close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pajak. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi pajak. Foto Freepik.
Bisnis - Makro Ekonomi
Jumat, 15 November 2024 18:18

Kenaikan PPN jadi 12%, beban baru pekerja gaji UMR dan kelas menengah

Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 mengundang kritik tajam.
swipe

Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 menuai kritik tajam, terutama dari kalangan pengusaha dan masyarakat kelas menengah. 

Kebijakan ini, meskipun bertujuan untuk memperbaiki penerimaan negara, justru menciptakan dampak negatif bagi perekonomian.

Beban baru bagi pekerja dengan gaji UMR

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan pekerja dengan pendapatan setara upah minimum regional (UMR) dan kelas menengah merupakan kelompok yang paling terdampak kenaikan pajak tersebut.

Dengan tarif PPN yang lebih tinggi, hampir semua barang dan jasa mengalami kenaikan harga, termasuk kebutuhan pokok. Dus, daya beli akan tergerus. Kelompok ini terpaksa mengurangi konsumsi barang-barang penting.

"Ketika daya beli menurun, konsumsi domestik yang merupakan kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut melemah," ujar Achmad, Jumat (15/11). 

Peningkatan biaya hidup akan semakin terasa berat karena pendapatan kelas menengah tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Dalam banyak kasus, gaji UMR bahkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Tak hanya impitan ekonomi, tambahan beban dari kenaikan PPN ini juga bakal menciptakan tekanan psikologis yang besar bagi masyarakat.

Selain itu, kenaikan tarif PPN juga bakal memicu inflasi, yang merupakan ancaman besar bagi stabilitas ekonomi. Tingginya laju inflasi tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga sektor usaha kecil dan menengah (UKM). 

Achmad bilang, biaya produksi dan operasional ikut meningkat akibat kenaikan PPN. Ujung-ujungnya, UKM harus memilih antara mengerek harga produk atau mengorbankan margin keuntungan. 

"Kedua pilihan ini dapat memengaruhi keberlanjutan usaha mereka dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujarnya.

Lebih jauh lagi, inflasi yang dipicu oleh kenaikan PPN juga bisa menghambat investasi. Investor akan ragu untuk menanamkan modalnya di pasar yang kurang stabil lantaran turunnya daya beli dan melambatnya prospek ekonomi.

Tak tepat sasaran

Alasan pemerintah menaikkan pajak demi meningkatkan penerimaan negara dinilai tak tepat. Apalagi, kondisi ekonomi sedang berusaha pulih. Alih-alih membebankan masyarakat dengan pajak yang lebih tinggi, Achmad menyebut pemerintah seharusnya fokus pada memperluas basis pajak dan memperbaiki efisiensi penerimaan pajak. 

"Masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum digarap secara optimal, terutama dari sektor-sektor ekonomi besar yang selama ini belum terjangkau secara maksimal," katanya.

Selain itu, pemerintah perlu mengevaluasi pengeluaran negara yang tidak produktif. Penggunaan anggaran untuk proyek-proyek mercusuar yang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat disebut perlu dikurangi.

"Reformasi fiskal yang fokus pada efisiensi anggaran akan lebih efektif ketimbang sekadar menaikkan pajak," lanjutnya. 

Kebijakan ini juga berisiko menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Apalagi, di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, masyarakat berharap pemerintah hadir dengan solusi yang memudahkan kehidupan, bukan justru membebani dengan tambahan pajak. 

Ketidakpuasan masyarakat diramal dapat memunculkan resistensi sosial yang lebih besar. Hal itu terlihat dari banyaknya penolakan atas kebijakan kenaikan pajak yang sudah bermunculan.

Menurut Achmad, pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif lain guna memperbaiki keuangan negara. Yakni, dengan memperluas basis pajak, misalnya fokus pada sektor ekonomi informal dan digital yang masih banyak belum terjangkau pajak.

Kemudian, melakukan efisiensi belanja negara dengan mengurangi pengeluaran untuk proyek-proyek tidak prioritas.

Di samping itu, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan pajak progresif dengan membebankan tarif pajak yang lebih besar pada golongan ekonomi atas dan bukan membebani seluruh masyarakat secara merata.

"Pemerintah perlu mencari solusi yang lebih inovatif dan adil untuk memperbaiki keuangan negara tanpa menekan masyarakat kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional," katanya.

Sementara, kondisi masyarakat kelas menengah sudah cukup berat. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mencatat masyarakat kelas menengah mengalami penurunan sebesar 9,48 juta orang atau turun sebanyak 16,5% selama lima tahun terakhir. 

Ekonom Indef Bustanul Arifin mengatakan penurunan kelas menengah berdampak negatif pada ekonomi Indonesia, karena kelas ini berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, tata kelola, dan reformasi kebijakan.

"Penurunan ini berkaitan dengan transformasi struktural dari sektor pertanian ke manufaktur, yang kontribusinya terhadap PDB (produk domestik bruto) terus menurun sejak 1995," katanya. 

Menurut Bustanul, diperlukan penguatan industrialisasi, reformasi tata kelola kebijakan, dan digitalisasi untuk mendukung kelas menengah.

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan