Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro memaparkan kondisi pasang surut pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun.
Menurut Bambang, pertumbuhan ekonomi saat ini justru mengalami perlambatan dibandingkan era 1960-an. Jika berkaca pada periode 1968-1979, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sekitar 7,5%.
“Pertumbuhan tersebut ditopang oleh komoditas minyak dan gas. Bahkan pada masa itu, Indonesia sempat dijuluki raja minyak dengan kapasitas produksi mencapai di atas 1 juta barrel per hari,” kata Bambang di Jakarta, Rabu (24/7).
Setelah melewati puncak kejayaannya, harga minyak di Indonesia mulai turun sehingga ekonomi pun mengalami perlambatan. Meski demikian, pemerintah tidak tinggal diam. Pada periode 1980-1996, Indonesia tidak lagi mengandalkan minyak sebagai tumpuan, namun beralih pada sumber daya alam lain seperti kayu dan manufaktur.
"Artinya kalau Indonesia bisa bertumpu pada manufaktur dan SDA bisa luar biasa. Rata rata pertumbuhan saat itu 6,4%," jelasnya.
Sayangnya, saat ini justru Indonesia kembali pada kebiasaan lama yakni mengandalkan pendapatan dari sektor komoditas. Padahal, harga komoditas terus anjlok. Hal ini terbukti ketika bergantung pada sawit dan batu bara, hasilnya rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode 2000-2018 hanya sebesar 5,3%.
"Kita patut concern bahwa Indonesia ini sedang mengalami tren penurunan atau perlambatan pertumbuhan ekonomi. Terus terang tidak akan pernah terulang lagi pertumbuhan di atas itu, ini masih menjadi nostalgia susah untuk kembali ke angka tersebut," ujarnya.
Pendapatan penduduk
Sementara itu, Bambang mengatakan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5% saat ini, Indonesia berpotensi menjadi negara dengan pendapatan penduduk berada di level menengah ke atas (upper middle class).
Sebelumnya, Indonesia masih tergolong negara berpendapatan rendah (lower middle income).
"Kita sudah masuk negara berpendapatan menengah atas, meskipun atasnya masih awal sekali, masih kisaran US$4.000 per kapita," kata Bambang.
Menurutnya, untuk masuk dalam kategori high income atau negara berpendapatan tinggi harus mencapai US$13.000 per kapita.
"Jadi masih panjang perjalanan kita untuk keluar dari upper midle income," lanjutnya.
Menurut Bambang, hal itu bisa terwujud jika Indonesia dapat menjaga pertumbuhan konsumsi sekitar 5,2% dan pertumbuhan investasi 7,3%-8%.
“Dengan kondisi ekonomi yang positif itu, Bambang mengatakan kementerian dan lembaga harus all out untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik,” kata Bambang.
Bambang juga mengatakan, dengan pertumbuhan ekonomi yang baik, diharapkan kemiskinan bisa turun mencapai 6,5% di tahun 2024. Kemudian gini rasio bisa mencapai 0,37%.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan strategi yang dapat dilakukan untuk masuk dalam golongan negara berpendapatan tinggi adalah dengan cara meningkatkan produksi sektor manufaktur.
"Sektor manufaktur harus bisa tumbuh lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional, itu aja syaratnya karena dia adalah kontributor PDB yang lebih besar hampir 20%," ujarnya.
Selain itu, Bambang juga menjelaskan bahwa pemerintah telah dapat menjaga tingkat produksi dengan cukup baik di berbagai sektor.
"Pertanian dijaga sekitar 3,8%-,3,9% kemudian perdagangan lebih besar dikisaran 5,5%-6,2%, pertambangan 1,7%-1,9%, listrik 4,4%-4,8%, jasa keuangan 6,3%-7,2% dan sektor lainnya,” ujarnya.