Belum ada satu pun yang berniat membangun rumah susun (rusun) dengan konsep sertifikat kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun (SKBG sarusun). Padahal, petunjuk teknisnya (juknis), yang diatur di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 17 Tahun 2021, telah terbit setahun lalu.
"Setelah setahun diterbitkannya peraturan menteri PUPR tersebut, belum terdapat proyek yang mengimplementasikan penerbitan SKBG sarusun untuk pembangunan rumah susun umum," kata Dirjen Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto, dalam sambutannya pada Hari Perumahan Nasional, Jakarta, Kamis (18/8).
Permen PUPR 17/2021 adalah aturan turunan dari UU Nomor 20 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2021. Adapun SKBG sarusun adalah tanda bukti kepemilikan sarusun di atas barang milik negara/daerah (BMN/BMD) berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa.
Padahal, terang Iwan, kebijakan SKBG sarusun dilakukan guna memangkas jumlah kekurangan rumah. Pun membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar dapat memiliki hunian.
Dirinya menyatakan demikian lantaran SKBG sarusun memberi kepastian hukum bagi MBR yang memilikinya. Apalagi, dokumen tersebut dapat dijadikan jaminan pengalihan hak kepemilikan sebuah benda, yang registrasinya masih dalam kuasa pemilik benda tersebut (jaminan fidusia).
Selain itu, harga sewa rusun dengan konsep SKBG sarusun lebih murah karena hanya komponen perhitungannya hanya berdasarkan tarif sewa bukan beli. Pemerintah juga tetap memiliki jaminan atas kepemilikan aset tersebut.
Menurut Iwan, ada beberapa kendala yang menyebabkan pemerintah belum memanfaatkan asetnya yang menganggur untuk dibangun rusun berkonsep SKBG sarusun. Keterbatasan fiskal dan tidak mampu mengendalikan harga lahan di perkotaan, misalnya.
Sementara itu, tantangan bagi pengembang adalah tingginya harga lahan di perkotaan untuk dijadikan perumahan. Swasta pun cenderung tertarik membangun rusun umum milik, yang harganya tak terjangkau bagi MBR.