PP E-commerce: Aturan main pelaku usaha digital yang ‘mengambang’
Sudah setahun Peni Citra Dana berjualan salad buah di media sosial dan marketplace. Shopee menjadi salah satu marketplace tempat melapak Peni. Omzet penjualan bisnisnya mencapai Rp6 juta-Rp9 juta per bulan.
Kata Peni, di Shopee, tokonya sudah diajukan gratis ongkos kirim, dengan minimum belanja.
“Tetapi terkena pajak 3%,” kata Peni saat dihubungi Alinea.id, Kamis (12/12).
Pebisnis online lainnya, Anissa Ayu, sudah 10 tahun berjualan di dunia maya. Mulanya, ia berjualan kostum sepak bola melalui forum Kaskus. Kini, ia menjajakan sedotan berbahan besi di Instagram dan Tokopedia.
“Saya jualan sedotan enggak di Shopee, soalnya harga di Shopee jatuh banget. Jual elektronik biasanya di OLX dan Tokopedia. Jadi, tergantung,” ujar Anissa saat dihubungi, Kamis (12/12).
Menurut dia, marketplace terpercaya karena memiliki rekening bersama. Sehingga, bila barang sudah tiba di pembeli, penjual bisa mencairkan uangnya.
Baik Peni maupun Anissa mengaku belum mengantongi izin usaha. Namun, mereka tak keberatan bila ditarik pajak.
Tarik pajak dan urus izin
Perdagangan elektronik atau e-commerce memasuki babak baru. Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau PP E-commerce. Beleid ini terdiri dari 19 bab dan 82 pasal, berlaku sejak 25 November 2019.
Di dalam Pasal 1 ayat 6 disebutkan, pelaku usaha PMSE adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang dapat berupa pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, dan melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE.
Pasal 4 ayat 1 disebutkan, PMSE dapat dilakukan oleh pelaku usaha, konsumen, pribadi, dan instansi penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya disebut para pihak.
Artinya, PP ini berlaku untuk siapa pun yang melakukan kegiatan perdagangan secara elektronik. Masalahnya, tak tertera aturan pajak secara detail.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, PP E-commerce memang tidak mengatur pajak secara spesifik.
Menurutnya, mekanisme perpajakan PP E-commerce mengikuti ketentuan pungutan pajak nasional, bukan daerah. Jika omzet pelaku perdagangan digital di bawah Rp4,8 juta, maka membayar pajak penghasilan (PPh) sebesar 0,5%.
“Itu berlaku bagi marketplace atau lapak online di media sosial. Sama seperti yang konvensional, tidak ada aturan khusus untuk e-commerce dalam negeri,” kata Hestu saat dihubungi, Kamis (12/12).
Sistem perpajakan di Indonesia, kata Hestu, berbasis self assessment. Artinya, dituntut kesadaran dari pelakunya untuk mendaftar, menghitung, hingga tahap pembayaran pajak.
Oleh karenanya, kata dia, perlu pembinaan dan edukasi untuk memupuk kesadaran membayar pajak. Sejauh ini, menurut Hestu, masih banyak pelaku PMSE yang belum taat membayar pajak.
Di dalam PP 80/2019, Pasal 15 ayat 1 pun disebut, pelaku usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE. Artinya, pelaku usaha yang berjualan di Bukalapak, Tokopedia, dan lainnya wajib memiliki izin usaha.
Terkait hal ini, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto memastikan pengurusan izin akan dipermudah. Izin bisa diurus melalui sistem online dan tanpa pungutan biaya. Saat ini, katanya, Kementerian Perdagangan sedang menggodok aturan turunan, yang berisi petunjuk teknis kebijakan.
“Semua ini agar terdata secara lengkap. Artinya, pembeli yakin bahwa penjual ini jelas dan juga produknya jelas ada,” ujar Agus kepada wartawan di Jakarta, Senin (9/12).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, beberapa tahun belakangan, pemerintah memberi kemudahan lebih terhadap industri e-commerce dibandingkan konvensional.
“Memang ada kecemburuan (dari pelaku usaha konvensional),” kata dia saat dihubungi, Rabu (11/12).
Terkait izin usaha, menurut dia, perizinan dan pendataan yang diwajibkan di dalam PP 80/2019 merupakan cara untuk mencegah penipuan yang marak terjadi di e-commerce.
“Tidak secara liberal orang bisa berdagang apa saja melalui e-commerce. Jadi, ini termasuk penertiban,” tutur Ikhsan.
Dampak positif dan negatif
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, sebelum aturan turunannya diterbitkan, belum ketahuan dampak positif dan negatif PP E-commerce.
Menurut Untung, PP 80/2019 hanya payung hukum yang mengatur secara spesifik usaha perdagangan digital. Namun, ia mewanti-wanti terkait perpindahan pelaku usaha di marketplace.
“Kalau peraturan turunannya mewajibkan (pajak) ya ada risiko yang pindah (ke media sosial),” ujar Ignatius saat dihubungi, Rabu (11/12).
Sementara itu, peneliti dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menuturkan, PP E-commerce bisa membuat setara persaingan usaha online dan offline. Dengan PP tersebut, kata Huda, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang mengakomodir pelaku usaha e-commerce.
Selain itu, menurutnya, PP 80/2019 merupakan salah satu cara untuk membendung produk impor dari China, yang menguasai pasar Indonesia lewat e-commerce.
Di dalam Pasal 7 ayat 1 disebut, pelaku usaha luar negeri yang secara aktif melakukan penawaran dan/atau melakukan PMSE kepada konsumen yang berkedudukan di wilayah hukum NKRI, yang memenuhi kriteria tertentu dianggap memenuhi kehadiran secara fisik di Indonesia dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di wilayah hukum NKRI.
Artinya, e-commerce yang berasal dari luar negeri harus punya bentuk usaha tetap yang digunakan subjek pajak luar negeri.
“Pelaku PMSE asing harus berbadan hukum di Indonesia. Itu setidaknya bisa mengerem impor,” ujar Huda saat dihubungi, Rabu (11/12).
Akan tetapi, menurut Huda, di balik sisi positif itu, ada dampak negatif yang harus jadi perhatian. Ia mempertanyakan klasifikasi pelaku usaha untuk seseorang yang menjual barang bekas di e-commerce, hanya sekali saja.
Huda pun khawatir terjadi migrasi pelaku usaha dari marketplace ke media sosial (social commerce), seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Imbasnya, akan berdampak pada penurunan investasi di bisnis digital.
Pemerintah, menurut Huda, harusnya sudah mengantisipasi hal ini, sebelum menerbitkan PP E-commerce. Huda mengatakan, perdagangan melalui media sosial sangat sulit ditarik pajak.
“Akan kejar pajak ke social commerce. Memangnya semudah itu? Saya rasa, PP ini hanya untuk mendata saja, bukan menarik pajak,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, pemerintah sebenarnya bisa saja menarik pajak dari pelaku usaha di media sosial. Caranya, bekerja sama dengan penyedia aplikasi terkait. Namun, solusi ini pun sulit dipraktikkan, kecuali pemerintah juga bekerja sama dengan perbankan.
Huda mencontohkan kasus di Thailand. Di Negeri Gajah Putih itu, kata dia, pemerintahnya mencocokkan data perbankan dengan data NPWP. Misalnya, ditujukan terhadap pelaku usaha yang punya rekening di bank A dan memiliki transaksi 100 kali dalam sebulan masuk ke rekeningnya.
“Itu sudah ditetapkan sebagai penjual. Itu bisa diterapkan di Indonesia, tapi harus bekerja sama dengan perbankan. Masalahnya, perbankan kita mau atau tidak?” tutur Huda.