Puntung rokok, kecil berbahaya dan picu kerugian ekonomi
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat, konsumsi rokok di Indonesia mencapai 322 miliar batang. Dari jumlah tersebut, berpotensi menghasilkan sekitar 107.333 ton sampah puntung rokok.
Meski jumlahnya sangat besar, sampah puntung rokok masih diabaikan dan belum menjadi perhatian, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, karena ukurannya yang mini. Padahal, tanpa disadari, pantat rokok menyumbang 5% hingga 9% dari total timbulan sampah, dengan sekitar 4,5 triliun puntung rokok dibuang sembarangan dan berakhir di lautan.
“Merokok memang enaknya di luar, bukan di dalam ruangan, maka enggak heran kalau 2 per 3 puntung rokok dibuang sembarangan dan tentunya tadi, berkontribusi ke sampah di laut,” kata Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Rofie Alhanif, dalam keterangan yang diterima Alinea.id, Kamis (22/2).
Rofie mengakui, pemerintah belum memiliki data pasti terkait jumlah timbulan sampah puntung rokok. Namun sebagai penyumbang bocoran sampah ke laut terbesar ke lima di dunia menurut World Population Review, bisa dipastikan sampah pantat rokok yang berakhir di laut berjumlah tak sedikit. Mengingat puntung rokok mengandung ribuan zat kimia dan plastik yang membahayakan lingkungan, tentu sampah puntung rokok yang bocor ke laut juga membahayakan ekosistem laut.
“Tentu sampah yang masuk ke lingkungan akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Dan ini juga ada hitungan kerugian ekonominya, termasuk kerugian akibat puntung rokok. Apalagi kalau bicara bahan kimia, puntung rokok mengandung bahan kimia dan termasuk limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun),” tambahnya.
Kerugian ekonomi
Berdasarkan data Global Center for Good Governance in Tobacco Control (GGTC) 2023, kerugian ekonomi akibat limbah puntung rokok mencapai US$26 miliar per tahun atau US$186 miliar per 10 tahun. Jumlahnya akan lebih besar di negara seperti China, Indonesia, Jepang, Banglades, dan Filipina, karena negara-negara tersebut menjadi penyumbang sampah plastik sekaligus jumlah perokok terbanyak di dunia.
Terpisah, menurut hitungan Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Ditjen Pengelolaan Sampah Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik, setidaknya sampah puntung rokok di daerah perkotaan mencapai 679 juta setiap harinya, sedangkan di daerah pedesaan mencapai 779 juta per hari.
“Kalau sudah jadi puntung rokok, memang enggak kelihatan, tapi ini bahaya sekali. Bayangkan kalau ini dikalikan dalam waktu setahun. Makanya kita harus mulai concern dengan hal ini, meskipun enggak kelihatan, gaib,” kata Ujang, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (22/2).
Dia mengakui, selama ini belum mengklasifikasikan sampah puntung rokok sebagai satu jenis sampah sendiri. Sampai saat ini, pemerintah baru mengategorikan sampah ke dalam kelompok sampah sisa makanan, kayu-ranting, kertas, plastik, logam, kaca, karet-kulit, logam, dan sampah lainnya.
“Makanya kami kalau menemukan puntung rokok itu ke dalam sampah lainnya, tidak dimasukan ke plastik. Padahal, saat bicara soal komposisi, puntung rokok itu tidak teridentifikasi dengan baik. Di sampah lainnya ini angkanya 7%, tapi enggak tahu yang dari puntung rokok seberapa,” imbuhnya.
Ujang mengakui, bagi pihaknya tantangan pengelolaan sampah puntung rokok tidak hanya berasal dari data, ketidakterkelolaan sampah, serta nihilnya sistem pengumpulan sampah dari produk tembakau ini saja. Pada saat yang sama, opsi penanganan atau pengelolaan sampah pun masih terbatas. Belum lagi masih banyak masyarakat yang tidak memahami pantat rokok adalah sampah yang masuk ke dalam kategori B3.
“Kemudian soal pengaturan tanggung jawab produsen. Kami sepakat, produsen harus punya tanggung jawab, Cuma masalahnya, belum ada pengaturan secara spesifik dan tegas. Jujur, kami juga belum banyak bicara dengan produsen, karena belum ada regulasinya,” beber Ujang.
Laki-laki yang karib disapa Uso itu bilang, saat ini pemerintah memang telah memiliki beleid yang mengatur tanggung jawab produsen dalam mengelola sampah produk-produk yang mereka buat, yakni melalui Peraturan Menteri KLHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Meski begitu, perusahaan-perusahaan rokok belum termasuk ke dalam sasaran regulasi ini.
Penelitian Thomas Novotny tahun 2009 mengungkapkan, satu puntung rokok dimasukan ke dalam 1 liter air, toksisitasnya cukup untuk membunuh semua makhluk air yang ada di dalam air tersebut. Dari penelitian ini, terbukti sampah rokok adalah limbah B3 yang berbahaya bagi makhluk laut.
Jika diurai, filter rokok yang diisap dapat melepaskan hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) terutama naftalena, nikotin, etanol, etilfenol, benzene, toluene, xilena (BTEX), dan logam berat jika larut ke dalam air.
“PAH terlarut, nikotin, BTEX dan logam berat dapat terakumulasi dalam jaringan biota perairan,” kata Pendiri sekaligus Penasihat Senior Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati.
Penelitian lain di Amerika Serikat yang dipimpin Eli Slaughter, menguji berapa banyak puntung rokok dalam satu liter air dapat membunuh separuh dari ikan yang ada dalam tangki. Dalam studi ini Slaughter dan tim mematahkan sampah rokok dalam tiga kategori yaitu filter rokok yang tersisa, filter rokok yang terbakar dan filter rokok yang tidak terbakar.
Mereka memilih dua jenis ikan yaitu ikan topsmelt dan fathead minnow, lalu mencari nilai lethal concentration 50% atau LC50, yaitu limit konsentrasi dari puntung rokok dalam air yang bisa menyebabkan kematian 50% sampel jumlah makhluk hidup dalam satu lingkungan yang sama.
“Hasil uji menunjukkan, filter rokok yang masih mengandung tembakau adalah bagian yang paling mematikan, dengan nilai LC50 sebesar satu puntung rokok per liter,” dalam keterangannya, Kamis (22/2).
Dengan bahaya tersebut, Yuyun pun mendorong agar pasal tentang puntung rokok masuk dalam proses negosiasi perjanjian internasional terkait plastik (plastic treaty). Di mana Komite Negosiasi antar Negara atau Intergovermental Negotiating Committee yang ketiga (INC-3) ini sudah berlangsung di Nairobi, Kenya, pada 13 hingga 20 November 2023.
“Indonesia harus punya posisi untuk mendukung cigarette butts dibahas pada INC-4,” ujarnya.
Terpisah, Ketua Lentera Anak Lisda Sundari juga mendorong pemerintah untuk memperhatikan permasalahan penanganan sampah puntung rokok, mengingat puntung rokok melepaskan zat kimia berbahaya dan selulosa asetat atau plastik yang membahayakan ekosistem laut. Apalagi Indonesia sudah berkomitmen dan terlibat aktif dalam pembentukan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum untuk mengakhiri polusi plastik.
Majelis Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Assembly/UNEA 5.2) telah menargetkan perjanjian internasional ini dapat diselesaikan pada 2024. Selain itu, sejak Februari 2022, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Environment Programme) bersama Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO FCTC) meluncurkan kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan aksi dampak mikroplastik pada filter rokok terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
“Kampanye dilaksanakan melalui UNEP’s Clean Seas Campaign (Kampanye Laut Bersih), koalisi global terdiri dari 63 negara dan bertujuan mengakhiri polusi plastik laut. Indonesia bergabung dalam kampanye ini dengan target untuk mengurangi sampah plastik di 25 kota pesisir dan mengurangi sampah laut sebesar 70% pada tahun 2025,” ujar Lisda.