Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, perusahaan di Indonesia belum terbiasa dengan pola pengembangan inovasi teknologi melalui program research and development (RnD).
Program RnD belum menjadi suatu yang menarik bagi perusahaan, padahal hal tersebut sangat berguna untuk pengembangan suatu produk dan juga mendorong penemuan inovasi baru.
"Kenapa di Indonesia belum bisa menjadi pola, karena terus terang sebelum ada PMK No.153 terkait tax deduction, tidak ada tax insentif bagi perusahaan masuk RnD di Indonesia. Yang ada cuma insentif 100% sesuai dengan biaya yang dikeluarkan," katanya dalam video conference, Selasa (12/1).
Ketentuan insentif baru diatur kemudian, yaitu melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia.
Pada saat inilah, perusahaan baru mulai tertarik untuk terlibat dalam program RnD. Baik yang dijalankan oleh perusahaan sendiri maupun berkolaborasi dengan lembaga riset lainnya.
Dalam ketentuan PMK 153 disebutkan perusahaan atau investor yang menjalankan RnD akan mendapatkan potongan pajak hingga 300%, dari sebelumnya hanya 100%.
"Jadi sebelumnya kalau saya investasi US$1 juta untuk RnD, maka saya dapat potongan pajak pada akhir tahun sebesar US$1 juta. Kalau tax deduction PMK 53 itu bisa sampai 300%. Jadi kalau investasi US$1 juta, saya akan dapat potongan pajak US$3 juta," ujarnya.
Setelah adanya PMK 53 tersebut Kemenristek akan fokus mengajak sejumlah perusahaan besar di Indonesia terlibat dalam sejumlah penelitian, untuk menghasilkan produk yang lebih andal, sembari menjaga tingkat competitiveness.
"Jadi ini akan sangat menguntungkan dan saya akan membuat perusahaan tertarik untuk ikut RnB, agar terus menjaga competitiveness. Tanpa produk development perusahaan akan terus ketinggalan," ucapnya.