Sektor perikanan dan kelautan menjadi salah satu bidang potensial yang berkontribusi besar dalam perekonomian nasional. Pada 2020, produktivitasnya mencapai US$5,2 miliar.
Sayangnya, sektor ini masih diliputi persoalan klasik: keterbatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bagi nelayan untuk melaut dan menangkap ikan.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Hery Susanto, menyatakan, sektor perikanan nasional dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bertumpu pada harmoni dari peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup, dan pengelolaan yang berkelanjutan.
"Tata kelola kebijakan kelautan dan perikanan kita dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan diperlukan keterlibatan semua pihak secara bertanggung jawab dan berkelanjutan agar bisa mendukung kelestarian ekosistem dan mewujudkan kesejahteraan rakyat," ucapnya dalam diskusi "BBM untuk Nelayan dalam Mendukung Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur" di Jakarta, Jumat (17/12).
Problem BBM bersubsi bagi nelayan saat ini, terangnya, sukarnya menetapkan jumlah kebutuhan yang tepat bagi kapal-kapal ikan lantaran tidak ada/sulitnya mendapatkan data kapal dan data operasionalnya yang valid.
Faktor lainnya, nelayan tradisional banyak yang tak memiliki surat rekomendasi membeli BBM bersubsidi. Pun kuota yang diberikan kepada SPBU nelayan acapkali habis pada pertengahan bulan akibat musim melaut nelayan.
"Meski mayoritas nelayan bisa urus rekomendasi membeli BBM bersubsidi, namun barang itu masih sulit didapatkan karena terbatasnya kuota BBM bersubsidi hingga tidak ada stok di lapangan," jelasnya, dalam keterangan tertulis.
Hery menambahkan, skema pembelian oleh nelayan umumnya BBM dibeli juragan, lalu menyuplai paket BBM. Akibatnya, nelayan tradisional sulit mendapati penjual BBM bersubsidi di lingkungan sekitarnya dan selalu kehabisan.
Karenanya, ORI berencana melakukan investigasi inisiatif dan mengaktifkan Respons Cepat Ombudsman (RCO) berkaitan dengan masalah ini pada 2022. Untuk sementara, dirinya menawarkan beberapa solusi alternatif, salah satunya distribusi BBM bersubsidi bagi nelayan menggunakan kartu pintar sehingga memudahkan dalam proses transaksi.
Alumnus Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) itu mendorong demikian karena sesuai dengan kuota yang diterima dalam rangka pengawasan dan pelaporan penyaluran BBM subsidi untuk nelayan dapat terintegrasi dan dipantau langsung oleh Dinas Kelautan Perikanan (DKP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta BPH Migas. "Namun, harus diakui, masih minim pengawasan."
Di sisi lain, Hery meminta kebijakan penangkapan ikan secara terukur berkorelasi dengan dukungan pemerintah dalam penyediaan BBM bersubsidi secara proporsional dan terukur sesuai data riil jumlah kapal nelayan kecil tradisional.
"Jika tidak itu akan membebani nelayan sebab sudah sulit memperoleh BBM bersubsidi dan terpaksa membeli yang nonsubsidi ditambah adanya pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak [PNBP] tentu merugikan nelayan," paparnya.
Pada kesempatan sama, perwakilan PT Pertamina Petra Niaga, Daniel Alhabsy, mengklaim, pihaknya memedomani Pasal 33 UUD NRI 1945 dalam melakukan pelayanan energi kepada masyarakat.
"Tujuan pengelolaan energi juga tertuang dalam UU Energi Nomor 30 Tahun 2007 yang kemudian dikenal dengan 4A+1S, yakni availability, accessibility, affordability, acceptability, dan sustainability," ucapnya.
Untuk membantu para masyarakat dan nelayan di wilayah terdepan, terpecil, dan tertinggal (3T), lanjutnya, Pertamina memberlakukan Program BBM Satu Harga. Layanan diklaim telah tersebar dari MOR I hingga MOR VIII dengan 7.596 outlet, yang meliputi 380 SPBU nelayan dan 7.216 SPBU.
Sementara itu, Direktur Kepelabuhan KKP, Ady Candra, mengatakan, pihaknya bakal memberlakukan kebijakan penangkapan terukur di 11 wilayah pengelolaan perikanan negara pada awal 2022. Langkah ini diklaim untuk pemerataan kesejahteraan ekonomi.
"Untuk mewujudkan hal tersebut, maka ada beberapa hal yang telah dilakukan agar nelayan memiliki kemudahan akses BBM bersubsidi, di ataranya penyerderhaan regulasi penyaluran BBM bersubsidi melalui Perka BPH Migas Nomor 17 Tahun 2019," ujarnya.
Pengamat ekonomi Hamli Suaifullah berpandangan, dibutuhkan koordinasi dalam mengatur proses pemberian subsidi dari pemerintah terhadap para nelayan. "Dengan danya koordinasi yang jelas, maka subsidi BBM akan dapat berjalan tepat sasaran."
Sedangkan Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, menyampaikan, pihaknya mendukung kebijakan penangkapan terukur. "KNTI siap berkolaborasi untuk menyukseskan program-program KKP," tandasnya.