QRIS: Andalan merchant, dongkrak pendapatan perbankan
Safira (25) kini tak perlu lagi khawatir saat dompetnya tertinggal kala bepergian. Hampir semua isi dompet sudah lengkap ada di dalam iPhone miliknya.
"Kecuali KTP (Kartu Tanda Penduduk-red) kali, ya..," kata dia, kepada Alinea.id, Selasa (9/11).
Perempuan yang karib disapa Fira itu mengaku sekarang sangat jarang memegang uang kartal. Sebagai gantinya, selalu ada saldo uang elektronik di dalam dompet digital (e-wallet) yang terdapat di ponsel pintarnya. Tidak hanya satu e-wallet, Fira mengantongi beberapa jenama yakni Gopay, OVO, DANA, Link Aja, hingga Shopee Pay.
Menurutnya, memiliki saldo uang elektronik di dalam akun dompet digital jauh lebih penting, ketimbang memegang uang cash. Sebab, saat ini segala pembayaran atau transaksi sudah bisa dilakukan secara digital atau cashless payment.
"Kemarin aja tu aku sempat beli rujak. Terus dia bayarnya cuma bisa cashless. Bayangin, ini rujak di pinggir jalan lho. Kalau kafe-kafe itu kan udah pasti ada (opsi pembayaran elektronik-red)," kisah pegawai di salah satu bank swasta di Jakarta Pusat itu.
Benar saja, Rujak Buah Nonik, penjual rujak buah di pinggir jalan Salemba Tengah, Jakarta, sudah tidak lagi melayani pembelian dengan uang tunai. Pun dengan franchise Rujak Buah Nonik lainnya yang tersebar di DKI Jakarta dan Tangerang.
Pemilik franchise Rujak Buah Nonik Neneng mengaku, opsi pembayaran cashless diterapkan untuk mengurangi risiko penyebaran virus Covid-19. Apalagi, franchise miliknya itu baru dibuka saat kasus positif Covid-19 di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu pada Juli 2020.
Perempuan 29 tahun itu mengaku, pada awalnya dirinya sempat merasa kagok saat harus melayani pelanggan menggunakan opsi pembayaran elektronik, baik dengan dompet digital milik perusahaan-perusahaan fintech maupun uang elektronik melalui digital banking.
Setelah terbiasa, kini Neneng menilai pembayaran non-tunai jauh lebih praktis ketimbang pembayaran tunai. Selain karena tak harus ribet menyediakan uang kembalian, dengan pembayaran digital dirinya bisa menyatukan pendapatan yang masuk ke dalam satu rekening.
"Memang akunnya kan beda-beda kalau buat dompet digital. Tapi rekeningnya bisa sama. Kalau buat QRIS malah lebih praktis lagi, cuma butuh satu QR Code aja, rekeningnya juga jadi satu," ungkapnya, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (10/11).
Perempuan yang tinggal di kawasan Jakarta Timur itu menilai konsumen pun saat ini lebih banyak yang memilih untuk menggunakan opsi pembayaran non-tunai. Apalagi pembeli dari kalangan generasi milenial dan generasi Z (Gen Z).
Berbeda dengan Neneng, Ahmad Firmansyah justru menyangsikan popularitas pembayaran non-tunai di Purworejo, Jawa Tengah. Pasalnya, uang cash tetap menjadi pilihan konsumen. Meskipun, cafe Kopi Candi tempatnya bekerja sudah menyediakan opsi pembayaran non-tunai.
Padahal, bagi penjual pembayaran digital dipandang lebih praktis daripada pembayaran langsung dengan uang tunai. “Kalau cash kan biasanya nanti ada kembalian. Iya kalau pas ada. Kalau lagi kosong itu harus cari tukeran dulu,” kata barista ini kepada Alinea.id, Senin (8/11).
Meski begitu, saat ini untuk pembayaran dengan dompet digital sudah jauh lebih banyak dari pada sebelumnya. Begitu juga dengan pembayaran melalui uang elektronik yang disediakan oleh perbankan. Jika sebelumnya, digital payment hanya digunakan sekitar 20 sampai 30 kali dalam seminggu, kini pembayaran dengan sistem QR Code tersebut bisa mencapai dua kali lipat dari biasa. Adapun untuk pembayaran dengan tunai, bisa mencapai 100 kali bahkan lebih dalam waktu yang sama.
Popularitas QRIS yang masih tergolong rendah, kata laki-laki yang sering dipanggil Firman itu, tidak hanya terjadi di Kopi Candi melainkan di seluruh Purworejo. Pedagang atau merchant seperti kafe, rumah makan, toko kelontong, pedagang kaki lima, atau tempat usaha lain jarang menyediakan opsi pembayaran dengan QR Code, khususnya QRIS.
Banyak pemain
Seiring berkembangnya zaman dan kian canggihnya teknologi informasi, masyarakat kini memang semakin karib dengan opsi pembayaran digital. Di Indonesia ada beragam perusahaan penyedia layanan pembayaran online, dengan lima yang terlaris adalah Gopay, OVO, Shopee Pay, Dana, dan LinkAja.
Selain perusahaan fintech, perbankan pun memiliki layanan serupa, seperti PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dengan Jenius Pay, TMRW milik bank UOB, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan lain sebagainya.
Digital payment memang bukan hal baru untuk penduduk Indonesia. Saat hendak melakukan pembayaran, pembeli harus membuka aplikasi dompet digital untuk kemudian melakukan scan barcode dan saldo otomatis terpotong karena pembayaran. Konsumen juga bisa menggunakan mobile banking untuk melakukan pembayaran tersebut.
Sayangnya, beberapa tahun lalu barcode yang disediakan oleh masing-masing dompet digital berbeda. Konsumen yang akan melakukan pembayaran dengan Gopay, tidak bisa melakukan scan barcode OVO yang disediakan merchant. Karena hal tersebut, konsumen lantas tidak bisa melanjutkan pembayaran.
Sebagai jawaban atas masalah tersebut, Bank Indonesia pun meluncurkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) pada 17 Agustus 2019. Standar QR Code tersebut resmi digunakan oleh berbagai perusahaan penyedia pembayaran digital pada 1 Januari 2020.
Sejak saat itu, semua transaksi pembayaran lewat QR Code harus menggunakan satu standar device, yaitu QRIS. QRIS ini bisa menerima semua device baik untuk pengguna Gopay, Ovo, Dana, LinkAja atau penerbit uang elektronik lainnya.
Sementara itu, menurut catatan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) saat ini ada sebanyak 24 perusahaan Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) non-bank yang terdiri dari Shopee Pay, Gopay, Dana, LinkAja, t-money, PayTren, OVO, OttoCash, BluePay Cash, DokuPay, SpeedCash, MotionPay, GV e-money, Netzme dan Tokonetzme, Paydia, i-Saku, Kaspro, IMkas, AstraPay, YUKKPay, GPay, Bayarind, serta dipay.
Selain itu, ada pula 40 PJSP bank diantaranya Sakuku dan BCA mobile dari Bank BCA, OCTO Mobile dari CIMB Niaga, JakOne Mobile dari Bank DKI, Livin by Mandiri dari Bank Mandiri, Maybank QR Pay dari Maybank Indonesia, M-Smile dari Bank Mega, Nobu e-Pay dari Bank Nationalnobu, QRIS BNI dari Bank BNI, Permata Mobile X dari Permata Bank, dan QRIS BRI dari Bank BRI.
Dengan banyaknya PJSP tersebut, tak heran jika kemudian semakin banyak pedagang atau merchant yang menggunakan QRIS. Menurut catatan Bank Indonesia (BI), hingga 1 November lalu, sudah ada sekitar 12,1 juta merchant pengguna QRIS. Jumlah ini meningkat signifikan jika dibandingkan akhir tahun lalu, yang hanya sebanyak 5,8 juta merchant. Adapun nilai transaksi QRIS hingga awal November ialah sebesar Rp7,6 triliun.
“Ini dari seluruh Indonesia. Luar biasa sekali capainnya,” ujar Deputi Gubernur BI Sugeng, kepada Alinea.id, Jumat (5/11).
Banyak pengguna
Cakupan penggunaan QRIS pun semakin luas. Tidak terbatas hanya di lingkungan pedagang besar saja, namun juga sudah merambah kepada pedagang-pedagang kecil, seperti pelaku UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) dari berbagai sektor usaha. Tak jarang QRIS juga digunakan untuk donasi sosial keagamaan.
Salah satu PJSP, OVO bahkan sudah menggaet sekitar 1 juta merchant untuk menyambungkan sistem pembayarannya dengan QRIS. Head of Public Relation OVO Harumi Supit mengatakan, OVO telah meluncurkan fitur Bayar QRIS sejak 2020. Fitur tersebut diinisiasi karena OVO ingin mendorong penggunaan metode nirtunai bagi masyarakat di masa pandemi.
Selain itu, OVO juga ingin memfasilitasi para pengguna, terutama di Jawa dan Bali yang tengah menjalani PPKM Darurat dari rumah masing-masing sehingga tetap bisa berbelanja.
“OVO berkomitmen untuk tetap memberdayakan dan mendukung ekosistem, termasuk para merchant modern maupun UMKM agar mereka dapat tetap bertahan dan menjalankan usahanya masing-masing,” katanya, beberapa waktu lalu.
Periode | Usaha Mikro | Usaha Kecil | Usaha Menengah | Usaha Besar | Donasi/sosial |
22 Maret 2020 | 2,4 juta | 304.420 | 265.077 | 129.834 | 3.996 |
30 Desember 2020 | 3,6 juta | 1,3 juta | 558.524 | 310.725 | 14.708 |
Tak kalah dari PJSP non-bank, PJSP bank pun juga mencatatkan kenaikan transaksi keuangan digital melalui QRIS milik BI. Beberapa PJSP bank tersebut antara lain, Bank Mandiri dan BTN.
Kepada Alinea.id, SVP Transaction Banking Retail Sales Bank Mandiri Thomas Wahyudi mengatakan, hingga Oktober 2021 saja, perusahaan perbankan pelat merah itu sudah bisa menggandeng 1,2 juta merchant untuk menggunakan QRIS. Dengan begitu, tak heran jika transaksi QRIS Bank Mandiri juga ikut mengalami lonjakan hingga 500% secara tahunan (year on year/yoy) pada periode tersebut. Padahal, pada Juli lalu, transaksi QRIS yang terjadi hanya sekitar 3,3 juta transaksi dengan volume transaksi sekitar Rp2,5 triliun.
“Transaksi ini baik di sisi issuing yang dilakukan oleh pengguna aplikasi Livin’ by Mandiri dan transaksi yang terjadi di sisi acquiring merchant penerima QRIS,” katanya, Rabu (10/11).
Sementara itu, transaksi paling banyak dilakukan oleh merchant ritel seperti warung keperluan sehari-hari, rumah makan, kantin, pujasera, koperasi hingga transaksi di pasar tradisional. Kata Thomas, dengan adanya QRIS, baik merchant sebagai penjual maupun nasabah sebagai pembeli mendapatkan kemudahan solusi pembayaran digital.
Tidak hanya Bank Mandiri, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk pun mampu meningkatkan transaksi layanan QRIS-nya. Direktur BTN Andi Nirwoto mengatakan, BTN mencatatkan rata-rata pertumbuhan transaksi QRIS 113% tiap bulan.
“Paling banyak dari transaksi di food & beverages (F&B) sama dari toko-toko ritel,” katanya, beberapa waktu lalu.
Pertumbuhan itu, lanjut Andi, sejalan dengan peningkatan jumlah merchant BTN yang per Oktober lalu mencapai 6.970 merchant. Begitu juga dengan pendapatan dana tabungan dari merchant yang telah mencapai Rp372 miliar.
“Selain itu, implementasi QRIS ini juga meningkatkan penggunaan transaksi bagi bank. Kemudian juga pengendapan dana dari pengguna transaksi e-channel kita,” imbuhnya.
Tahun | Volume transaksi | Nominal transaksi | Rata-rata nilai transaksi |
2011 | 41 juta | Rp98,1 miliar | Rp24.000 |
2012 | 100,6 juta | Rp197,1 miliar | Rp19.500 |
2013 | 138 juta | Rp290,7 miliar | Rp21.000 |
2014 | 203,4 juta | Rp332 miliar | Rp17.200 |
2015 | 536 juta | Rp528,3 miliar | Rp9.900 |
2016 | 638,1 juta | Rp706,3 miliar | Rp10.300 |
2017 | 943,3 juta | Rp12,4 triliun | Rp13.400 |
2018 | 2,9 miliar | Rp47,2 triliun | Rp16.200 |
2019 | 5,2 miliar | Rp145,2 triliun | Rp27.200 |
Oktober 2020 | 393 juta | Rp204,9 triliun | Rp43.800 |
Terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penggunaan QRIS memang memberikan banyak keuntungan, tak hanya bagi pedagang dan pembeli saja, melainkan juga untuk PJSP. PJSP bank misalnya, selama pandemi Covid-19 pendapatan dari bunga kredit berkurang lantaran adanya restrukturisasi kredit. Namun, perbankan yang telah tersambung dengan sistem QRIS bisa memiliki pemasukan lain, yakni dari pendapatan berbasis fee dan komisi atau fee based income (FBI).
Adalah Bank Mandiri, yang mencatatkan pendapatan non bunga secara konsolidasi sebesar Rp23,7 triliun atau tumbuh 21,5% yoy. Dengan FBI Perseroan menyumbang sebesar Rp9,1 triliun. Begitu pula dengan BTN yang mengantongi pendapatan non bunga senilai Rp1,8 triliun atau tumbuh 11,5% yoy dan FBI tumbuh sebesar 8,03% menjadi Rp749 miliar.
“Ini jelas bisa menutup pendapatan yang dari bunga kredit itu. Karena kan selama ada restrukturisasi kredit, pendapatan bank (dari bunga kredit) akan sangat berkurang. Apalagi kita tahu, (restrukturisasi kredit) akan masih sampai tahun depan,” katanya, Selasa (9/11).
Belum merata
Meski mengalami peningkatan, namun penggunaan QRIS dinilai belum merata. Menurut Bhima, persebaran QRIS hanya terbatas di Jawa dan kota-kota besar saja. Hal itu karena masih kurangnya sosialisasi terkait manfaat QRIS pada pedagang maupun konsumen. Kurangnya sosialisasi tersebut membuat banyak masyarakat yang menilai implementasi QRIS justru sulit dan ribet.
Di sisi lain, budaya penggunaan uang tunai juga masih kental di masyarakat, utamanya saat melakukan transaksi jual beli di pasar tradisional, pedagang kaki lima, atau usaha mikro lainnya. Selain itu, masih ada juga kekhawatiran akan terjadinya kebocoran data saat menggunakan transaksi digital. Begitu juga dengan infrastruktur digital yang belum merata di seluruh Indonesia.
“Dan juga ketidakpahaman sebenarnya. Karena literasi keuangan digital pada masyarakat di daerah ini masih sangat rendah,” ungkapnya.
Di saat yang sama, kesiapan penggunaan QRIS dari sisi konsumen pun dinilai masih belum siap. Sama halnya dengan merchant, kurangnya penggunaan pembayaran non-tunai oleh konsumen juga disebabkan oleh kurangnya edukasi.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan penggunaan QRIS, Bhima menilai, penting bagi pemerintah untuk memberikan edukasi kepada merchant dan konsumen. Setelah itu, pemerintah daerah atau PJSP juga diharuskan memberikan pendampingan kepada para merchant dalam implementasi QRIS.
“Ini lebih-lebih harus dilakukan ke yang ada di level tradisional, seperti ke pasar tradisional, warung-warung kecil dan pedagang kaki lima. Karena di situ tantangannya,” tegas dia.
Pada kesempatan lain, Asisten Gubernur sekaligus Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendrata mengatakan, meski jumlah merchant yang tersambung QRIS sudah melebihi target bank sentral dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), namun pihaknya masih akan terus mengakselerasi implementasi pembayaran non-tunai tersebut.
Selain dengan melakukan ekspansi dan kerja sama dengan berbagai pihak, peningkatan penggunaan QRIS dipelosok negeri juga dilakukan dengan menambah plafon maksimal transaksi QRIS, dari Rp2 juta menjadi Rp5 Juta.
“Ini memberikan dampak kepada peningkatan transaksi merchant menengah dan besar, termasuk di pusat perbelanjaan,” kata Fili kepada Alinea.id, Selasa (9/11).
Di sisi lain, Bank Indonesia juga terus memperluas penggunaan QRIS lewat Kick Off Piloting Program Pasar dan Pusat Perbelanjaan SIAP (Sehat, Inovatif dan Aman Pakai) QRIS. Dimulai dari Sulawesi Selatan, ke depannya sosialisasi dan edukasi terkait penggunaan QRIS ini akan dilakukan pula di 51 pasar dan 45 pusat perbelanjaan di 34 provinsi di seluruh Tanah Air.
Selain di dalam negeri, BI juga tengah berupaya agar sistem QR Code khas Indonesia ini juga bisa digunakan di luar negeri. Kata Fili, saat ini QRIS sedang diujicobakan di Thailand, yakni dengan melibatkan 11 PJSP, seperti LinkAja, Shopee Pay, Dana, Bank Mega, dan Bank Mandiri. Sementara di Tahiland, akan bekerjasama dengan Bangkok Bank, Bank of Ayudhya dan CIMB Thai.
“Setelah di Tahiland, mungkin QRIS juga akan diuji coba di Malaysia juga dan di negara ASEAN lainnya yang approach kita,” kata dia.
Di sisi lain, Ketua Umum ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) Santoso Liem mengatakan, sebagai upaya industri sistem pembayaran untuk membantu aktivitas masyarakat di tengah pandemi, pihaknya berkomitmen akan terus memperluas akseptasi QRIS di berbagai sektor. Selain itu, industri juga akan aktif mengedukasi dan mengajak masyarakat menggunakan QRIS.
“Dengan jaringan yang luas di berbagai daerah termasuk penggunaan pendaftaran daring, ASPI siap membantu masyarakat memasuki era ekonomi dan keuangan digital,” katanya singkat, kepada Alinea.id, Kamis (11/11).