close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi buruh pabrik. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi buruh pabrik. Foto Pixabay.
Bisnis - Industri
Senin, 04 November 2024 18:08

Putusan MK terkait UU Cipta Kerja untungkan buruh?

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Apakah menguntungkan buruh?
swipe

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Tuntutan itu dikabulkan dalam sidang putusan perkara nomor 168/PUU-XXI/2023 itu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (31/10). 

Hakim MK menyatakan sebagian gugatan dari puluhan pasal yang diajukan dikabulkan karena dinilai mengancam perlindungan hak kerja hingga menggangu keharmonisan aturan yang berlaku.

Dalam putusan berjumlah 687 halaman tersebut, Mahkamah juga meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023. Pertimbangan hukum tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Mahkamah menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomro 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja. Terutama terkait dengan norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah, baik berupa pasal dan ayat sulit dipahami secara awam, termasuk sulit dipahami oleh pekerja atau buruh. Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan atau diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan disebut bakal mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

Dikutip dari website mkri.id, dalam putusan tersebut, MK membagi pertimbangan hukum ke dalam enam klaster dalil permohonan, yakni dalil penggunaan tenaga kerja asing (TKA); dalil perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT); dalil mengenai pekerja alih daya atau outsourcing; dalil mengenai upah; dalil mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK); serta dalil mengenai uang pesangon (UP), uang penggantian hak upah (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK).

  • Tenaga kerja asing

Terkait dalil penggunaan tenaga kerja asing, MK mengabulkan sebagian permohonan terutama norma Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 yang diubah dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang menyatakan, “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” yang tidak mengatur pembatasan secara tegas dan rigid serta hanya menggunakan frasa “hanya dalam” merupakan rumusan norma yang menimbulkan ketidakpastian (multitafsir) sebagaimana yang dikhawatirkan oleh para pemohon. Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penerapannya, Mahkamah menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.

“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan hukum.

  • Jangka waktu PKWT lima tahun

Kemudian, MK juga mempertimbangkan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Permasalahan ketentuan yang mengatur jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu yang merupakan komponen pembeda dengan PKWT ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Selanjutnya, ditentukan pula  perjanjian kerja tersebut berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Pendelegasian demikian yang dikhawatirkan para pemohon karena tidak memberikan kejelasan perlindungan hukum bagi pekerja atau buruh. Sebab, semula hal tersebut ditentukan dalam materi muatan UU 13/2003, yang menyatakan, "Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun".

Menurut MK, norma tersebut berkelindan dengan Pasal 59 ayat (1) huruf b UU 13/2003 yang mengatur mengenai berakhirnya PKWT bahwa "pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun". Artinya, jangka waktu PKWT yang ditentukan dalam UU 13/2003, termasuk perpanjangannya tidak boleh lebih lama dari tiga tahun. Dalam kaitan ini, Mahkamah memahami kekhawatiran para pemohon karena norma Pasal 59 ayat (1) dan ayat (4) UU 13/2003 lebih jelas karena meletakkan pengaturan jangka waktu PKWT tersebut dalam undang-undang, sementara norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 mendasarkan jangka waktu PKWT pada perjanjian kerja.

Untuk memberikan perlindungan pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi pekerja atau buruh sebelum dilakukan perubahan Pasal 81 angka 12 UU 6/2023, maka menurut Mahkamah terkait dengan pengaturan jangka waktu PKWT yang saat ini sudah berjalan yaitu, paling lama lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan PKWT sebagai dasar perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 perlu ditegaskan sebagaimana selengkapnya dalam amar Putusan a quo.

“Sehingga, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

  • Penentuan jenis pekerjaan outsourcing

Terkait pekerja alih daya, para Pemohon yang mempersoalkan belum adanya landasan hukum yang jelas dan pasti mengenai jenis pekerjaan yang dapat dialihkan melalui alih daya atau outsourcing. Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, MK menegaskan, perlu ada kejelasan dalam undang-undang yang menyatakan menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan dalam perjanjian alih daya. Sehingga, pihak-pihak yang terkait dengan perjanjian alih daya, seperti perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia jasa alih daya, dan para pekerja, akan memiliki standar yang jelas tentang jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.

Pekerja atau buruh alih daya hanya akan bekerja pada pekerjaan alih daya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya. Dengan adanya kejelasan ini akan memberikan perlindungan hukum yang adil kepada pekerja atau buruh mengenai status kerja dan hak-hak dasarnya, seperti upah, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak karena sudah ditetapkan jenis pekerjaan alih dayanya dalam perjanjian kerja. Selain itu, dengan adanya ketentuan mengenai jenis pekerjaan alih daya yang harus ditetapkan oleh menteri dalam undang-undang ke depan, maka akan membuat lebih jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam praktik alih daya. Hal demikian disebut dapat mencegah adanya kesalahan dalam mengalihkan pekerjaan dapat menyebabkan persoalan hukum. Karena ada batasan yang tegas pada pekerjaan yang dapat dialihdayakan dan juga pengaturan tersebut dapat membantu mengurangi kemungkinan konflik antara perusahaan dan pekerja atau buruh.

“Sehingga, dalil para pemohon berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 sepanjang tidak dimaknai ‘Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya’ adalah dalil yang dapat dibenarkan. Namun, oleh karena Mahkamah tidak mengabulkan sebagaimana yang dimohonkan oleh para pemohon, dalil para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” urai Daniel.

  • Waktu kerja lima hari

Para pemohon juga mempersoalkan tidak diakomodasinya hak pekerja atau buruh yang bekerja pada pengusaha atau di perusahaan yang memberlakukan lima hari kerja dalam sepekan dengan istirahat selama dua hari. Berkenaan dengan dalil para pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu mengutip Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 yang menyatakan, "Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu".

Setelah dilakukan perubahan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 dinyatakan, "istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu". Namun, dalam Pasal 22 PP 35/2021 sebagai amanat Pasal 79 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 mengatur lebih lanjut waktu istirahat tersebut dengan menyatakan, "Pengusaha yang mempekerjakan pekerja atau buruh pada waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) , "Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu". Setelah dilakukan perubahan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 dinyatakan, "istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu".

Namun, dalam Pasal 22 PP 35/2021 sebagai amanat Pasal 79 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 mengatur lebih lanjut waktu istirahat tersebut.  Adanya ketentuan alternatif yang bisa jadi selama ini sudah dijalankan oleh suatu perusahaan menjadi tidak ada pilihan karena sesungguhnya jumlah jam kerja setiap minggu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diterapkan dengan pola waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau waktu istirahat mingguan dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu. Hal tersebut tergantung pada kebutuhan perusahaan dalam meningkatkan produktivitas perusahaan dengan tetap memperhatikan hak-hak pekerja buruh.

Dengan memberikan waktu istirahat dengan pilihan sesuai dengan kondisi perusahaan apakah perusahaan akan memilih waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau waktu istirahat mingguan dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu. Adanya ketentuan alternatif yang bisa jadi selama ini sudah dijalankan oleh suatu perusahaan menjadi tidak ada pilihan karena sesungguhnya jumlah jam kerja setiap minggu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diterapkan dengan pola waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau waktu istirahat mingguan dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.

Hal tersebut tergantung pada kebutuhan perusahaan dalam meningkatkan produktivitas perusahaan dengan tetap memperhatikan hak-hak pekerja atau buruh. Dalam konteks ini, apabila terdapat perusahaan yang memberikan waktu istirahat mingguan dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu menjadi tidak memiliki kejelasan pengaturannya lagi dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 karena sudah dihilangkan namun diatur dalam Pasal 22 PP 35/2021. Oleh karena itu, untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum, Mahkamah menegaskan waktu istirahat sebagaimana yang didalilkan para pemohon dengan menyatakan ketentuan norma Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa "atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu".

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, oleh karena permohonan dikabulkan tidak sebagaimana yang dimohonkan para pemohon sehingga dalil para pemohon beralasan menurut hukum sebagian.

  • Dalil mengenai upah

Soal upah, para pemohon mempersoalkan dihapusnya penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dengan diberlakukannya Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023. Semula dalam norma batang tubuh ditentukan adanya frasa “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak”, yang kemudian norma tersebut dijelaskan, “adalah jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja atau buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja atau buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”. Hilangnya penjelasan inilah yang dipersoalkan oleh para pemohon karena dianggap tidak memberikan kejelasan mengenai perlindungan pengupahan bagi pekerjaatau buruh.

Setelah Mahkamah mencermati secara saksama penjelasan Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003, tidak terdapat substansi yang mengandung norma karena pada pokoknya hanya menjelaskan mengenai “penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak”. Namun, dengan berlakunya Pasal 88 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang mengubah Pasal 88 UU13/2003, khususnya pada ayat (1), kata “penghasilan” dihilangkan sehingga menghilangkan secara utuh penjelasan atas norma dalam Pasal 81 ayat (1) UU 13/2003. Padahal penjelasan tersebut sangat penting artinya dalam memperjelas maksud memenuhi hidup yang layak. Hilangnya kata “penghasilan” tidak berarti harus hilang pula penjelasan mengenai “memenuhi hidup yang layak”. Sebab, dihilangkannya kata “penghasilan” dalam Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 karena kata tersebut dianggap telah terabsorpsi dalam judul pasal mengenai “pengupahan” sehingga norma baru diubah menjadi “Setiap pekerja atau buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

“Berkenaan dengan norma baru tersebut, menurut Mahkamah tetap diperlukan adanya penjelasan maksud ‘penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’ karena penjelasan tersebut merupakan bagian penting dalam pengupahan. Sebab, frasa ‘penghidupan yang layak’ sangat banyak digunakan dalam norma UU 13/2003 yang telah diubah dengan UU 6/2023,” ujar Ketua MK Suhartoyo.

Mahkamah juga mempertimbangkan mengenai dalil Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 yang menghapus ketentuan upah minimum sektoral (UMS) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dalam praktiknya dapat mengurangi perlindungan terhadap pekerja, sehingga negara tidak lagi memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak pekerja.

Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan pandangan Mahkamah. Dia mengatakan upah minimum sektoral merupakan salah satu instrumen penting dalam rangka menjamin kesejahteraan pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor lainnya. Pengaturan upah minimum sektoral memberikan perlindungan yang lebih spesifik dan adil kepada pekerja di sektor-sektor tersebut, terutama dalam kondisi di mana sektor tertentu memerlukan standar upah yang lebih tinggi karena tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan.

“Dengan dihilangkannya ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam UU 6/2023, terdapat potensi penurunan standar perlindungan yang sebelumnya telah diberikan kepada pekerja, khususnya di sektor-sektor yang memerlukan perhatian khusus dari negara. Oleh karena itu, penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Arsul.

Sebelumnya, para pemohon menguji 12 klaster, tiga pasal, dan sekitar 50 norma dalam UU Cipta Kerja. Adapun klaster-klaster dimaksud yaitu, lembaga pelatihan kerja; pelaksana penempatan tenaga kerja; tenaga kerja asing; PKWT; outsourcing; waktu kerja; cuti; upah dan upah minimum; pemutusan hubungan kerja (PHK); uang pesangon (UP), uang penggantian hak (UPH), dan uang penghargaan masa kerja (UPMK); penghapusan sanksi pidana; dan jaminan sosial. Para pemohon mendalilkan pasal-pasal yang diuji tidak mencerminkan jaminan dan perlindungan hukum yang adil bagi tenaga kerja.

Memberi kepastian

Peneliti Trade Union Right Center (TUC) Didit Saleh mengatakan, putusan tersebut memberikan kepastian bagi PKWT dibandingkan sebelumnya. Karena dengan bekerja selama lima tahun sebagai kontrak, bisa diangkat menjadi pekerja tetap. 

Namun terkait pesangon, ada sejumlah catatan yang menjadi perhatian. Urusan pesangon PHK karena istirahat panjang seperti tidak bekerja selama satu tahun akibat kecelakaan, tak diakomodir oleh MK. Jadi, ia melihat sebaik-baiknya putusan ini masih lebih baik UU nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 

“Tidak diakomodir sama putusan MK. Itu juga saya baca bolak-balik juga, ya kalau dibandingkan lebih baik Undang-Undang 13,” katanya kepada Alinea.id, Sabtu (2/11).

Didit tidak terlalu memusingkan perihal waktu dua kali istirahat dan lima hari kerja dalam seminggu, karena tidak terlalu penting bahkan bisa diatur dalam kontrak. “Tapi kalau mau diatur di undang-undang juga boleh, juga bagus gitu,” ujarnya.

Sementara terkait upah minmum sektoral, menurutnya membuat pemerintah daerah wajib menetapkannya meski perlu disadari labour instensive dan capital intensive adalah dua hal yang berbeda. Baginya, keputusan ini adalah angin segar karena sudah ada klausul yang mengaturnya. Terlebih, MK memutuskan agar segera membentuk Dewan Pengupahan untuk memperjuangkan penentuan upah tersebut.

Menurutnya, dengan amar putusan ini, Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan pekerja atau serikat buruh, kelompok bisnis, asosiasi bisnis, dan pemerintah bisa saling memberikan usulan di dalam proses penentuan upah.

“Nah, selain itu memang ada soal TKA dan penambahan terkait istirahat, dan lain-lain. Tapi gongnya adalah soal pengupahan karena bulan ini, bulan November, sudah mulai melakukan perundingan upah minimum di setiap kabupaten, di setiap level. Dulu kalau pakai PP 51 ya dengan formula, tapi dengan ada putusan ini ada ruang Dewan Pengupahan menjadi ruang battle rounds, kemudian melakukan perdebatan di sana dan memutuskan di antara beberapa pihak itu,” jelasnya.

Peneliti Center of Reform on Economics (Core), Eliza Mardian menilai, ada secercah harapan kepada tenaga kerja meski putusan tersebut tidak jauh berbeda dengan UU yang sudah ada. Pasalnya, putusan tersebut menunjukan adanya perhatian serius terkait isu kesejahteraan para pekerja.

Selain itu, serikat pekerja dapat semakin menunjukan eksistensinya. Tentu saja, untuk memperjuangkan hak-hak para pekerja di Indonesia.

“Adanya pemisahan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja ini awalan yang baik dan memang seharusnya seperti itu terpisah. Karena UU Cipta Kerja ini terlalu banyak yang dicakup sehingga bermasalah,” ucapnya kepada Alinea.id, Minggu (3/11).

Eliza juga mengingatkan perlu adanya penghapusan terhadap batasan umur maksimal di dunia kerja. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Lantaran, batasan umur ini membuat masyarakat semakin terbatas untuk bekerja di sektor formal.

“Untuk meningkatkann produktivitas dan kualitas SDM pekerja ini mestinya sudah saatnya menghapus batasan umur maksimal bisa melamar kerja. Karena dengan adanya aturan tersebut membuat masyarakat kian terbatas ingin bekerja di sektor formal,” jelasnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan