PSBB jilid 2 dan kegusaran pelaku industri manufaktur
Dengan mengenakan pakaian dinas berwarna putih, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berdiri di depan mimbar pidatonya di Balai Kota, Jakarta Pusat. Persis di belakangnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria berdiri dengan tangan bersedekap.
Di samping Anies, layar datar televisi menunjukkan data-data terkait kasus Covid-19 di Jakarta. Sebentar Anies berbicara di mimbarnya untuk kemudian bergeser beberapa langkah mendekat ke layar televisi. Dia menunjuk jejeran grafik di layar itu dan menceritakannya secara detail.
Angka kumulatif kasus positif Covid-19 di Jakarta, kata Anies, sudah sangat mengkhawatirkan. Posisi ini berbahaya, tenaga kesehatan bisa kewalahan, dan kapasitas rumah sakit bisa membeludak. Apalagi, kata Anies saat itu, tingkat keterpakaian tempat tidur isolasi untuk pasien Covid-19 sudah mencapai 77% dari total 4.053 unit.
Dengan data-data itu, Anies lantas mengambil keputusan yang cukup mengejutkan. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kata dia, akan kembali diberlakukan secara ketat di ibu kota.
“Kami sepakat tarik rem darurat dan kita akan menerapkan PSBB seperti awal lagi,” tegas Anies, Rabu (9/9). Aktivitas bekerja, bersekolah, dan beribadah akan kembali dilakukan di rumah.
Keputusan itu menyentak banyak kalangan, termasuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya, kebijakan Anies ini telah memberikan dampak yang kurang baik bagi perekonomian. Karenanya, ia pun meminta agar kebijakan PSBB tidak diberlakukan terlalu ketat.
Akhirnya, setelah mendapat banyak kritik dan masukan dari pelbagai pihak, Anies pun memutuskan untuk tetap menerapkan kembali PSBB di Jakarta pada 14 September 2020. Tapi kali ini, pemberlakuannya tidak terlalu ketat seperti PSBB pada masa awal pandemi.
Ada 11 sektor esensial, termasuk lini strategis, konstruksi, energi, logistik, kebutuhan sehari-hari dan lainnya yang masih diperbolehkan untuk beroperasi. Syaratnya, ke-11 sektor ini harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan kapasitasnya dibatasi 50% dibanding waktu normal.Perkantoran juga masih boleh beroperasi dengan kapasitas maksimum 25%. Selain itu, mal juga masih boleh dibuka dengan maksimal pengunjung 50% dibanding waktu sebelum pandemi.
Pengusaha gusar
Tapi apa boleh dikata, penerapan PSBB jilid 2 ini sudah kadung membuat banyak pelaku usaha gusar. Kebijakan Anies ini dinilai bakal kembali menimbulkan gejolak bagi perekonomian. Industri manufaktur diprediksi sebagai salah satu yang bakal menerima dampak paling parah.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengungkapkan, PSBB bakal membuat pendapatan sektor manufaktur tertekan. Minimnya aktivitas masyarakat dan dibatasinya kapasitas toko, gerai, dan mal akan membuat permintaan terhadap produk manufaktur melambat.
“Sektor bahan-bahan konstruksi, tekstil, otomotif merupakan yang paling terdampak,” ungkap Sigit melalui pesan singkat kepada Alinea.id.
Pernyataaan Sigit ini diamini oleh Executive General Manager PT Toyota Astra Motor (TAM) Fransiscus Soerjopranoto. Frans menyebut, PSBB total akan membuat permintaan terhadap produk otomotif menyusut. Otomatis, sambung dia, kapasitas produksi juga akan menyesuaikan.
“Pastinya tidak hanya Toyota, ATPM (agen tunggal pemegang merek) lain pastinya melakukan penyesuaian kapasitas produksi karena penurunan permintaan di pasar,” ungkap Frans kepada Alinea.id, Selasa (8/9).
Tak pelak, pengetatan kembali ini disinyalir bakal melanjutkan tren buruk penjualan mobil Toyota semasa pandemi. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil Toyota pada periode Januari-Agustus 2020 hanya menyentuh 97.728 unit.
Angka ini menurun drastis dari periode yang sama tahun lalu, dengan capaian penjualan sebanyak 212.599 unit. Tren penjualan mobil Toyota yang biasanya sekitar 27.000 unit per bulan, kini hanya 12.000 per bulan. Bahkan pernah mencapai rekor terburuk dengan penjualan hanya 695 unit pada Mei 2020.
Namun begitu, Frans mengaku bahwa pihaknya tetap akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Toyota, kata dia, akan tetap melayani kebutuhan pelanggan sembari tetap memerhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
“Penerapan standar sesuai dengan anjuran pemerintah berupa penggunaan masker, social distancing, dan lain-lain. Tidak hanya di pabrik, tapi juga di jalur distribusi seperti distributor dan dealer kami,” kata dia.
Selain otomotif, penerapan PSBB jilid 2 juga turut berdampak pada turunan industri manufaktur lainnya. Elektronik misalnya. Senior Public Relations & Brand Communication Manager PT Sharp Electronics Indonesia (SEI) Pandu Setio mengakui, PSBB pasti akan berdampak pada penjualan perusahaannya.
Akan tetapi, dia memastikan bahwa pihaknya akan tetap mematuhi aturan yang ada sekarang. Bersamaan dengan itu, Sharp juga berupaya untuk mencari strategi lain agar penjualan bisa tetap berjalan normal.
“Prinsipnya PSBB masih lanjut sampai sekarang. Kita terus fokus marketing plan di online dan virtual,” katanya kepada Alinea.id.
Belajar dari pengalaman PSBB pertama, Pandu yakin bahwa Sharp bisa berhasil melalui masa sulit ini dengan baik. Pada periode Mei-Juli 2020, Sharp bahkan mampu meningkatkan kapasitas produksinya hingga 40%.
Karena itu, kinerja Sharp pada kuartal-III 2020 ini diperkirakan tetap berjalan mulus. Apalagi jika mengingat selama beberapa bulan belakangan, sejumlah indikator manufaktur Indonesia juga sudah mengalami sedikit perbaikan.
Perbaikan ini terlihat dari data yang dirilis IHS Markit, lembaga konsultan asal Inggris, pada awal September lalu. Data ini menunjukkan, Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia periode Agustus 2020 sudah berada di level 50,8. Angka ini naik dari capaian bulan Juli yang bertengger pada level 46,9. Artinya, untuk pertama kali selama pandemi, sektor manufaktur Indonesia masuk kategori ekspansif.
Meski begitu, jika melihat survei ekspor-impor Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2020, angka ekspor industri pengolahan Indonesia masih mengalami pelemahan. Angka ekspor produk manufaktur Indonesia pada Agustus lalu hanya mencapai US$10,73 miliar. Nilai ini turun 4,9% dibandingkan ekspor bulan Juli yang menyentuh US$11,28 miliar.
Tidak ada pilihan
Sementara itu, Direktur Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, PSBB sejatinya tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kinerja industri manufaktur. Pasalnya, PSBB kali ini tidaklah seketat penerapan PSBB pada awal masa pandemi.
Apalagi, penerapan PSBB ini juga hanya ditetapkan selama dua pekan atau berakhir pada 27 September mendatang. Maka itu, kontraksi yang terjadi pada sejumlah indikator penghitungan kinerja industri manufaktur tidak akan sebesar pada penerapan PSBB pertama kali.
Faisal memprediksi, pergerakan ekspor-impor produk manufaktur pada September 2020 masih akan tetap menunjukkan perbaikan, meskipun melambat. Sementara PMI Manufaktur, akan kembali ke level di bawah 50.
“Jadi bisa jadi di bawah 50. Walaupun tipis. Artinya akan kembali kontraksi tapi tipis,” tutur Faisal saat berbincang dengan Alinea.id belum lama ini.
Terlepas itu, sejumlah asosiasi sektor turunan industri manufaktur juga menilai bahwa PSBB merupakan langkah yang cukup tepat. Menurut Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono, PSBB merupakan langkah yang memang perlu diambil dalam situasi sekarang.
Kesehatan, sambung dia, merupakan yang hal harus diutamakan. Angka transmisi harus lebih dulu diturunkan. Karena hanya dengan begitulah, ekonomi bisa kembali dipulihkan.
“Masa kita membiarkan nyawa-nyawa melayang begitu saja. Nyawa enggak bisa kembali loh, kalau ekonomi bisa kembali. Orang yang sudah meninggal tidak bisa dihidupkan kembali, kalau ekonomi turun sedikit, bisa kita bangun lagi,” tegas Sutrisno.
Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi juga memberikan pendapat senada. Bagi Yohannes, pemerintah memang harus memberlakukan mekanisme ‘gas dan rem’ dalam kondisi seperti sekarang. Jika penularan Covid-19 sedang tinggi, maka silahkan saja PSBB diberlakukan.
Yang terpenting, kata Yohannes, kebijakan yang diambil tetap didampingi dengan solusi bagi perekonomian. Hal ini penting dilakukan guna menyeimbangkan upaya penanganan Covid-19 yang tidak serta merta memukul perekonomian.
“Yang penting buat kami, kami sudah mendapatkan satu solusi bahwa yang namanya pabrik masih boleh beroperasi dengan maksimum 50% pegawai,” katanya saat dihubungi Alinea.id, (16/9).
Insentif tambahan
Selain itu, Yohannes juga berharap agar insentif bagi industri manufaktur juga diperhatikan. Terutama insentif yang mampu mendorong daya beli masyarakat. Dalam industri otomotif misalnya, Yohannes mengharapkan agar insentif pemotongan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi 0% bisa segera terlaksana.
Menurutnya, insentif ini bakal cukup ampuh untuk menstimulasi masyarakat untuk mulai berkonsumsi. Harapannya, industri otomotif bisa menggeliat dan ekonomi mampu terdongkrak.
“Karena yang penting sekarang buat kita adalah membangkitkan spirit mereka untuk belanja,” ucapnya.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani juga mengungkapkan bahwa yang terpenting saat ini adalah mendorong daya beli masyarakat. Dengan mendorong daya beli masyarakat, maka otomatis permintaan akan meningkat dan produksi industri olahan juga turut terungkit.
Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperluas target penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan subsidi gaji. Plus mempercepat realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah agar bisa mendongkrak kinerja manufaktur.
“Jadi itu, yang sebenarnya kami harapkan. Demand-nya bisa ditingkatkan, termasuk demand dari pemerintahnya sendiri untuk belanja pemerintah,” kata Shinta.
Shinta juga berharap agar realisasi program kredit modal kerja Rp100 triliun untuk korporasi padat karya bisa lebih cepat dilaksanakan. Bantuan ini, kata dia, akan membantu pelaku industri memenuhi kebutuhan operasionalnya sehingga aksi pemecatan maupun pemangkasan karyawan bisa dihindari.
Sebagaimana diketahui dari data BPS September 2020, industri pengolahan sendiri merupakan salah satu sektor yang paling banyak memangkas karyawannya selama pandemi. Sebanyak 52,23% karyawan di industri ini telah mengalami pemecatan sejak Maret-Agustus 2020. Dari jumlah itu, 18,69% di antaranya dipecat pada awal pandemi.
“Banyak perusahaan itu tidak punya cashflow untuk bayar ongkos Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tinggi. Tapi banyak yang dirumahkan, banyak pekerja yang tidak mendapatkan kompesasi secara utuh. Jadi ini semua menjadi kendala, kami khawatirkan nanti akan ada pengaruh juga ke pekerjanya,” pungkas dia.