Presiden terpilih Prabowo Subianto punya dua proyek ambisius yang bakal digulirkan di awal pemerintahannya. Selain mengebut pembangunan tanggul laut (giant sea wall) yang membentang dari Jakarta hingga Gresik, Jawa Timur, Prabowo juga berniat membangun 3 juta unit rumah per tahun.
Khusus untuk proyek perumahan rakyat, adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengklaim sudah ada pembicaraan awal terkait itu. Menurut Hashim, Prabowo sudah sepakat bakal membangun 2 juta rumah di pedesaan dan 1 juta rumah di perkotaan per tahun.
"Pembangunan 2 juta unit (rumah) di pedesaan akan dipercayakan kepada UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), koperasi, dan BUMDes. Perusahaan kontraktor konglomerat tidak boleh masuk ke proyek ini," ujar Hashim dalam dialog APEC Business Advisory Council di Senayan, Jakarta, Rabu (4/9).
Hashim optimistis proyek perumahan rakyat itu bakal turut berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Proyek raksasa itu juga diharapkan meningkatkan jumlah kelas menengah. "Selama ini 17 sektor perumahan bisa menyumbang sampai 20% GDP, dan ini nyata," kata dia.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Endang Kawidjaja menilai program 3 juta hunian per tahun bakal sulit direalisasikan di awal pemerintahan Prabowo. Apalagi, jika pemerintahan Prabowo membeli tanah sekaligus membangun rumah dalam program tersebut.
"Hitungan satgas, untuk sampai 3 juta unit itu, diperlukan Rp113 triliun. Tetapi, mungkin tidak sampai segitu tahun pertama kalau program Prabowo sebenarnya ingin mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan rumah di pedesaan," ucap Endang kepada Alinea.id, Senin (2/9).
Angka 3 juta unit per tahun, kata Endang, hanya masuk akal jika pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya "memberikan" rumah kepada rakyat di pedesaan yang sudah memiliki tanah atau membantu memperbaiki rumah tidak layak huni (RTLH). Proyek semacam ini jauh lebih bisa menekan anggaran.
Berdasar hitung-hitungan Himperra, menurut Endang, pemerintahan Prabowo-Gibran hanya bakal mampu membangun 2.150.000 unit rumah pada tahun pertama. Itu pun termasuk 1 juta perbaikan RTLH. Selebihnya, gabungan dari dari pembangunan rumah yang didukung fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) alias rumah subsidi dan perumahan untuk kalangan ASN.
"Lainnya, 375.000 FLPP itu peningkatan 50%. Kemudian (pembangunan rumah) ASN dari 8.000, saya harapkan naik menjadi 50.000. Tetapi, harus dipaksa. ASN yang baru itu diwajibkan beli rumah dulu dan tidak dapat kredit multiguna yang digunakan untuk kepentingan hal-hal konsumtif, seperti beli motor atau beli mobil," ucap Endang.
Angka 3 juta unit per tahun, lanjut Endang, nantinya bisa tercapai bila dihitung selama kurun lima tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Selama 5 tahun, jumlah rumah yang dibangun per tahun diakumulasi hingga mencapai 15 juta rumah.
"Mungkin di tahun pertama itu 2 juta. Tetapi, di tahun kelima mungkin saja bisa mencapai 4,5 juta sehingga ditotal secara rata-rata 5 tahun itu 15 juta. Dibagi rata-rata per tahun jadi 3 juta. Itu juga tidak berbohong kepada rakyat," kata Endang,
Proyek 3 juta unit rumah yang diutarakan Hashim serupa dengan Program Sejuta Rumah (PSR) yang digagas Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2015. Namun, Jokowi hanya berani menargetkan 1 juta unit rumah per tahun. Hingga 2023, sudah ada 9,2 juta unit rumah yang dibangun lewat PSR.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti menilai target 3 juta rumah dalam setahun yang direncanakan Prabowo terlalu ambisius dan akan menghabiskan anggaran secara fantastik.
"Seharusnya (pemerintahan Prabowo) fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan agar daya beli masyarakat meningkat," ucap Esther kepada Alinea.id, Minggu (1/9).
Menurut Esther, pemerintahan Prabowo perlu menunda proyek-proyek raksasa. Pasalnya, perekonomian nasional sedang lesu. Kondisi ekonomi bisa tambah buruk jika duit negara harus dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek populis.
"Mengingat perekonomian saat ini mengalami deflasi atau lesu. Kelas menengah Indonesia juga cenderung jatuh miskin karena jumlahnya menurun. Perlu program atau insentif mendorong dari sisi supply dan demand," ucap Esther.