Ramai-ramai berebut pasar pendidikan digital
Sudah lebih dari satu tahun, para pelajar dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia melaksanakan pembelajaran daring. Namun, sistem belajar daring dari pendidikan dasar hingga tinggi dinilai tak efektif oleh sejumlah pihak.
Bahkan, laporan tentang framework pembukaan kembali sekolah yang dikeluarkan bersama oleh UNESCO, UNICEF, World Bank, dan WFP pada bulan April 2020, melansir pandemi merusak pendidikan, perlindungan, dan kesejahteraan anak-anak.
Belum lagi potensi anak-anak bisa kehilangan pembelajaran selama lebih dari satu tahun menyusul penutupan sekolah seperti diungkapkan Michelle Kaffenberger, akademisi dari Blavatnik School of Government, University of Oxford.
Kondisi ini akhirnya membuat bisnis startup pendidikan berbasis teknologi (edtech) menjamur bak cendawan di musim hujan. Pelaku bisnis memiliki visi dan misi hampir sama, yakni mengisi potensi learning loss yang dapat dialami para pelajar.
"Dengan kondisi pandemi dan harus daring, ya wajar kalau edtech ini tumbuh pesat," kata Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji, saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/8).
Tracxn.com mencatat, pada pada Juni 2020, ada sedikitnya 44 edtech di Indonesia. Namun, pada Juni 2021, jumlah edtech tumbuh pesat, menjadi 210 perusahaan. Hal ini didukung pula oleh kian derasnya pendanaan yang didapatkan oleh startup-startup pendidikan tersebut.
Dalam tiga tahun terakhir, DSResearch mencatat, ada 11 transaksi yang diumumkan (disclosed) oleh startup edtech Tanah Air. Diantaranya, Pahamify yang mendapatkan seed funding, Hactive8 yang mendapatkan pendanaan Pre-Series A, Gredu dengan pendanaan Pre-Series A, dan Ruangguru yang telah mendapatkan pendanaan Seri C.
Selain itu, ada pula HarukaEdu yang juga mendapatkan pendanaan Seri C, Zenius Education dengan pendanaan Seria A, Infra Digital yang mendapat pendanaan seed funding, serta Sequline atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama Cakap mendapat pendanaan Seri A.
Di saat yang sama, jumlah pelajar di Indonesia pun juga terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Riset), pada tahun ajaran 2019/2020 ada sekitar 50,6 juta siswa.
Sebanyak 57,9% berada di tingkat dasar, 19,9% di tingkat menengah, 9,9% di tingkat atas, dan 12,1% di tingkat kejuruan. Selain itu masih ada mahasiswa yang berjumlah sekitar 8,3 juta. Di sisi lain, jumlah anak muda pengguna internet pun semakin meningkat.
"Trennya masih akan terus naik. Ditambah pandemi yang membuat pelajar harus terbiasa dengan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), makanya kemudian edtech ini pada berebut pasar," imbuhnya.
Naik signifikan
Dengan berbagai faktor tersebut, maka tak heran jika keberadaan edtech layaknya raksasa tidur yang mulai terbangun di kala pandemi. Hal itu terlihat jelas dari kinerja dan jumlah pengguna edtech besar, seperti Ruangguru, Zenius, atau Quipper yang mengalami lonjakan dalam jangka waktu setahun. Hal yang sama terjadi pula pada startup pendidikan kelas menengah, seperti CoLearn dan Cakap.
Menurut Co-founder CoLearn, Abhay Saboo hingga Juli 2021, startup lokal itu telah melayani lebih dari 4 juta pengguna fitur 'Tanya' dan 100 ribu murid yang tergabung di Kelas Live. Angka itu meningkat, jika dibandingkan pada April 2021 dengan jumlah pengguna sekitar 3,5 juta siswa.
Meski mengalami peningkatan yang cukup besar dalam waktu beberapa bulan saja, pria yang juga menjabat sebagai CEO CoLearn itu sepenuhnya sadar akan banyaknya pesaing di dunia startup pendidikan.
"Karena itu kami terus berusaha untuk bisa memberikan yang terbaik bagi para siswa," ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (13/8).
Lebih lanjut, Abhay menjelaskan, selama PJJ banyak anak yang jenuh dan kehilangan motivasi untuk belajar. CoLearn pun berusaha ikut serta dalam memantau perkembangan anak dengan menghadirkan guru yang terlatih untuk mengajar kelas Live yang interaktif.
Di saat yang sama, para guru juga diharuskan untuk membantu siswa dalam memahami mata pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia (Mafia). Fitur Kelas Live membuat murid lebih bersemangat untuk mengikuti pelajaran, karena bersifat interaktif dan dapat melakukan komunikasi secara langsung dengan guru dan teman-teman kelompoknya.
Sementara fitur 'Tanya' dikhususkan untuk membantu siswa menyelesaikan soal-soal latihan dan dapat diakses 24 jam secara gratis. Kedua fitur tersebut bisa digunakan untuk siswa kelas 4 hingga 12.
"Fitur yang bisa diakses kapan saja dan gratis ini memungkinkan siswa untuk menyelesaikan soal dengan meng-upload foto soal latihan ke dalam platform. Dalam hitungan detik, CoLearn akan memberikan video penjelasan cara memahami pertanyaan secara bertahap," urai Abhay.
Berbeda dengan CoLearn, aplikasi Cakap juga hadir untuk segmen usia pelajar di sekolah dasar hingga yang lebih dewasa. Startup yang fokus mengajarkan berbagai bahasa itu baru-baru ini telah menghadirkan terobosan teknologi baru berupa Augmented Reality (AR). Ada interaksi konten 3 (tiga) dimensi dan audio visual yang dapat dinikmati secara real-time selama kelas berlangsung.
Co-founder dan CEO Cakap Tomy Yunus menjelaskan, teknologi AR dapat digunakan melalui aplikasi Cakap yang akan ditampilkan oleh tutor. Ini diharapkan dapat meningkatkan potensi pembelajaran aktif para siswa.
Meski begitu, teknologi ini sementara hanya baru bisa digunakan dalam kelas ‘Cakap Mandarin for Kids’, setelah sebelumnya diluncurkan pada Januari lalu. "Selain AR, Cakap juga telah memperluas kelas pelatihan lainnya selain kelas bahasa dengan menyelenggarakan program ‘Cakap Upskill’," tambahnya.
Fitur tersebut sangat sesuai dengan komitmen Cakap, yakni untuk turut berkontribusi bagi pengembangan kualitas SDM Indonesia. Sampai sekarang, fitur ini baru terdiri dari kelas Entrepreneurship, Career Development, dan Self-Development.
"Kami harap, program ini dapat semakin menambah dan mengasah keterampilan para generasi muda Indonesia," harap Tomy.
Di luar itu, startup yang telah mendapatkan pendanaan Seri A+ pada Desember lalu itu mengaku telah mencatatkan peningkatan jumlah pengguna yang signifikan pada kuartal pertama tahun 2021. Selama triwulan tersebut, jumlah pengguna aktif yang menggunakan aplikasi Cakap meningkat hingga lebih dari tujuh kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Startup yang telah berdiri sejak 2019 ini berhasil membukukan laba bersih selama dua kuartal berturut-turut. Tentunya, hal ini didorong oleh naiknya permintaan jumlah kelas pelatihan.
Saat ini, Cakap menyediakan layanan kelas pelatihan bahasa asing untuk bahasa Jepang, Mandarin, Inggris, dan Bahasa Indonesia. Adapun jumlah pengguna Cakap sampai saat ini tercatat ada lebih dari 1 juta siswa.
Gaet tokoh besar
Tidak seperti kedua pendahulunya, startup besutan PT Telkomsel Indonesia, Kuncie menyasar segmen usia lebih dewasa yang ingin meningkatkan keterampilannya. Strategi platform yang baru diluncurkan Juli lalu ini menghadirkan nama-nama besar sebagai mentor mereka.
Sebut saja pengusaha Gita Wirjawan, produser film Joko Anwar, hingga kreator konten Raditya Dika.
"Kuncie juga menyediakan sekitar 550 konten praktis dan akan ditambahkan oleh para mentor yang memiliki keahlian di bidang masing-masing," jelas Komisaris Telkomsel Yose Rizal, kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Yose bilang, sebagai perusahaan teknologi terbesar di Indonesia, Telkomsel tak ingin ketinggalan untuk turut serta mengembangkan pendidikan digital di Indonesia. Selain itu, kehadiran Kuncie juga diharapkan mampu mengatasi kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki dengan kemampuan yang dibutuhkan dalam ekosistem digital di masa depan. Terlebih, Telkomsel memperkirakan 17 juta talenta digital dibutuhkan pada tahun 2030.
“Pendidikan bukan hanya untuk yang masih di usia sekolah saja. Saat ini, masih banyak ilmu-ilmu praktis tepat guna yang belum tersedia dan mudah dimengerti oleh orang-orang yang membutuhkan,” ujar Yose.
Siapa pun dapat memanfaatkan Kuncie, baik dari kalangan mahasiswa atau yang baru ingin memulai usaha dan berinvestasi seperti pelaku UMKM, kreator konten, juru masak, fashion stylist, beauty blogger, dan penulis. Melalui platform besutan perusahaan pelat merah ini, para pengguna mendapatkan sesi mentoring dan berinteraksi secara personal dengan para mentor yang diinginkan.
Sebelum diluncurkan secara resmi kepada masyarakat, Telkomsel mengklaim Kuncie sudah memiliki lebih dari 120 ribu pengguna terdaftar per 7 Juli 2021.
Penuh tantangan
Di tengah hingar-bingar ramainya pasar startup pendidikan nasional, nyatanya masih ada tantangan yang harus ditaklukkan oleh para pelaku edtech untuk bisa tetap bertahan. Ditambah lagi, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim telah mengizinkan dibukanya kembali sekolah dan perguruan tinggi mulai paruh kedua 2021 ini, meski dengan kapasitas tak sampai setengahnya.
Mengutip survei EdTech in Indonesia - Ready for Take-Off? yang dirilis oleh Bank Dunia 2020 lalu, ada tiga jenis tantangan yang harus dihadapi edtech Tanah Air. Pertama, tantangan dari sisi suplai seperti akses pembiayaan, pendanaan, hingga tantangan dari ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM)
Kedua, adalah tantangan dari sisi permintaan. Misalnya, inovasi perusahaan edtech, kemauan konsumen untuk membayar, rendahnya literasi digital masyarakat, hingga infrastruktur digital yang masih sangat terbatas
Ketiga, ada tantangan dari sisi regulasi, yang dapat berasal dari pembiayaan dan insentif yang sangat terbatas dari pemerintah untuk startup pendidikan swasta. Pun juga rencana pemerintah untuk bermitra dengan pelaku edTech swasta yang kebanyakan gagal atau tidak terealisasi.
Hal itu diamini pula oleh Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji. Dia bilang, meski memiliki potensi besar, keberadaan edtech yang tidak sepenuhnya didukung oleh pemerintah membuat raksasa tidur itu tak efektif untuk memberikan pelajaran tambahan pada para siswa.
"Selain kurangnya dukungan juga karena ekosistem pendidikan digitalnya tidak disiapkan," katanya saat dihubungi Alinea.id, Senin (23/8).
Untuk mengoptimalkan peran edtech, menurutnya, baik pemerintah maupun startup pendidikan itu sendiri harus menjalankan framework 3I (Infrastruktur, Infostruktur dan Infokultur) dengan baik.
“Tiga-tiganya harus dilakukan, tidak hanya satu atau dua, nanti pincang jadinya,” lanjut Indra.
Indra menekankan pentingnya infrastruktur atau perangkat perangkat yang digunakan dalam proses pembelajaran digital. Kemudian, infostruktur lebih ke identitas lembaga di dunia maya, seperti alamat situs, akun-akun sivitas yang berhubungan dengan nama domain lembaga.
“Penggunaan domain itu penting, untuk membedakan dengan kebutuhan pribadi”, tegas Indra.
Selain domain, lembaga pendidikan juga perlu menyipkan aplikasi-aplikasi yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran. Indra memberi contoh seperti penggunaan Cloud-based Office Application, School Management System, ataupun Learning Management System.
Hal terakhir yang penting, tapi sering dilupakan adalah Infokultur. Maksudnya, saat ini belajar bisa kapan saja, di mana saja, dan menggunakan alat apapun.
Dalam kesempatan lain, Plt. Kapusdatin Kemendikbud Hasan Chabibie mengakui edtech memiliki peran penting untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan taraf pendidikan anak-anak Indonesia selama pandemi.
"Interkoneksi pendidikan berkualitas dan akses teknologi akan menjadi pilar mendukung ekosistem yang stabil untuk riset dan inovasi, yang pada akhirnya akan mendukung perkembangan startup serta ekonomi nasional," kata dia, kepada Alinea.id, Senin (23/8).
Sebagai dukungan, pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan program penguatan teknologi internet dengan proyek Palapa Ring, yang sukses sebagai infastruktur digital Indonesia. Dari infrastruktur ini, memungkinkan layanan internet yang cepat dan efisien untuk mendidik siswa-siswi di berbagai pelosok Indonesia.
"Selain itu ada juga kuota internet gratis yang diberikan pemerintah untuk para siswa agar mereka bisa mengakses program yang disediakan oleh beberapa edtech," tandas Hasan.