'Profesi' antirugi di belantara bisnis perberasan
Di berbagai sektor usaha, selalu ada pihak-pihak yang dipastikan senantiasa mendapatkan keuntungan. Bukan hanya memadai, tapi keuntungan besar. Mereka tidak mengenal rugi atau tekor. Termasuk ketika kondisi bisnis sedang lesu.
Itu pula yang terjadi pada bisnis perberasan. Empat pemilik penggilingan dan pedagang beras di Sidoarjo, Jawa Timur, Yogyakarta, Karawang di Jawa Barat, dan Lampung yang menjadi sumber Alinea.id kompak menyebut satu 'profesi' yang selalu untung: penebas, calo atau agen. Kadang disebut perantara atau middleman.
Ketika harga gabah kering panen (GKP) naik tinggi setelah surat edaran batas atas pembelian gabah atau beras dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) dicabut pada 7 Maret 2023, penggilingan besar berlomba-lomba menaikkan harga pembelian gabah. Salah satunya PT Wilmar Padi Indonesia yang memiliki penggilingan di Mojokerto dan Ngawi, Jawa Timur, Serang di Banten, dan Kuala Tanjung di Sumatera Utara.
"Situasi ini sudah dibaca penebas. Para perantara ini memanfaatkan situasi untuk mengeruk untung, yang membuat harga gabah semakin tidak terkendali. Sehari setelah surat edaran harga atas pembelian gabah atau beras Bapanas dicabut, harga GKP naik lebih dari Rp1.000 per kg," kata narasumber Alinea.id, Kamis (9/3) lalu.
Narasumber yang tidak mau disebutkan namanya itu menjelaskan, penebas atau tengkulak ini membeli gabah dari petani dan menjualnya ke pemilik penggilingan padi. Hanya bermodal keringat, mereka bisa mengantongi untung yang besar.
"Dahulu, oleh penggilingan padi tengkulak ini dibayar belakangan setelah setor gabah. Karena rebutan gabah, saat ini tengkulak dibayar di depan," jelas pemilik penggilingan padi dan pedagang beras di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.
Narasumber Alinea.id di Karawang memerinci biaya pembelian GKP dari seorang calo. Pada 9 Maret lalu, misalnya, penggilingan dia menerima GKP dengan harga Rp5.820/kg. Ini mencakup harga gabah di petani Rp5.500 per kg, upah calo Rp150 per kg, ongkos kuli angkut Rp60 per kg, dan biaya angkutan sebesar Rp110 per kg.
"Kalau harga GKP Rp5.500 per kg, (pemilik) pabrik seperti saya sakit kepala kalau tidak ada penyesuaian harga eceran tertinggi (HET) beras. Pusing kita kerja," kata dia.
Tak kenal rugi
Pemilik penggilingan padi dan pedagang beras di Lampung juga mengandalkan para agen atau perantara untuk mendapatkan pasokan gabah. Dari harga yang ditawarkan oleh para agen inilah ia membeli gabah untuk digiling. Tentu dengan membandingkan mana yang lebih murah. "Kalau gak ikut agen, tidak dapat barang," kata narasumber itu.
Perebutan sengit untuk mendapatkan gabah di pasar dibeberkan pemilik penggilingan padi dan pedagang beras asal Yogyakarta. Narasumber itu mengaku dihubungi tiga pabrik beras skala besar di Jawa Timur. Ketiganya minta dipasok gabah atau beras.
Salah satu pabrik beras itu ada di Jombang, Jawa Timur. "Mereka telepon saya minta dipasok barang. Harga beli gabah berapa, ongkos kirim dan margin untung minta berapa, mereka mau menerima," kata dia.
Narasumber yang tidak mau ditulis jati dirinya itu menerangkan, akibat perebutan gabah itu menjadi perantara saat ini boleh dibilang anti-rugi. Padahal, tahun-tahun sebelumnya selalu ada tawar-menawar panjang sampai harga disepakati.
"Lebih kerennya lagi, saya dititipi uang. Saya ditransferin dulu. Ini anomali," kata sumber Alinea.id itu, Kamis (9/3).
Dalam situasi tak menentu seperti ini, sumber Alinea.id di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, para tengkulak atau penebas itu adalah pihak yang paling mungkin menyimpan gabah. Mereka punya andil membuat rantai pasok beras di Indonesia menjadi panjang.
"Mereka saat ini berubah menjadi spekulan dadakan karena sudah bisa membaca pasar (supply-demand) berkat teknologi informasi yang cepat menyampaikan berita," kata dia.
Mereka, kata sumber itu, tidak mengenal rugi. Karena bisa mendapatkan keuntungan dari dua sisi sekaligus, yakni pembeli gabah (penggiligan padi) dan petani (pemilik padi). "Risiko kerugian lebih ditanggung penggilingan karena rendemen jatuh atau petani yang terdesak waktu untuk menjual karena tak punya pengering," urai dia.
Sumber itu menjelaskan, para tengkulak tidak akan menyetok gabah dalam jumlah besar. Namun, jelas dia, jika semua tengkulak 'memainkan' harga pasti akan membuat harga gabah di lapangan terus naik, bahkan semakin tidak terkendali.
Tidak tertutup kemungkinan, jelas dia, para tengkulak ini 'mengadu' harga antar-penggilingan. "Sudah pernah terjadi di Desember 2022. Saat itu di Jawa Timur terjadi 'perang harga' antara PT Wilmar Padi Indonesia di Mojokerto dan Ngawi dengan CV Sumber Pangan Sentosa di Kediri," jelas dia.
Nasib petani
Pemilik penggilingan padi di Sidoarjo menjelaskan, dalam jangka pendek petani diuntungkan ketika harga gabah naik tinggi seperti saat ini. Akan tetapi, jelas dia, petani yang sudah panen sebelum kenaikan harga hanya bisa mengulum air ludah.
Dalam jangka menengah, urai dia, petani akan kembali pada nasibnya semula: merugi. "Karena komponen input berusahatani seperti pestisida, alat dan mesin pertanian harganya akan naik. Penyedia input itu tahu petani untung. Harga input dinaikan. Petani tetap tidak untung karena usatahani berikutnya harga input naik," jelas dia.
Sementara penggilingan padi skala kecil, jelas dia, dengan modal yang diputar juga ada peluang untung. Tetapi untungnya relatif kecil. Sementara penggilingan padi skala besar yang memiliki kekuatan finansial dan gudang berpeluang untung gede.
"Begitu penggilingan padi skala besar mengeluarkan modal, sekian setahun akan dapat keuntungan sekian. Makanya penggilingan padi skala besar merajalela dalam hitungan setahun terakhir. Pada Januari-Februari tahun depan, berapapun jumlah beras akan jual akan laku kalau gak ada barang. Sekarang mereka belum untung," kata dia.