close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Kamis, 16 Desember 2021 07:08

Prospek cerah bisnis coworking space setelah lesu dihajar pandemi

Bisnis coworking space yang lesu saat pandemi diperkirakan akan kembali cerah.
swipe

Tren bekerja dari rumah alias work form home/WFH telah marak dilakukan sejak awal tahun lalu, saat pandemi Covid-19 mulai menyebar masif di Indonesia. Terbaru, kantor-kantor sektor non-esensial hanya bisa meningkatkan kapasitas karyawan yang bekerja di kantor sebanyak 75% atau tidak seluruhnya. Kondisi ini berimbas pada bisnis coworking space yang mulai booming sejak beberapa tahun terakhir.

Pola WFH telah membuat tingkat hunian atau okupansi dari gedung-gedung perkantoran turun drastis. Misalnya tingkat okupansi gedung perkantoran di kawasan bisnis terpadu (Central Business District/CBD) atau non-CBD Jakarta yang pada kuartal-III 2021 masih berada di level 72% dari stok kumulatif yang seluas 6 juta meter persegi. Artinya, ada 28% ruang kosong gedung-gedung perkantoran di Jakarta, atau sekitar 1,68 juta meter persegi ruang kantor tak berpenghuni. 

Di saat yang sama, penurunan tingkat hunian terjadi pada ruang-ruang yang dimiliki oleh coworking space alias ruang kerja bersama. Menurut catatan Perhimpunan Pengusaha Jasa Kantor Bersama Indonesia atau Perjakbi, pada awal pagebluk atau sekitar April hingga Juni, tingkat okupansi ruang coworking space anjlok lebih dari 50%.

Coworking space sendiri berarti tempat untuk orang-orang dari organisasi berbeda untuk bekerja. Tempat ini biasanya berbentuk ruangan terbuka yang cukup luas untuk menampung banyak orang, baik dari perusahaan, komunitas, atau individu berbeda yang bekerja. 

Senior Director Office Service Colliers Indonesia Bagus Adikusumo mengatakan, penyewa coworking space tidak hanya terbatas pada individu atau perorangan saja, baik karyawan perusahaan, freelancer, hingga influencer. Melainkan banyak juga penyewa dari perusahaan-perusahaan rintisan (startup). Bahkan, menurut hitungannya, penyewa dari perusahaan startup dapat mencapai 78%-80% dari total penyewa ruang kerja bersama. 

Ada banyak alasan mengapa lebih banyak startup yang berkantor di coworking space ketimbang gedung perkantoran biasa. Beberapa di antaranya adalah penggunaan ruangan kantor yang lebih fleksibel, harga sewa ruangan lebih murah dan yang terpenting adalah pemilik perusahaan rintisan dapat menyewa ruangan coworking space untuk jangka waktu singkat, misalnya tiga bulan, enam bulan, atau biasanya paling lama tiga tahun.

“Kalau untuk gedung perkantoran biasa, biasanya minimal lima tahun. Meskipun uang sewanya bisa dibayarkan setiap tiga bulan sekali, tapi ini terlalu berat untuk startup. Makanya mereka lebih pilih sewa coworking space,” jelasnya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (13/12).

Ilustrasi Unsplash.com.

Dengan besarnya kontribusi startup sebagai penyewa coworking space, tak heran jika hidup bisnis properti ini sangat bergantung pada perkembangan perusahaan-perusahaan rintisan tersebut. Sayangnya, dengan adanya pandemi kinerja bisnis startup pun ikut terkoreksi.

Parahnya lagi, bagi perusahaan rintisan yang baru mulai tidak sedikit juga yang justru mengalami gulung tikar, baik karena pendapatan yang berkurang hingga tanggungan utang yang tak bisa terbayarkan. Akibatnya, mereka tak bisa lagi meneruskan sewa coworking space. 

Di saat yang sama, berbagai kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan pemerintah membuat penyewa individu ikut menghentikan kunjungannya ke ruang kerja bersama. Hal ini kemudian diperparah dengan kebijakan WFH yang digagas pemerintah dan sekarang justru menjadi tren tersendiri di kalangan pekerja. Bahkan, adanya WFH membuat sewa ruangan private yang biasanya juga menjadi salah satu produk coworking space ikut anjlok. 

“Ini jelas berpengaruh juga ke omzet coworking space. Turun drastis di awal pandemi,” beber Ketua Umum Perjakbi Anggawira, kepada Alinea.id, Sabtu (11/12).

Anjlok signifikan

Salah satu penyedia coworking space yang mengalami penurunan kinerja lantaran terdampak pagebluk ialah US Coworking Space Indonesia. CEO US Coworking Space Indonesia Jonathan Teja mengungkapkan, sejak awal pandemi hingga kuartal-III 2020, okupansi perusahaan yang dipimpinnya itu turun lebih dari 50%.

Padahal, sebelumnya tingkat hunian USpace biasanya dapat mencapai lebih dari 80%. Bahkan, untuk salah satu cabang US Coworking Space yang berada di Pantai Indah Kapuk  (PIK) Avenue, Jakarta Utara bisa mencapai 100%. 

Padahal, perusahaan properti yang sebelumnya bernama UnionSpace ini telah menyediakan layanan maksimal seperti internet, minuman teh dan kopi, hingga jasa cleaning ruangan. Namun, anjloknya tingkat hunian tersebut, praktis membuat omzet US Coworking Space ikut terkoreksi. Salah satu penyedia coworking space dan event space yang telah melakukan ekspansi di Indonesia sejak 2014 ini akhirnya menutup beberapa cabangnya. 

Jonathan bilang, sebelum pandemi, US Coworking Space memiliki 10 cabang yang tersebar di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Namun, setelah pagebluk hanya tersisa 6 cabang saja yang terletak di PIK Avenue, Kelapa Gading, Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Sequis Center di SCBD (Sudirman Central Business District), Jalan Tronojoyo Bandung, dan Surabaya.

“Karena kita enggak sanggup bayar sewa gedung,” ujarnya, kepada Alinea.id, Selasa (14/12).

Penurunan kinerja tersebut, lanjut Jonathan tak lain disebabkan oleh banyaknya penyewa atau tenant mereka yang yang tak melanjutkan sewa kantor private serta penyewa individu yang tak lagi datang karena adanya pembatasan.

Ilustrasi Unsplash.com.

Namun, kondisi bisnis coworking space kini berangsur-angsur membaik. Ini terjadi seiring dengan sudah mulai dilonggarkannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) oleh pemerintah dan kian membaiknya ekonomi nasional. Dengan adanya perbaikan ini, tenant US Coworking Space yang sebelumnya keluar pun mulai banyak yang kembali lagi. Jika tidak, ada penyewa-penyewa baru yang datang mengisi kekosongan tersebut. Hal ini pun lantas membuat okupansi rata-rata cabang USpace naik hingga 70%. 

Selain itu Jonathan juga memperkirakan, di tahun depan okupansi perusahaannya tersebut dapat mencapai 80% atau hampir menyamai tingkat hunian US Coworking Space sebelumnya di tahun 2019. “Dengan syarat enggak ada perubahan PPKM dan kenaikan kasus, ya,” imbuhnya.

Kenaikan kinerja tersebut didorong oleh kenaikan jumlah tenant cabang-cabang yang berada di wilayah pemukiman, seperti US Coworking Space di PIK Avenue dan Kelapa Gading. Menurut pria yang pernah bekerja di WeWork ini, peminat coworking space di daerah pemukiman, perumahan, atau apartemen lebih tinggi ketimbang ruang-ruang kerja bersama yang ada di kawasan-kawasan bisnis terpadu. Hal ini dikarenakan saat orang-orang mulai bosan untuk bekerja di rumah, mereka akan mulai menyewa coworking space yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

Dengan adanya tren ini, bahkan banyak perusahaan-perusahaan besar, khususnya perusahaan multinasional atau startup yang tidak lagi mendirikan kantor besar di daerah tertentu saja. Sebagai gantinya, mereka lebih memilih menyewa ruang-ruang di coworking space di dekat area pemukiman yang dekat dengan tempat tinggal para pekerjanya.

“Makanya coworking space mungkin akan lebih tinggi demand-nya setelah pandemi,” ujarnya yakin.

Pekerjaan dengan potensi Flexible Working Arrangement (FWA) terbesar. Sumber: McKinsey Global Institute Analysis.
Jenis pekerjaan Potensi FWA
Jasa Keuangan dan Asuransi 76-86%
Manajemen 68-78%
Jasa Profesional, Ilmiah dan Teknis 62-75%
Teknologi dan Informasi 58-69%
Pendidikan 33-69%
Perdagangan Besar/Grosir 41-52%
Real Estate 32-44%
Pemerintahan dan Administratif 31-42%
Logistik 31-37%
Kesenian, entertainment dan pariwisata 19-32%
Kesehatan dan Sosial 20-29%
Perdagangan Eceran 18-28%
Pertambangan 19-25%
Manufaktur 19-23%
Transportasi dan Pergudangan 18-22%
Konstruksi 15-20%
Akomodasi dan Layanan Makanan 8-9%
Pertanian 7-8%

Hal ini pun diamini oleh Ketua Umum Perjakbi Anggawira. Menurutnya, selain disumbang oleh kenaikan penyewa tempat kerja bersama di kawasan pemukiman, perbaikan bisnis coworking space juga dikarenakan banyaknya penyewa virtual office. Meski sudah ada sejak bertahun-tahun lalu, popularitas virtual office atau kantor vitual semakin menanjak selama pandemi. 

Hal ini tak lain karena semakin banyak pelaku usaha yang saat ini sudah memilih untuk tidak memiliki kantor pusat lagi atau hanya berkantor di rumah. Untuk menghemat biaya (reducing cost), pengusaha-pengusaha tersebut lantas memilih untuk menyewa alamat atau virtual office yang kini banyak disediakan oleh pengusaha coworking space. 

Mengutip laman voffice.com, Angga bilang virtual office saat ini dipilih karena dapat menghemat biaya operasional hingga 90% jika dibandingkan dengan kantor konvensional. Misalnya, jika biaya sewa kantor konvensional dalam satu tahun mengharuskan pengusaha untuk merogoh kocek hingga Rp527 juta, sewa kantor virtual hanya Rp15 juta setahun.

Dengan biaya tersebut, pengusaha sudah memperoleh lokasi kantor strategis, akses bekerja di mana saja, meeting room, resepsionis, call center, mail handling, biaya listrik, free flow refreshment, serta daily cleaning

Selain itu, virtual office juga dirasa lebih fleksibel, lantaran penyewa dapat memperbarui sewa kantor kapanpun. Sebaliknya, jika penyewa merasa bosan, setelah periode sewa usai, dia dapat pindah kantor kemanapun dan kapanpun tanpa mengeluarkan banyak biaya.

Ilustrasi Unsplash.com.“Karena itu, sekarang juga lebih banyak orang yang lebih memilih untuk menyewa kantor virtual saja, daripada kantor biasa. Karena memang lebih murah dan fleksibel,” imbuh Angga.

Tren sewa kantor virtual, lanjut dia bahkan diprediksi masih akan tetap berlangsung hingga pascapandemi. Pun dengan sewa ruangan biasa di coworking space, yang menurutnya juga masih memiliki potensi besar setelah pagebluk berakhir. Hal ini disebabkan pula oleh bergabungnya para startup hingga perusahaan besar ke dalam ekosistem bisnis coworking space

Meski begitu, untuk mengembangkan bisnis tempat kerja bersama di Indonesia tak bisa hanya dilakukan oleh para penyedia coworking space saja, melainkan juga butuh uluran tangan pemerintah. Menurut Angga, pemerintah dapat memberikan bantuannya berupa keringanan pajak, insentif bantuan dana hibah seperti yang diberikan kepada pengusaha properti lainnya, hingga insentif potongan tarif listrik.

Di saat yang sama, pemerintah juga bisa membantu menghubungkan coworking space dengan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan perusahaan rintisan yang baru memulai usahanya. 

Ruang kerja UMKM

Sementara itu, menurut Senior Director Office Service Colliers Indonesia Bagus Adikusumo bisnis coworking space sebenarnya telah mengalami penurunan sejak awal 2020. Hal ini lantas diperparah dengan datangnya pandemi. Satu-persatu coworking space mulai berguguran, tak terkecuali dengan penyedia ruang kerja bersama skala besar, seperti WeWork, GoWork, Cohive, atau UnionSpace. 

Dari hitungannya, ada penyedia coworking space yang menutup 5%-10% atau bahkan mencapai 30% cabangnya. “Ini berbeda-beda tergantung starting poinnya. Buat mereka yang terlalu agresif di awal, seperti WeWork katakan lah itu mereka menguranginya banyak,” ungkap dia, kepada Alinea.id.

Dengan tutupnya beberapa tersebut, mengartikan bahwa saat ini penyedia coworking space sudah banyak melakukan evaluasi. Sehingga, jumlah ruang kerja bersama yang ada saat ini adalah jumlah terbaik yang ada. 

“Artinya, enggak kebanyakan lagi seperti sebelumnya. Kalau sebelumnya kan coworking space ada dimana-mana. Bahkan ada juga yang sampai satu gedung itu isinya coworking semua. Sekarang sudah optimum,” imbuh dia.

Sementara itu, dukungan pemerintah terhadap bisnis coworking space diwijudkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah kerjasama BUMN, seperti Angkasa Pura dan MRT dengan penyedia coworking space hingga pemerintah kota yang khusus mendirikan gedung untuk ruang kerja bersama. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Malang, Jawa Timur. 

Kepala Disporapar Kota Malang Ida Ayu Made Wahyuni mengatakan coworking space ini muncul sebagai alternatif dari ruang di gedung perkantoran yang relatif mahal. Kebutuhan atas ruang kerja ini muncul karena banyak bisnis startup dan semakin diminatinya freelancer job.

Ilustrasi Unsplash.com.
Saat ini sudah ada empat lokasi coworking space di Malang yang berada di Stadion Gajayana Lantai 3 diperuntukan sektor foto, video dan seni musik (MMI). Lalu di Kelurahan Bunulrejo, Jalan Hamid Rusdi untuk seni pertunjukan, seni kriya dan seni budaya. Ketiga, coworking space GOR Ken Arok Jalan Mayjen Sungkono diperuntukan seni rupa dan seni lukis, seni kriya dan seni pertunjukan. Keempat coworking space Kelurahan Bakalankrajan, Kecamatan Sukun yang diperuntukkan seni pertunjukan dan kriya.

“Rencana pengembangan ke depan adalah menambah satu lokasi baru di Kecamatan Lowokwaru sehingga target satu kecamatan satu coworking space dapat tercapai,” ujar Ida Ayu, saat dihubungi Alinea.id beberapa waktu lalu.

Coworking space ini, lanjut Ida, dapat digunakan oleh siapa saja. Namun, untuk UMKM atau startup yang ingin mengakses ruang kerja bersama ini harus membuat surat permohonan ke Disporapar melewati Bidang Parekraf beserta kelengkapannya, seperti identitas diri dan data perusahaan. Surat itu kemudian diseleksi untuk selanjutnya Disporapar akan mengeluarkan surat persetujuan izin pemanfaatan coworking space sesuai dengan zonasi atau mapping yang telah ditentukan. 

Startup atau UMKM yang mendapatkan persetujuan dapat memanfaatkan coworking space. Selain dapat memfasilitasi startup dan UMKM kami berharap dengan coworking space ini ekraf di Kota Malang dapat semakin berkembang,” tandasnya.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan