RCEP diteken, siapkah Indonesia?
Sembilan tahun lalu, Indonesia menginisiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) saat menjadi Ketua Asean pada November 2011. Setelah memulai perundingan pertama pada Maret 2013, perjanjian perdagangan bebas megaregional ini akhirnya resmi disahkan.
Melalui telekonferensi pada hari Minggu (15/11), Menteri Perdagangan Republik Indonesia Agus Suparmanto menandatangani dokumen perjanjian perdagangan bebas RCEP yang disaksikan oleh Presiden Joko Widodo di sela-sela perhelatan Konferensi Tingkat Tingggi (KTT) ASEAN ke-37 tersebut.
Selain Indonesia, menteri perdagangan dari sembilan negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lainnya dan lima negara mitra seperti Australia, China, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru turut menandatangani naskah perjanjian megaregional terbesar di dunia tersebut.
"Hari ini merupakan hari yang bersejarah. Hari ini kita menandatangani Perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP," kata Presiden Joko Widodo dalam pidato virtual, Minggu (15/11).
Perjanjian | PDB (US$ Miliar) | Total perdagangan (US$ Miliar) | Jumlah penduduk (Juta jiwa) |
Asean | 2.986,4 | 2.816,7 | 649,1 |
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) | 24.669,9 | 10.642,9 | 2.249,8 |
Trans Pacific Partnership (TPP) | 31.610,4 | 10.167,5 | 830,7 |
North American Free Trade Area (NAFTA) | 23.514,8 | 6.124,4 | 490,4 |
Uni Eropa | 15.908,0 | 11.717,7 | 446,7 |
Mercosur | 2.488,8 | 594,3 | 264,4 |
Dunia | 84.929,5 | 39.266,6 | 7.594,3 |
Jokowi mengatakan penandatangan perjanjian tersebut merupakan wujud komitmen Indonesia terhadap multilateralisme antarnegara. RCEP, katanya, adalah simbol komitmen pemimpin negara di kawasan terhadap paradigma win-win yang mengutamakan kepentingan bersama. Selanjutnya, masing-masing negara menjalani proses ratifikasi agar perjanjian tersebut dapat diimplementasi (entry to force).
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengungkapkan perjanjian RCEP melalui perundingan sebanyak 31 putaran yang diselingi oleh sejumlah pertemuan antar menteri. Sebelumnya India turut serta dalam perundingan, namun menarik diri sejak tahun lalu. Meskipun demikian, kelima belas negara anggota RCEP sepakat memberi kesempatan kepada India untuk bergabung di masa mendatang.
“Hasilnya adalah sebuah perjanjian setebal 14.367 halaman, yang terbagi ke dalam 20 bab, 17 aneks, dan 54 schedule commitment yang mengikat 15 negara pesertanya, tanpa memerlukan satu pun side letter. 15 negara secara kumulatif mewakili 29,6% penduduk dunia, 30,2% GDP dunia, 27,4% perdagangan dunia, dan 29,8% FDI dunia,” jelasnya dalam konferensi pers, Minggu (15/11).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke kawasan RCEP mencapai US$95,44 miliar atau 56,91% dari total ekspor Indonesia terhadap dunia pada 2019. Adapun ekspor Indonesia ke negara-negara RCEP telah tumbuh 7,35% selama lima tahun terakhir. Di saat yang sama, impor Indonesia dari kawasan RCEP mencapai US$115,08 miliar atau 67,19% dari total impor Indonesia dari dunia.
Agus menekankan tiga hal yang menjadi perhatian bersama dalam penandatanganan perjanjian megaregional tersebut. Pertama, kehadiran RCEP diperlukan ditengah ketidakpastian perdagangan dunia, melemahnya kepercayaan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan tensi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China. Perjanjian ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggenjot ekspor dan investasi.
Kedua, kehadiran RCEP menjadi harapan pemulihan ekonomi yang terpukul akibat pandemi lantaran peran negara-negara anggotanya yang besar dalam kegiatan ekspor-impor Indonesia. Ketiga, manfaat RCEP tak dapat dirasakan apabila Indonesia bersikap pasif dan enggan melakukan perubahan mendasar. Menurutnya, peningkatan daya saing menjadi kunci sukses negara berpenduduk keempat terbesar di dunia ini.
“Perjanjian RCEP yang sesungguhnya baru saja dimulai oleh pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, sektor perdagangan, dan jasa, semuanya perlu bersinergi. Kita tidak punya pilihan lain,” katanya.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menjelaskan perjanjian megaregional ini merupakan pengembangan dari ASEAN + 1 FTA (Free Trade Agreeement/Perjanjian Perdagangan Bebas) sekaligus mengakomodir keinginan China yang ingin mengembangan ASEAN + 3 FTA dan Jepang yang mengusulkan pembentukan CEPEA (Comprehensive Economic Partnership in East Asia).
“Bisa dibayangkan kami bermain di 3 layer. Pertama, mengamankan Indonesia sendiri. Kedua, mengkoordinasikan posisi ASEAN yang terdiri dari 10 negara. Ketiga, mengkoordinasikan dan memfasilitasi kepentingan dari 16 negara,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Perundingan RCEP tersebut.
Menurut kajian dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, perjanjian ini akan menggenjot pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 0,05% selama periode 2021-2032. Sebaliknya, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami pertumbuhan -0,07% bila tidak mengikuti RCEP.
Di sisi lain, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kemendag memperkirakan RCEP akan meningkatkan defisit perdagangan Indonesia hingga US$490 juta, namun defisit tersebut bisa diatasi dengan memaksimalkan rantai pasok dari segi importasi bahan baku yang diolah menjadi produk siap ekspor (backward linkage) maupun ekspor bahan baku produk setengah jadi untuk diolah lebih lanjut di negara anggota RCEP lainnya (forward linkage).
Kemudian, hasil kajian Ira Aprilianti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan ekspor Indonesia akan meningkat 8-11% dalam 5 tahun setelah ratifikasi RCEP, begitu pula investasi yang akan meningkat 18-22% dan PDB kumulatif negara anggota yang meningkat hingga US$137 miliar.
Iman menambahkan pemerintah telah mendorong beberapa produk unggulan dalam menghadapi RCEP seperti serat berbasis tumbuhan, produk kertas, kimia, karet, plastik, produk mineral, logam besi dan non besi, listrik, dan gas.
“Kita juga perlu melakukan sosialisasi bersama Kadin (Kamar Dagang dan Industri) dan memanfaatkan FTA Center yang telah berdiri di enam kota di Indonesia (Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar),” ungkapnya.
Iman mengungkapkan proses ratifikasi di Indonesia sudah mulai memasuki penerjemahan dokumen untuk bisa diserahkan kepada Presiden yang kemudian akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proses tersebut ditargetkan selesai dalam waktu dua bulan. Kemudian, pemerintah dan DPR akan menggodok apakah perjanjian dagang megaregional tersebut akan dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan presiden.
“Ada dua hal ya. Entry to force aggrement dan entry to force untuk negara yang melakukan ratifikasi. Jadi, perjanjian ini akan dinyatakan memasuki tahap implementasi apabila enam negara ASEAN dan tiga partner dari lima negara sudah menyampaikan notifikasi ke Sekretariat ASEAN yang menyatakan bahwa mereka sudah selesai proses ratifikasinya,” tuturnya.
Disambut positif
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pihaknya menyambut baik penandatanganan perjanjian RCEP. Menurutnya, kehadiran RCEP sangat potensial untuk memperluas dan meningkatkan hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara di kawasan sekaligus membantu menempatkan Indonesia sebagai hub produksi dalam rantai pasok global dan regional.
“Dengan potensi ekonomi RCEP yang mencapai US$24,67 triliun, kami meyakini bahwa Indonesia lebih rugi bila tidak bergabung dalam RCEP karena hanya akan memperlebar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara pesaing di kawasan dalam mengambil keuntungan dari potensi ekonomi tersebut,” jelasnya kepada Alinea.id, Rabu (18/11).
Shinta berpendapat RCEP memberikan kepastian berusaha yang lebih tinggi untuk menormalisasi arus perdagangan dan investasi di antara negara-negara RCEP. Kemudian, hal ini mampu menciptakan permintaaan ekspor nasional dan meningkatkan arus masuk investasi bagi Indonesia dalam jangka pendek di tengah lesunya perekonomian kala pandemi.
Meskipun demikian, peluang tersebut tak hanya dinikmati sendiri oleh Indonesia, namun juga negara-negara pesaing di kawasan. Ia menilai Indonesia harus segera melakukan penyesuaian struktural di level domestik sebelum RCEP diimplementasikan agar tidak tertinggal dari negara lain.
Menurutnya, RCEP menciptakan persaingan yang lebih tinggi bagi sektor telekomunikasi, teknologi informasi, dan sektor padat karya nasional seperti sektor garmen, sepatu, dan otomotif, sehingga pemerintah perlu meningkatkan daya saing pada sektor-sektor tersebut.
Kemudian, pemerintah perlu mendorong reformasi birokrasi dan kebijakan Indonesia untuk meningkatkan kemudahan berbisnis (ease of doing business/EODB) dan mulai membenahi rantai pasok domestik lebih serius sambil menghormati komitmen keterbukaan ekonomi dalam RCEP. Diharapkan, Indonesia mampu bersaing dengan sesama negara anggota.
“Selain itu, Indonesia juga ditantang untuk lebih agresif menggunakan manfaat akses pasar yang diciptakan dalam perjanjian RCEP untuk menjamin peningkatan ekspor nasional lebih tinggi dari impor dan defisit perdagangan pasca RCEP bisa diminimalisir atau dihilangkan,” kata Chief Executive Officer (CEO) Sintesa Group tersebut.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan manfaat RCEP baru dapat dirasakan bila para pelaku usaha jemput bola dalam memanfaatkannya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para pelaku usaha dan melakukan strategi ‘menyerang’ untuk membidik pasar-pasar ekspor potensial di negara-negara anggota RCEP.
“Bukan dengan tanda tangan RCEP, nanti eksportir Indonesia jualan ke negara-negara RCEP langsung gampang, tapi kita harus isi formulir, harus menjelaskan rule of origin, ketentuan asal barang. Ketentuan asal barang diajukan untuk bisa mengklaim fasilitas yaitu keringanan atau bebas tarif. Kalau kita enggak mengajukan fasilitas itu, kita enggak bisa dapat fasilitas itu,” ungkapnya melalui sambungan telepon, Rabu (18/11).
Di lain pihak, Heri mengkhawatirkan adanya ancaman membanjirnya produk-produk impor di Indonesia dan menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan strategi ‘bertahan’ seperti perbaikan tata niaga impor, pelarangan dan pembatasan (lartas) impor, pengamanan perdagangan, dan hambatan non tarif (non-tariff measures). Hambatan non tarif yang dapat dilakukan adalah kewajiban Standar Nasional Indonesia (SNI), kewajiban label berstandar Indonesia, dan ketentuan sertifikasi halal.
“Dari segi impornya boleh-boleh saja dan diharapkan dapat mempermudah bahan baku impor untuk industri. Untuk barang konsumsi dilihat lagi. Kalau kita bisa bikin barangnya ngapain impor dari luar, kecuali kalau kita enggak bisa bikin baru impor dari luar,” tuturnya.
Heri memandang perjanjian RCEP mampu mendatangkan investor asing bila suatu negara memiliki iklim investasi yang kondusif. Sayangnya, dia menilai Indonesia masih “boros modal” dalam menghasilkan barang. Ini ditunjukkan dengan tingginya nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) di atas 6,5, di atas rata-rata negara ASEAN. Menurutnya, Vietnam, Thailand, dan Malaysia merupakan pesaing berat Indonesia dalam meraih manfaat RCEP.
“Sebaiknya kita perlu evaluasi. Kita kan FTA sudah banyak. Apa sih kekurangan, ketidaksiapan, atau kelemahan kita dalam menghadapi integrasi pasar? Kekurangan-kekurangan itu harus kita benahi. Kita sudah tanda tangan. Mau enggak mau, siap enggak siap, harus mau. Nah, caranya tadi itu, ada strategi menyerang dan bertahan,” jelasnya.
Diperlukan, namun tak banyak berdampak
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat perjanjian RCEP tak banyak berdampak bagi peningkatan ekspor lantaran Indonesia sudah menjalankan berbagai perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara-negara anggota RCEP. Baik melalui kerangka ASEAN + 1 FTA maupun secara bilateral dengan beberapa negara mitra seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
“RCEP ini bekerja dalam tingkatan regionial. Salah satu yang paling utama dari RCEP adalah rules of origin, peraturan barang asal. Kalau kita mengekspor ada SKA (Surat Keterangan Asal) ekspor. Ini tergantung dari aturanya. Dia (RCEP) menyederhanakan puluhan rules of origin yang ada di perjanjian-perjanjian sebelumnya,” terangnya kepada Alinea.id, Selasa (17/11).
Negara | Total perdagangan (US$ Miliar) | Neraca perdagangan (US$ Miliar) |
China | 72,89 | -16,97 |
Jepang | 31,67 | 0,34 |
Singapura | 30,51 | -4,67 |
Thailand | 15,69 | -3,25 |
Korea Selatan | 15,66 | -1,19 |
Vietnam | 9,00 | 1,31 |
Lanjutnya, RCEP sangat bermanfaat bagi para pelaku usaha yang telah memiliki jaringan produksi internasional. Melalui perjanjian tersebut, perusahaan akan mendapatkan bahan baku impor dengan harga lebih murah dan mampu mengekspor barang dan jasa dengan harga yang kompetitif.
Namun sayangnya, kata Yose, partisipasi Indonesia dalam jaringan produksi internasional masih dianggap rendah. Berbeda dengan Heri, ia menganggap hambatan non-tarif seyogyanya malah dihilangkan sebagai wujud komitmen Indonesia sebagai inisiator RCEP.
“Yang penting sekarang bagaimana perusahaan-perusahaan yang sedikit masuk jaring produksi internasional yang tadinya misalkan 1.000, kita usahakan jadi 10.000. Berpikirnya seperti itu, bukan karena cuma 1.000, yang lain harus kita lindungi. Lainnya harus kita dorong agar masuk dalam jaring produksi internasional ini. Caranya bagaimana? Dengan reformasi di dalam negeri ini,” jelasnya.
Dia menambahkan reformasi yang perlu dilakukan adalah reformasi regulasi, birokrasi, dan ketenagakerjaan. Menurutnya, kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja menjadi langkah awal dalam reformasi regulasi yang mampu mendorong para pelaku usaha Indonesia membangun jaringan produksi internasional.
“Mungkin yang lebih banyak dapat keuntungan negara-negara seperti Vietnam, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan karena mereka memiliki jaring produksi yang cukup kuat. Di dalam kasus Vietnam, mereka sudah menjadi bagian dari produksi internasional yang ada,” ungkapnya.
Perlu dikawal
Di sisi lain, efektivitas perjanjian perdagangan bebas terhadap kinerja ekspor Indonesia masih diragukan. Berdasarkan data BPS, Indonesia masih mencatatkan defisit sebesar US$19,64 miliar kepada 14 negara anggota RCEP lainnya per 2019.
Menurut hasil kajian United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), implementasi perjanjian RCEP berpotensi meningkatkan impor Indonesia sebesar 1,4%. Di sisi lain, peningkatan ekspor yang dialami oleh Indonesia hanya sebesar 1,1%.
Dalam kajian tersebut, negara-negara berkembang ASEAN seperti Indonesia, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Filipina, dan Vietnam mengalami peningkatan impor yang lebih besar dibandingkan ekspor.
Negara | Perubahan ekspor | Perubahan impor | Selisih |
Laos | 9% | 2,3% | 6,7% |
Jepang | 7,6% | 2,9% | 4,7% |
Selandia Baru | 2,7% | 0% | 2,7% |
Australia | 1,5% | 0% | 1,5% |
Singapura | 0,6% | 0% | 0,6% |
China | 4,1% | 3,5% | 0,6% |
Brunei Darussalam | 0,1% | 0% | 0,1% |
Thailand | 2,6% | 2,6% | 0% |
Indonesia | 1,1% | 1,4% | -0,3% |
Filipina | 0% | 1,3% | -1,3% |
Vietnam | 0% | 2,5% | -2,5% |
Myanmar | -0,1% | 2,9% | -3,0% |
Korea Selatan | 3,1% | 6,2% | -3,1% |
Malaysia | -0,1% | 6,0% | -6,1% |
Kamboja | -2,0% | 26,1% | 28,1% |
Ekonom Senior UNCTAD Rashmi Banga mengatakan perjanjian perdagangan bebas seperti RCEP akan membatasi ruang kebijakan dan fiskal negara-negara berkembang. Menurutnya, negara berkembang lebih rentan terdampak liberisasi perdagangan dan membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.
“Negara-negara ASEAN hanya mendapat manfaat dari RCEP bila mereka bisa menggunakan potensi rantai pasok regional yang terhubung dengan rantai pasok global. Namun dalam kebanyakan kerjasama regional seperti RCEP, kebanyakan negara-negara ASEAN akan kehilangan akses istimewa dan akses tersebut akan diambil oleh negara produsen dan eksportir yang efisien. Berapa banyak negara-negara ASEAN yand dapat berkompetisi dengan China?,” katanya dalam siaran pers, Selasa (10/11).
Melihat temuan tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menegaskan perjanjian perdagangan bebas yang ditandatangani oleh pemerintah tidak berdampak signifikan bagi kinerja perdagangan internasional Indonesia.
“Dengan RCEP apa nilai lebihnya? Kalau kami melihat dengan keluarnya India tidak ada luar biasanya. Kenapa pemerintah begitu optimis RCEP akan meningkatkan nilai ekspor kita,” ujarnya ketika berbincang dengan Alinea.id, Selasa (17/11).
Menurutnya, butir-butir yang tertuang dalam perjanjian perdagangan bebas seperti RCEP seringkali bertolak belakang dengan semangat pemerintah yang hendak melindungi dan memajukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), keistimewaan pemain dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa, serta meningkatkan total komponen dalam negeri (TKDN).
“Di semua perjanjian perdagangan internasional, ada discipline of domestic regulations. Kita tidak boleh sembarangan membuat regulasi nasional. Itu sudah terbukti. Beberapa kali kita buat regulasi diprotes. Pembatasan ekspor raw materials kita, pembatasan impor produk pertanian kita, soal produk halal dan sebagainya, semuanya dikritik (luar negeri),” tegasnya.
Dia menilai pendisiplinan tersebut berpotensi menghilangkan kesempatan pemerintah untuk membuat regulasi yang berpihak kepada masyarakat dan melindungi hak asasi manusia yang mungkin terdampak dengan adanya perjanjian perdagangan bebas tersebut.
Oleh karena itu, Rachmi berharap DPR dapat mengawal proses ratifikasi perjanjian RCEP dan melakukan kajian kritis mengenai dampaknya bagi negara dan masyarakat Indonesia. Kajian tersebut sebaiknya tak hanya dilakukan untuk masa kini namun juga masa mendatang. Selain itu, ia mendorong pemerintah dan parlemen untuk membuka ruang dialog bagi masyarakat untuk memberikan masukan.
“Kalau perjanjian internasional apakah itu menjadi suatu yang mudah? Kan enggak. Untuk melakukan revisi (RCEP), itu butuh political will dan situasi politik dari semua negara,” pungkasnya.