2010 Afrika Selatan bergabung, sehingga bernama BRICS.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2023, organisasi ini memutuskan memperluas keanggotaan. Selain Indonesia, ada Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang juga baru bergabung. BRICS juga memiliki anggota negara mitra, antara lain Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Malaysia, Thailand, Uganda, dan Uzbekistan.
Menurut dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Mulawarman Frisca Alexandra, keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS merupakan langkah yang strategis.
“Untuk mengurangi ketergantungan pada tatanan dunia atau ekonomi, yang selama ini didominasi oleh Barat,” kata Frisca kepada Alinea.id, Jumat (10/1).
Meski punya risiko menyeret Indonesia ke dalam konflik dengan negara adidaya. Sebab, hadirnya BRICS banyak dikaitkan dengan upaya untuk menantang dominasi negara Barat. Selain mengurangi ketergantungan ekonomi Barat, kata Frisca, bergabung ke BRICS juga bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk mencapai target di bidang ekonomi lewat investasi asing.
Kendati demikian, Frisca mengingatkan, bergabung ke BRICS pun dapat merugikan Indonesia secara ekonomi, bila tidak pandai memainkan hubungan ekonomi dengan China, yang berpotensi menjadikan Indonesia sebagai pasar.
Di sisi lain, Indonesia juga harus bersiap menghadapi ancaman perang dagang jilid dua, yang kemungkinan akan kembali muncul antara Amerika Serikat dan China—usai Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada pertengahan Januari 2025 nanti. Trump, kata Frisca, sudah banyak memberi pertanda bakal melawan negara yang menjadi anggota BRICS karena berpotensi melemahkan dolar AS.
“Tapi kita tidak perlu khawatir karena (menganut) politik luar negeri bebas aktif. Bebas artinya, kita bebas bekerja sama dengan siapa pun selama sesuai dengan kepentingan kita. Sementara aktif adalah aktif dalam perdamaian dunia,” ujar Frisca.
Saat ini, menurut Frisca, Indonesia juga dalam proses bergabung dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). OECD berdiri pada 1961, bermarkas di Paris, Prancis. Organisasi ini berperan dalam membentuk kebijakan ekonomi pembangunan di sektor perpajakan, perdagangan, pendidikan lingkungan, dan pembangunan internasional.
Hingga kini, ada 38 negara anggota OECD. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara pertama yang berstatus sebagai negara aksesi OECD, bersama Argentina, Brasil, Bulgaria, Kroasia, Peru, dan Rumania.
“Melawan pemimpin negara yang agresif seperti Trump, Indonesia jangan agresif. Kita tunjukan saja pada Amerika Serikat untuk meningkatkan kerja sama dengan mereka,” kata Frisca.
Sementara itu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Jember Abubakar Eby Hara menilai, risiko Indonesia terseret konflik dengan negara adidaya karena bergabung ke BRICS tetap ada. Sebab, BRICS memang tidak mengikutsertakan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya.
“Apalagi Amerika Serikat di bawah Trump nantinya tidak suka dengan BRICS,” ucap Eby, Jumat (10/1).
Meski BRICS bukan organisasi multilateral dalam bidang militer, tetapi Eby mengatakan, BRICS bagian dari upaya kontra hegemoni politik dan ekonomi Amerika Serikat. Negara-negara yang bergabung ke dalam BRICS pun sedang mencoba membangun alternatif terhadap tatanan global hegemoni Amerika Serikat yang dianggap tidak adil sejak lama.
“Tantanan itu secara ekonomi didominasi organisasi, seperti IMF (International Monetary Fund) dan WTO (World Trade Organization) telah lama dikritik sebagai tidak adil. Dominasi dolar AS juga dikritik, sehingga melahirkan pemikiran mencari alternatif transaksi bukan dengan Dolar AS,” tutur Eby.
Eby menuturkan, keuntungan Indonesia bergabung BRICS adalah bisa memperluas jaringan kerja sama baru pada level multilateral dan global, serta tidak lagi berkutat pada level regional ASEAN. Walau begitu, masih butuh pembuktian, sejauh mana kemampuan diplomasi Indonesia berperan dalam membawa misi ke BRICS.
“Kekhawatiran kita terjebak dalam permainan negara-negara besar justru dapat diredam kalau bergabung, dan memang sudah bergabung, dengan organisasi-organisasi di mana Amerika Serikat dan sekutunya ada di sana,” kata dia.
“Indonesia misalnya menjadi anggota G-20, kemudian mau menjadi anggota OECD, yang lebih dilihat sebagai organisasi bagian dari hegemoni Barat.”
Lebih lanjut, Eby menambahkan, negara-negara yang menjadi anggota di banyak organisasi akan cenderung dapat mencegah konflik karena afiliasi yang lintas organisasi dan loyalitas kelompok.
Dampak dan reaksi jangka pendek dari Amerika Serikat di bawah Donald Trump memang harus dihadapi BRICS. Namun, anggota BRICS yang juga banyak tergabung dalam aliansi yang terdapat Amerika Serikat di dalam keanggotaannya, akan bisa meredam konflik.
“Masuknya banyak negara di dalamnya, yang punya banyak afiliasi di dunia internasional, bisa mencegah radikalisme di dalam BRICS,” ujar Eby.
“Radikalisme yang dimaksud adalah BRICS yang dibawa ke arah posisi ekstrem kepentingan Rusia dan China.”