PPN 12% mulai terasa, Natal dan tahun baru tak lagi meriah
Menjelang perayaan Natal dan tahun baru, dunia usaha menghadapi tantangan berat dengan kondisi yang cenderung lesu. Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 diperkirakan semakin menekan konsumsi masyarakat, daya beli, dan aktivitas ekonomi.
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), menyatakan kenaikan tarif PPN berpotensi menurunkan konsumsi rumah tangga hingga 0,37%, yang selanjutnya berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp65,33 triliun. “Konsumsi rumah tangga merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Ketika pendapatan masyarakat menurun akibat kenaikan pajak, konsumsi akan tertekan, sehingga PDB pun terkoreksi,” jelas Bhima kepada Alinea.id, Selasa (10/12).
Tekanan ekonomi
Tekanan ekonomi sudah mulai dirasakan sebelum kebijakan resmi berjalan. Fenomena pre-emptives inflation atau inflasi yang mendahului penerapan tarif PPN, terjadi akibat penyesuaian harga oleh pelaku usaha di sektor ritel dan manufaktur untuk menjaga marjin keuntungan. Inflasi pada akhir tahun ini diproyeksikan mencapai 4,11%, naik signifikan dibandingkan inflasi normal.
“Momentum Natal dan tahun baru yang biasanya mendongkrak penjualan ritel kali ini justru tertekan. Masyarakat akan lebih selektif dalam belanja. Prioritas belanja mereka bergeser, dan ini akan memukul sektor ritel serta sektor rekreasi,” tambah Bhima.
Kajian Celios menunjukkan dampak negatif dari kenaikan tarif PPN terhadap beberapa indikator ekonomi. Seperti pendapatan masyarakat menurun sebesar Rp64,81 triliun pada tarif PPN 12%. Kemudian, surplus usaha berkurang hingga Rp41,41 triliun, mengindikasikan tekanan pada profitabilitas sektor usaha.
Selain itu, penyerapan tenaga kerja menurun drastis, dengan potensi pengangguran tambahan hingga 550.000 tenaga kerja. Hingga, inflasi konsumen naik 4,11%, mendorong harga barang dan jasa semakin tidak terjangkau.
Menurut skenario simulasi, jika tarif PPN diturunkan menjadi 8%, konsumsi rumah tangga justru meningkat sebesar 0,74%, sementara PDB bisa tumbuh hingga Rp133,65 triliun. Namun, dengan skenario tarif PPN 12%, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,03%, lebih rendah dari proyeksi World Bank dan International Monetary Fund (IMF) yang sebesar 5,1%.
Sektor ritel, jasa logistik, hingga industri pengolahan mulai mengambil langkah adaptasi. Banyak perusahaan mengurangi jumlah karyawan atau menunda rekrutmen baru untuk menjaga keberlanjutan operasional.
“Dunia usaha sudah merespons dengan rasionalisasi operasional, tapi ini hanya langkah sementara. Jika daya beli masyarakat terus menurun, tantangan profitabilitas akan semakin berat,” ujar Bhima.
Bhima menegaskan pentingnya evaluasi kebijakan PPN 12% untuk mengurangi tekanan ekonomi, khususnya pada kelompok menengah ke bawah. Kebijakan seperti subsidi dan bantuan tunai dianggap hanya bersifat temporer, sementara dampak kenaikan tarif PPN bersifat jangka panjang.
Dengan Natal dan tahun baru yang diprediksi tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya, Bhima menambahkan pemerintah perlu mempertimbangkan skenario alternatif untuk menjaga stabilitas konsumsi dan aktivitas usaha. “Kenaikan PPN memang meningkatkan penerimaan negara, tapi konsekuensi negatif pada pertumbuhan ekonomi tidak bisa diabaikan,” tutupnya.
Penjualan ritel terancam turun
Peneliti Celios, Galau D. Muhammad mengatakan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% telah memengaruhi aktivitas usaha bahkan sebelum kebijakan tersebut resmi diterapkan.
Menurutnya, fenomena pre-emptives inflation menjadi penyebab utama menurunnya daya beli masyarakat. “Harga barang dan jasa sudah naik lebih awal karena pelaku usaha ritel dan manufaktur menaikkan harga untuk menjaga marjin keuntungan,” jelas Galau kepada Alinea.id, Selasa (10/12).
Masyarakat disebut lebih selektif dalam membelanjakan uang. Prioritas belanja bergeser ke kebutuhan yang lebih mendesak.
Dengan daya beli yang menurun, masyarakat cenderung menahan konsumsi barang non-esensial, seperti produk gaya hidup, hiburan, dan rekreasi. Hal ini berdampak langsung pada sektor ritel, yang biasanya mengandalkan lonjakan penjualan pada musim liburan.
Fenomena ini sudah mulai terlihat di beberapa pusat perbelanjaan yang melaporkan penurunan jumlah pengunjung dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, beberapa pelaku usaha ritel telah memangkas target penjualan akhir tahun, mengantisipasi penurunan permintaan yang disebabkan oleh kenaikan harga dan inflasi.
“Usaha ritel tidak hanya menghadapi kenaikan beban operasional akibat inflasi, tetapi juga penurunan omzet. Hal ini menciptakan tekanan ganda yang sulit diatasi tanpa strategi adaptasi,” kata Galau.
Momentum Natal dan tahun baru yang biasanya menjadi masa puncak penjualan bagi sektor ritel, diperkirakan akan berbeda di tahun ini. Galau memperkirakan sektor ritel akan mencatatkan penurunan penjualan hingga dua digit dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ia menekankan pentingnya langkah antisipasi oleh pelaku usaha ritel, seperti mengoptimalkan program promosi untuk menarik konsumen, memperkuat kanal daring, dan menawarkan produk dengan harga lebih kompetitif. “Namun, upaya ini hanya dapat meringankan sebagian kecil tekanan. Masalah utama tetap pada daya beli masyarakat yang terus melemah,” ujarnya.