Pemerintah tengah membangun infrastruktur secara masif guna meningkatkan produktivitas ekonomi masyarakatnya. Namun hal itu dianggap kurang menunjukkan peningkatan produktivitas signifikan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pengamat Indef, M Rizal Taufikurrahman, mengatakan, ternyata hanya sektor tertentu saja yang merasakan dampak positifnya terhadap pengerjaan proyek infrastruktur.
Industri yang terkena dampak secara positif dari kebijakan infrastruktur, antara lain industri minuman, rokok, tambang dan logam. Kemudian industri semen, properti, dan jasa-jasa lainnya. Tidak mengherankan jika multiplier effect dari pembangunan infrastruktur terhadap akselerasi pertumbuhan ekonomi, belum terlihat secara signifikan.
Pertumbuhan sektor yang padat tenaga kerja, seperti sektor industri, pertanian dan perdagangan justru tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. "Ketiga sektor yang menguasai 68% tenaga kerja nasional hanya tumbuh di bawah 5%," jelasnya kepada wartawan, Selasa (21/3) di Jakarta.
Kebijakan infrastruktur seharusnya berdampak makro ekonomi Indonesia, mulai dari Gross Domestic Product (GDP), konsumsi, ekspor, dan impor. Tetapi ternyata, dari hasil temuan Indef, ternyata yang paling merasakan dampaknya adalah konsumsi rumah tangga. Dimana terjadi peningkatan secara agregat jumlah konsumsi belanja.
Kebijakan infrastruktur dalam jangka pendek maupun jangka panjang ternyata
berkontribusi positif terhadap konsumsi rumah tangga. Hanya saja peningkatannya
terjadi pada saat kebijakan dilakukan saja, sifatnya hanya pada jangka pendek.
Tetapi pada jangka panjang justru semakin menurun. Peningkatan konsumsi rumah tangga riil akibat kebijakan ini sifatnya sementara.
Investasi riil hanya meningkat pada jangka pendek. Hal ini menunjukkan proyek-proyek infrastruktur tersebut memiliki nilai investasi yang sangat besar. Kondisi ini juga dapat menunjukkan bahwa dunia usaha belum tertarik untuk menanamkan
investasinya, dunia usaha belum sepenuhnya mau berinvestasi.
Disisi lain, indikator jumlah impor riil menunjukkan arah positif. Artinya, jumlah impor riil semakin meningkat. Implikasinya, daya saing barang-barang lokal Indonesia semakin menurun, karena kebijakan tersebut belum mampu memacu pertumbuhan output sektoral dan nilai tambahnya.
"Kebijakan infrastruktur perlu dimoratorium, dipilah dan dipilih berdasarkan
prioritas yang paling bisa memberikan multiplier effect terhadap perekonomian
secara luas," harap dia.
Tetapi nampaknya pemerintah sangat berkeyakinan proyek infrastruktur yang dikembangkan berdampak positif terhadap perekonomian. Salah satunya pada penciptaan lapangan pekerjaan. Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah saat ini mampu menyerap 230 ribu pekerja yang tersebar di 246 proyek.
"Dari 230 ribu tenaga kerja itu, kontribusi pekerja lewat pelatihan vokasi sebanyak 60.903 orang atau 26,6% yang diproses lewat Balai Latihan Kerja dan pelatihan kerja swasta," kata Menaker seperti dilansir Antara.
Sebanyak 246 proyek infrastruktur itu tersebar di berbagai sektor antara lain 69 proyek jalan tol, tiga proyek pembangunan kilang minyak, empat proyek revitalisasi bandara, 10 proyek pembangunan pelabuhan baru dan pengembangan kapasitas, tiga proyek Satu Juta Rumah, 15 proyek sarpras kereta api antarkota dan delapan proyek pipa gas/terminal LPG.
Pekerja jasa konstruksi yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenakerjaan hingga Desember 2017 mencapai 8.459.410 orang. Untuk itu, Kemnaker terus melakukan optimalisasi pelaksanaan dan pengawasan K3 terhadap proyek infrastruktur antara lain dengan peningkatan pengawasan K3 oleh pengawas ketenagakerjaan, pembentukan Tim Pemeriksa/Penguji K3, peningkatan kualitas petugas K3 konstruksi (pembinaan Ahli K3), pemanggilan pimpinan perusahaan jasa konstruksi untuk dilakukan pembinaan serta melakukan kajian penyempurnaan terhadap Permen tentang K3 Konstruksi Bangunan.