close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi rokok. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi rokok. Foto Pixabay.
Bisnis
Selasa, 06 Agustus 2024 18:09

Regulasi pembatasan rokok, sudah ideal?

Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Kesehatan dianggap masih memiliki celah.
swipe

Peraturan pelaksana Undang-undang (UU) tentang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 baru saja disahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Kesehatan. Beleid itu memuat bagian pengamanan zat adiktif yang mengatur tentang rokok elektronik, larangan zat tambahan, peraturan pengemasan, peraturan peredaran/penjualan, desain dan informasi pada kemasan, peringatan kesehatan untuk rokok elektronik dan produk tembakau, Kawasan Tanpa Rokok, serta pengaturan iklan, promosi, dan sponsor.

Beberapa yang diatur, yakni penjualan produk tembakau dan rokok elektronik dilarang dilakukan dalam radius 200 meter dari kawasan sekolah dan tempat bermain anak. Batasan usia merokok juga naik dari 18 tahun menjadi 21 tahun.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melihat, secara substansi aturan ini sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kesehatan publik yang lebih baik. Baik secara normatif maupun filosofis sudah tepat karena promosi dan penjualannya menjadi terbatas.

Apalagi, secara empiris tingkat prevalensi merokok pada anak sudah mencapai 9,1% yang sebelumnya hanya 8,5%. “Ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan,” ucap Ketua YLKI, Tulus Abadi kepada Alinea.id, Senin (5/8).

Dampak peraturan itu, kata Tulus, bisa melindungi rumah tangga miskin, agar pendapatan dan uangnya tidak habis untuk membeli rokok. Sebab, menurut data Badan Pusat Statsitik (BPS), rumah tangga miskin justru lebih banyak merogoh kocek guna belanja rokok, ketimbang lauk-pauk.

“Ini tentu fenomena yang tragis. Jadi ketentuan ini secara sosiologis sebagai wujud kebijakan yang pro-poor, pro-terhadap masyarakat miskin,” ucapnya.

Sekadar informasi, Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi merokok tertinggi di dunia. Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menyebutkan 34,5% dari seluruh penduduk Indonesia adalah perokok, dengan penambahan jumlah perokok dewasa 8,8 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir dan peningkatan konsumsi rokok elektronik 10 kali dalam satu dekade, serta prevalensi perokok laki-laki yang masih menempati posisi tertinggi di dunia.

Di sisi lain, Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 menunjukkan perokok usia pelajar 10 tahun hingga 18 tahun mencapai 7,4%, yang terancam perkembangan otaknya akibat adiksi nikotin. Penyakit tidak menular mematikan seperti stroke, penyakit jantung, dan kanker paru dengan faktor risiko utama merokok terus meningkat, dan menempati posisi-posisi teratas klaim jaminan kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ditambah dampak lain, seperti sulitnya pengentasan kemiskinan dan penurunan prevalensi stunting yang salah satunya juga dipicu oleh konsumsi rokok.

Belum ideal

Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany mengatakan regulasi ini belum ideal. Kendati demikian, dia menyebut tak mudah untuk meneken pengaturan pengendalian produk zat adiktif tembakau yang lebih ketat dan sempurna, sebab terdapat intervensi dan tekanan dari industri rokok dan pendukungnya. 

"Kami mendorong Presiden Jokowi (Joko Widodo) maupun presiden terpilih Prabowo Subianto agar PP Nomor 28 Tahun 2024 segera dilaksanakan," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (6/8). 

Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya bilang masih banyak celah pada bagian pengamanan zat adiktif di PP ini. Dus, bakal melemahkan upaya pengendalian tembakau ke depan.

Salah satunya, soal isi rokok kemasan yang tak boleh kurang 20 batang. Saat ini, rokok kemasan yang beredar isinya beragam, mulai dari 12 batang, 16 batang, dan 20 batang. Sayangnya, ketentuan itu hanya berlaku untuk rokok putih. 

"Sedangkan perokok Indonesia merokok rokok kretek," katanya.

Lalu, soal larangan iklan yang hanya berlaku di media sosial. Menurutnya, media digital selain media sosial juga begitu masif mempromosikan rokok.

Ketua Tobacco Control Support Center - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) Sumarjati Arjoso mengatakan PP ini juga mengamanatkan penerapan aturan yang mengikat pada kementerian-kementerian teknis terkait. Sehingga, beban masalah konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan, karena memiliki dampak multisektor.

“Peran pemerintah daerah juga akan sangat besar dalam penerapan aturan ini dan menjadi bagian yang sangat penting, sehingga diharapkan pemerintah daerah turut pro-aktif dalam implementasi di daerahnya masing-masing," katanya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan