close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
Bisnis
Jumat, 18 Maret 2022 17:31

Praktik kotor penyelundupan jegal industri rotan nasional

Indonesia menjadi negara produsen rotan terbesar ketiga di dunia, namun industri rotan kerap kesulitan bahan baku karena penyelundupan.
swipe

Suatu malam pada November 2021 lalu, Kapal Patroli Bea dan Cukai BC 30004 berhasil menangkap basah Kapal Layar Motor (KLM) Musfita yang membawa 207 ton rotan mentah. Patroli di Laut Utara, Pulau Subi, Kepulauan Natuna itu berhasil menggagalkan penyelundupan hasil hutan tersebut dari Kalimantan Selatan menuju Malaysia, melalui perairan Mempawah, Kalimantan Barat.

“Mereka telah melakukan tindak pidana kepabeanan di bidang ekspor, sesuai Pasal 102A huruf (a) dan atau Pasal 102A huruf (e) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan,” kata Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan dan Hubungan Masyarakat Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kalimantan Bagian Barat Ferdinan Ginting, saat dikonfirmasi Alinea.id, Kamis (17/3).

Atas dasar pemeriksaan, DJBC Kalimantan Bagian Barat kemudian menetapkan nahkoda dan kepala kamar mesin sebagai tersangka. Keduanya dijerat dengan UU kepabeanan dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara serta denda 5 miliar.

Sementara itu, menurut Ferdinan, sama seperti kasus-kasus sebelumnya, penyelundupan dilakukan dengan modus pengiriman antar pulau. Hal ini guna menyamarkan penyelundupan sebagai pengiriman barang antar pulau.

Sebelumnya, yakni pada Maret 2021, Kanwil DJBC Kalimantan Bagian Barat juga telah mengamankan 100 ton rotan mentah yang diangkut menggunakan KLM Buana Utama di perairan Tanjung Datu, Kalimantan Barat. Rencananya, rotan yang dikemas dalam ribuan bundle itu akan dikirim ke Serike, Malaysia dari perairan Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.

Sejak November 2011, pemerintah memang telah melarang ekspor rotan jenis rotan mentah, rotan alasan, rotan washed and sulphurized (W/S), dan rotan setengah jadi. Dasarnya adalah Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/11/2011 yang rilis pada 1 Januari 2012.

Aturan tersebut pun resmi diterapkan untuk membangkitkan kembali industri rotan tanah air setelah sempat tertatih karena kesulitan bahan baku. Ini terlihat dari kurun waktu 2005-2011, saat pemerintah masih membuka keran ekspor rotan. Komoditas ini akhirnya lebih banyak  diekspor ketimbang untuk kebutuhan produksi mebel rotan maupun produk rotan lain di dalam negeri.

Tahun

Volume ekspor 

Pertumbuhan tahunan (YoY)

2015

27.658 ton

-

2016

27.663 ton

0,02%

2017

22.411 ton

-18,99%

2018

20.484 ton

-8,60%

2019

20.815 ton

1,61%

2020

21.706 ton

4,28%

2021

27.312 ton

25,83%

Potensi besar, bahan baku kurang

Selama ini, rotan memang telah menjadi salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu andalan Indonesia karena potensinya yang sangat besar. Tak heran, jika pada 2010, Kementerian Perindustrian mengungkapkan bahwa pangsa pasar rotan Indonesia dalam perdagangan dunia telah mencapai 80%.  

Tingginya pangsa pasar tersebut terutama didukung oleh besarnya daerah penghasil rotan di Indonesia, di mana 90% rotan dihasilkan dari hutan alam dan 10% sisanya dihasilkan dari budi daya rotan. Dari hutan alam yang tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua, Indonesia berpotensi menghasilkan 622.000 ton rotan kering per tahun.

Contoh barang hasil rotan. Foto Pixabay.com.

Namun, menurut Wakil Kepala Pusat Promosi Perdagangan Indonesia alias Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Osaka Septika Tri Ardiyanti, menurunnya kinerja industri rotan nasional telah terjadi sejak 2007 lalu. Pada saat itu, beberapa produsen rotan di Cirebon yang merupakan basis produksi furnitur rotan mengalami penurunan produksi. Dari yang semula mengekspor rata-rata sebanyak 120 kontainer per bulan menjadi hanya berkisar 15-20 kontainer per bulan.

“Kondisi tersebut berlanjut hingga tahun 2017 dan bahkan terus mengalami tren penurunan,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (15/3).

Sementara itu, berdasarkan catatan Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), selama 12 tahun terakhir, yakni pada 2007 hingga 2020 ekspor furnitur dan kerajinan rotan tumbuh stagnan. Ekspor bahkan cenderung menurun, setelah sempat mengalami kenaikan nilai ekspor pada 2013, yang sebesar US$262 juta. Sedangkan pada 2014, nilai ekspor hasil hutan bukan kayu tersebut tercatat hanya sebesar US$208 juta.

Sementara terhitung sejak 2017 hingga 2019, nilai ekspor sempat mengalami kenaikan tipis. Di mana pada 2017, Indonesia mampu mengekspor mebel dan produk kerajinan rotan senilai US$159 juta, pada 2018 senilai US$163 juta dan US$184 juta pada 2019. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19, ekspor kembali mengalami penurunan hingga mencapai US$181 juta.

“Pertumbuhan yang stagnan atau bahkan cenderung menurun ini menjadi indikator bahwa ada permasalahan di industri ini,” kata Ketua Presidium HIMKI Abdul Sobur, kepada Alinea.id, Kamis (17/3).

Masalah utama yang harus dihadapi para pengusaha mebel rotan dan pengrajin produk olahan rotan tidak lain ada pada ketersediaan bahan baku rotan. Sebab, meskipun Indonesia dilabeli sebagai produsen rotan terbesar di dunia, namun pada kenyataannya untuk mendapatkan bahan baku tersebut bukanlah hal yang mudah.

“Karena banyaknya praktik selundup, selain kondisi pemungut di hulu yang juga mengalami sejumlah kendala di musim penghujan,” imbuhnya.

Masih dari catatan HIMKI, Pada 2017-2018, setidaknya ada 22 kasus penyelundupan rotan ke luar negeri yang digagalkan petugas bea cukai di beberapa wilayah Indonesia dengan taksiran nilai mencapai Rp25,3 miliar. Kemudian pada 2019 hingga 2021, telah terjadi penambahan sebanyak 4 kasus penyelundupan yang diperkirakan setara dengan Rp4 miliar.

Adapun modus penyelundupan yang kerap kali terjadi di perbatasan Kalimantan itu biasanya dilakukan melalui laut dan perbatasan darat. Saat penyelundupan dilakukan melalui jalur laut, rotan akan diangkut dari Indonesia, tepatnya Kalimantan dengan kapal kayu menuju Malaysia, seperti ke daerah Kucing, Sibu maupun Tawao. Selanjutnya rotan diekspor dengan kapal kontainer dari Malaysia ke Singapura, Tiongkok, Vietnam, dan negara lainnya.

Sedangkan jika melalui perbatasan darat, biasanya rotan yang akan diselundupkan dari segala penjuru Indonesia diangkut melalui perbatasan darat di Kalimantan Barat, antara lain dari wilayah Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang serta pintu perbatasan disekitarnya. Lalu dimuat dengan mobil truk menuju ke Kucing hingga Sibu, Malaysia untuk selanjutnya diekspor dengan kapal kontainer dari Malaysia ke Singapura, Vietnam, Tiongkok, dan negara lainnya.

“Artinya dapat dipastikan yang lolos dari penangkapan jumlahnya akan jauh lebih besar nilainya,” ujar Sobur.

Foto Pixabay.com.

Sementara itu, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengakui, penyelundupan bahan baku rotan masih beberapa kali terjadi di Indonesia. Meskipun secara materiil tidak memberikan kerugian besar pada negara, namun penyelundupan bahan baku mebel dan kerajinan ini memiliki efek berantai bagi industri furnitur nasional. Sebab, rotan sangat krusial bagi industri kecil dan menengah (IKM) produsen mebel dan produk olahan rotan lainnya.

“Selain itu juga menghilangkan potensi pendapatan devisa negara, apabila rotan tersebut dijual dan dieskpor dalam bentuk produk jadi,” ucap Asko, kepada Alinea.id, Jumat (18/3).

Meski pemerintah telah menggolongkan rotan ke dalam barang yang tidak boleh diekspor, melalui beleid larang ekspor teranyar, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 45 Tahun 2019, pengiriman rotan mentah ke luar negeri masih saja terjadi. Bahkan, menurut Ketua Presidium HIMKI Abdul Sobur, upaya pemerintah untuk membendung ekspor bahan baku rotan masih belum signifikan. Ia pun mengakui hal ini memang tidak mudah untuk dilakukan.

“Kami dari HIMKI sudah bekerja sama dengan pihak pemerintah melalui kanwil bea cukai di basis bahan baku untuk lebih intensif lagi menanggulangi atau mereduksi praktik penyelundupan saat ini,” katanya.

Karena itu, pihaknya meminta kepada pemerintah agar dapat  membentuk Satuan Tugas (Satgas) Rotan untuk lebih menegakkan Permendag No.45 Tahun 2019 dan dalam rangka melaksanakan program hilirisasi sebagai implementasi dari Undang Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 

Selain itu Satgas Rotan juga bertugas melakukan pemetaan wilayah yang selama ini menjadi jalur penyelundupan rotan dan wilayah-wilayah lain yang berpotensi menjadi jalur penyelundupan.

Dus, ketersediaan pasokan rotan di dalam negeri pun dapat terjaga dan bisa dimanfaatkan untuk produksi mebel serta kerajinan rotan. Sehingga, pada akhirnya produk mebel dan kerajinan berbasis rotan dapat pula menjadi salah satu kelompok produk mebel andalan dan berkontribusi lebih terhadap pencapaian target ekspor yang sebesar US$5 miliar pada tahun 2024.

Sekadar informasi, pada tahun 2020 kontribusi mebel berbasis rotan hanya menyumbang 6,2% dari keseluruhan ekspor mebel. Hal ini sungguh ironis, mengingat Indonesia merupakan produsen terbesar rotan mentah di dunia.

Padahal, dengan tata kelola yang lebih bagus, mebel rotan dan produk rotan Indonesia dapat masuk ke pasar Amerika Serikat. Apalagi, permintaan furnitur dari negara tersebut diprediksi bakal meningkat, setelah Cina memutus kontrak ekspor mebel mereka karena adanya perang dagang di antara kedua negara tersebut.

“Ada peluang pasar hingga US$24 miliar yang ditinggalkan Cina di Amerika dan Indonesia masih memiliki peluang untuk menumbuhkan ekspor furnitur ke sana dalam tiga tahun ke depan,” ujar dia.

Tingkatkan kualitas

Namun demikian, untuk meningkatkan kinerja ekspor mebel dan kerajinan rotan, baik pemerintah maupun dunia usaha dinilai perlu meningkatkan daya saing industri mebel rotan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian pelatihan, kepada para pengrajin untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bidang teknik produksi dan teknik desain furnitur rotan.

Foto Pixabay.com.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu membuat regulasi terkait tata niaga rotan, yang tak lain bertujuan agar terjadi penguatan di seluruh bagian rantai pasok rotan.  Dalam mendukung tata niaga rotan, pemerintah juga perlu memperkuat basis hulu rotan termasuk meningkatkan keamanan dan keselamatan para pekerja atau petani rotan di daerah-daerah penghasil rotan.

“Kesejahteraan mereka juga perlu dijaga. Karena bagaimanapun para petani rotan adalah ujung tombak dari industri rotan,” ucap Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Ina Primiana, saat dihubungi Alinea.id, Jumat (18/3).

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengaku, sampai saat ini pihaknya masih terus berusaha untuk memacu kinerja industri mebel dan kerajinan rotan, agar semakin memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Apalagi, dengan mendorong kinerja industri mebel dan kerajinan rotan, sama halnya dengan meningkatkan nilai tambah bahan baku rotan.

“Indonesia punya potensi besar dalam pengembangan industri rotan yang berdaya saing global, karena didukung dengan ketersediaan sumber daya alam yang kaya dan sumber daya manusia yang terampil,” kata Putu, melalui pesan WhatsApp, kepada Alinea.id, Rabu (16/3).

Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja komoditas rotan adalah dengan meningkatkan daya saing industri rotan dalam negeri. Oleh karena itu, saat ini pemerintah melalui kolaborasi Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian Perindustrian tengah berkolaborasi untuk menjalankan program Major Project dan Pengelolaan Terpadu UMK.

Sementara itu, Direktur Pengembangan Pasar dan Informasi Ekspor Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Marolop Nainggolan menambahkan, pemerintah saat ini tengah berupaya mendorong potensi produk mebel dan rotan Indonesia mulai dari hulu hingga hilir. Sehingga tidak hanya berfokus pada promosi dan pemasaran produk di hilir tapi juga pengembangan produk mebel dan rotan mulai dari hulu (produsen).

“Pada tahun 2021 kami lakukan melalui program rebranding yaitu pengembangan dan pembaharuan brand sebuah produk yang nantinya akan memberikan peningkatan positif pada penjualan produk tersebut,” jelasnya, kepada Alinea.id, Jumat (18/3).

Ihwal praktik ekspor illegal rotan mentah, Marolop mengatakan, untuk menekan praktik kotor tersebut, Kementerian Perdagangan tetap mencanangkan perlindungan pasokan bahan baku rotan melalui dijalankannya Permendag Nomor 35/2011. Selain itu Kementerian Perdagangan juga aktif menjalin komunikasi dan kerja sama dengan stakeholder terkait melalui forum-forum atau kegiatan baik dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi, dan Usaha Kecil menengah dan KUKM, PT Asuransi ASEI Indonesia (Persero), Kalangan Perbankan, KADIN, HIPMI, HIMKI dan para pelaku usaha di bidang produk mebel dan rotan.

Hal tersebut tak lain agar sinergi dari hulu hingga hilir yang dilakukan pemerintah dapat tepat sasaran dan meningkatkan daya saing produk mebel dan rotan Indonesia di kancah internasional. 

“Apabila ditemukanindikasi terjadinya ekspor ilegal, kami mendorong agar melaporkan hal tersebut pada pihak berwajib, karena dengan terjadinya penyelundupan bahan baku rotan, yang dirugikan adalah kita sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam rotan yang melimpah,” tegas Marolop.

Selain itu, Kemendag juga melakukan upaya pengembangan produk mebel dan rotan, antara lain Designer Dispatch Service (Program pengembangan desain produk dan kemasan), Pendaftaran Sertifikasi Kekayaan Intelektual, rebranding dengan peningkatan jumlah peserta lebih banyak dari tahun sebelumnya, Good Design Award (Program apresiasi dan pendorong terciptanya produk-produk ekspor yang berdesain baik).

Selain itu, ada pula Klinik Desain, Klinik Produk Unggulan Daerah, Pelatihan Ekspor, serta Export Coaching program bagi pelaku industri yang sudah siap masuk ke pasar global.

Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan