close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pupuk subsidi rawan diselewengkan bahkan Rp6 T hak petani lenyap karena penyimpangan. Freepik
icon caption
Pupuk subsidi rawan diselewengkan bahkan Rp6 T hak petani lenyap karena penyimpangan. Freepik
Bisnis
Selasa, 21 Februari 2023 19:52

Pupuk subsidi rawan diselewengkan, sedikitnya Rp6 T hak petani di Jawa lenyap

"Apa pun itu, mau MinyaKita, beras, pasti ada orang yang bermain kalau terjadi disparitas harga."
swipe

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut kasus dugaan korupsi pupuk bersubsidi. Pangkalnya, kerugian yang ditimbulkan besar.

"Saya kira bagus [Kejagung usut kasus korupsi pupuk bersubsidi] karena pupuk itu masalahnya ada disparitas harga. Apa pun itu, mau MinyaKita, beras, pasti ada orang yang bermain kalau terjadi disparitas harga," ungkapnya saat dihubungi Alinea.id, Selasa (21/2).

Dwi Andreas melanjutkan, disparitas harga antara pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi sangat signifikan. Harga pupuk urea subsidi sekitar Rp2.250/kg, sedangkan harga pupuk urea nonsubsidi Rp12.000.

"Perbedaan Rp10.000, siapa yang enggak tergiur? Dijual Rp8.000 pasti laris manis, keuntungan sudah sangat besar," katanya. 

Ketua Umum Asosasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) ini mengungkapkan, dirinya pernah melakukan kajian atas pupuk subsidi pada 2019 di lini 4 atau area distribusi Pulau Jawa. Hasilnya, terjadi penyelewengan hingga 20%.

"Kalau rata-rata subsidi pupuk rata-rata Rp30 triliun, berarti ada Rp6 triliun uang yang jadi hak petani lenyap," ucapnya. 

Oleh sebab itu, Dwi Andreas mendukung Kejagung mengusut kasus dugaan korupsi pupuk bersubsidi. Namun, diharapkan juga menyasar pemain kakap.

"Harapan saya, Kejagung juga menyelidiki dari lini 1, lini 2, lini 3. Yang sudah pernah kami lakukan di lini 4. Jadi, jangan yang kecil-kecil saya, yang besar juga [harus diusut]. Lini 4 yang bermain yang kecil-kecil, tapi banyak," tuturnya.

Lebih jauh, Dwi Andreas menyarankan pemerintah, termasuk sejak era transisi ke pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 silam, agar mengubah mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi. Alasannya, kebijakan yang diterapkan hingga saat ini tidak tepat.

"[Mekanisme] subsidi input [saat ini] tidak tepat dan itu penyelewenangan yang terjadi cukup besar," ujarnya.

Dwi Andreas mengusulkan mekanisme distribusi pupuk bersubsidi diubah, dari subsidi input menjadi subsidi langsung kepada petani (direct payment). Model kedua, after sold direct payment untuk perlindungan harga di tingkat petani.

"After sold direct payment, jadi setelah [hasil panen] dijual, bagah dihasilkan, ditambah uangnya [yang dihasilkan petani] ditambah [oleh] pemerintah," tutupnya.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan