Harga komoditas energi diperkirakan masih akan dipengaruhi oleh beberapa faktor pada kuartal IV-2022. Mulai dari perlambatan ekonomi, meningkatnya inflasi, konflik geopolitik yang lebih luas, hingga memburuknya angka kemiskinan.
Research and Development Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX), Girta Yoga, menjelaskan bahwa setelah dihantam pandemi Covid-19, perekonomian terus menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kehadiran krisis energi yang memburuk sejak munculnya konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Krisis tersebut juga menyebabkan naiknya harga komoditas.
“Pada kuartal II-2022, gas alam, minyak dan batu bara mengalami peningkatan yang signifikan secara year on year (yoy). Gas alam mengalami peningkatan sebesar 83,63%, minyak 30,01%, dan yang tertinggi adalah kenaikan pada batu bara yang mencapai 231,9%,” ucap Yoga dalam media gathering ICDX, Selasa (25/10).
Yoga menyampaikan, untuk proyeksi komoditas energi di kuartal IV-2022 adalah harga minyak berpotensi menemui resistance pada kisaran harga US$110-120 per barel dan untuk potensi support berada pada kisaran harga US$85-75 per barel. Sementara, gas alam berpotensi berada di angka US$7,5-8,5 dengan nilai support di angka US$5,50-4,50.
“Untuk harga batu bara di kuartal IV akan berada di kisaran harga US$475-500 per ton. Sedangkan untuk supportnya diproyeksikan menyentuh US$350-325 per ton,” kata Yoga.
Sementara, Product Innovation Executive ICDX, Taufan Dimas Hareva, menambahkan bahwa selain krisis energi, inflasi yang tinggi juga menjadi salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi global. Berdasarkan Bank Indonesia, stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjaga di tengah kuatnya nilai Dolar Amerika Serikat (AS), serta meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Kemudian, dia melanjutkan dengan pemaparan mengenai nilai tukar Rupiah yang sampai dengan 19 Oktober 2022 terdepresiasi sebesar 8,03% year to date (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021. Menurut Taufan, jumlah tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya.
Depresiasi tersebut sejalan dengan menguatnya Dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara, terlebih AS sedang merespon tekanan inflasi dan kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global di tengah persepsi prospek perekonomian Indonesia tetap positif.
Menurut Taufan, inflasi global masih membayangi banyak negara, terutama negara sub tropis yang akan mengalami musim dingin. Hal itu akan memberi peranan besar dalam aktivitas ekonomi rumah tangga.
“Jika harga energi semakin mahal dan sulit untuk didapatkan, pasti ke depannya akan memengaruhi aktivitas ekonomi di berbagai negara, serta akan berdampak langsung pada harga mata uang asing lainnya,” ujarnya.
Selain itu, Analis ICDX Revandra Aritama mengatakan, inflasi global yang terjadi disebabkan oleh keagresifan The Fed dalam membuat kebijakan untuk menekan inflasi dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang belum berakhir, sehingga menjadi penyumbang gejolak harga emas. Meski sempat mengalami penguatan pada 2022, harga emas cenderung mengalami penurunan hingga akhir kuartal III.
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa harga emas global terlihat condong menurun sejak awal tahun. Ini dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu kebijakan The Fed, inflasi global, dan konflik Rusia-Ukraina.
Meski inflasi AS telah mengalami penurunan, hal tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan The Fed, sehingga memunculkan kebijakan baru yang berpengaruh pada harga emas.
“Konflik Rusia-Ukraina ikut menjadi faktor penggerak harga emas. Dapat diprediksikan bahwa jika konflik tersebut membaik, maka harga emas akan tertekan. Namun, jika konflik itu memburuk, maka harga emas akan diprediksi akan naik,” tutur Revandra.