Realestat Indonesia (REI) memprediksi pertumbuhan industri properti bisa mencapai 7%-9% pada 2020. Sekretaris Jendral DPP REI Amran Nukman optimistis industri ini akan melesat karena sudah tidak ada agenda politik seperti Pemilihan Umum tahun 2019.
"Kalau tumbuh 7% itu sudah cukup menggembirakan. Karena sejak 2013 bisnis properti ini turun terus," kata Amran di Jakarta, Kamis (6/2).
Selain itu, Amran yakin daya beli masyarakat tidak akan menjadi faktor hambatan lagi. Hal ini didukung oleh kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 8%.
Amran melanjutkan, apabila pengembang properti ingin bertahan dengan pasar yang terus menurun, maka pengembang harus memiliki strategi. Salah satunya, kata Amran, menjual properti dengan harga yang lebih rendah.
Strategi ini sebelumnya juga sudah diterapkan oleh pengembang-pengembang besar di Indonesia. Amran mencontohkan seperti Ciputra Group yang meluncurkan produk properti dengan harga Rp600 juta.
"Properti di bawah Rp500 juta itu bergerak, tapi di atas itu, investor wait and see. Kita lihat di 2019, launching properti di atas Rp1 miliar hampir semuanya tiarap," ujar dia.
Selain itu, Amran juga menyebut perusahaan properti sebaiknya memiliki pendapatan berulang (recurring income) agar ketika industri mengalami perlambatan, bisnis mereka tetap bertahan. Idealnya, menurut Amran, setiap pengembang harus memiliki pendapatan yang 30%-40% berasal dari recurring income.
Dampak coronavirus
Di sisi lain, Amran mengatakan penyebaran novel coronavirus saat ini bisa mempengaruhi bisnis sektor properti di Indonesia. Coronavirus memilik dampak ke sektor properti apabila investor tersebut datang dari China daratan. Sebab, seperti diketahui, pemerintah China telah melarang seluruh warganya untuk bepergian ke luar negeri
"Investor yang tadinya ada rencana bussiness meeting, mau bikin Perjanjian Kerja sama Operasional (PKO) atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) jadi terhambat karena coronavirus," kata Amran.
Selain menghambat bisnis properti dari sisi investor, menurut Amran, coronavirus juga menghambat kerja proyek-proyek properti yang ada di Indonesia. Sebab, beberapa barang yang diperlukan untuk konstruksi pembangunan properti didatangkan dari China.
"Jadi mungkin beberapa suplai barang bisa terhenti. Yang paling konkret, developer bangun high rise, lift-nya dari china. Jadi stop dulu pengirimannya," ujar dia.
Amran menyebut selama ini kebanyakan lift untuk pembangunan gedung bertingkat berasal dari China. Sehingga, akibat coronavirus tersebut, target pembangunan yang seharusnya dapat segera diselesaikan, jadi mundur penyelesaiannya.
Amran mengatakan, saat membangun properti, pengembang akan sangat bergantung kepada modal dan barang, selain sumber daya manusia (SDM). Adapun seberapa besar dan berapa lama dampak dari coronavirus ini, Amran masih belum bisa memperkirakannya.