close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.
Bisnis
Minggu, 27 Februari 2022 18:11

Relasi kuasa majikan-pekerja dan perbudakan modern yang dinilai wajar

Perdagangan orang dan perbudakan masih terjadi di era modern seperti di sektor perkebunan dan perikanan hingga pada pekerja migran.
swipe

Kasus korupsi Bupati non aktif Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin Angin menggegerkan publik. Tidak hanya mengungkap kejahatan rasuah, kasus ini juga menguak perbudakan modern dengan penemuan kerangkeng yang disebutnya sebagai 'panti rehabilitasi'.

Keberadaan kerangkeng-kerangkeng serupa yang juga disebut sebagai panti rehabilitasi, sebenarnya bukan hal asing lagi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan kelapa sawit. Di Palembang, Sumatera Selatan misalnya. 

“Sebenarnya sudah banyak yang tahu dan saya sendiri juga tahu, kalau kemungkinan besar panti itu enggak resmi. Karena kan kalau memang resmi, pasti ada hukumnya, di sini tidak,” kisah Aji Pratama yang lahir dan tumbuh di Palembang, kepada Alinea.id, awal Februari lalu.

Ia tak kaget dengan fakta penghuni panti yang merupakan pecandu narkoba atau obat-obatan terlarang lainnya dipekerjakan di kebun sebagai pegawai harian atau kontrak. Namun demikian, dia atau pun warga Palembang lainnya mengaku enggan melapor kepada pihak berwajib, lantaran takut kepada para pemilik kerangkeng, yang tak lain juga merupakan mafia sawit

“Kalau lapor dan ketahuan, dan enggak ada yang gerak dari kepolisian, yang ada malah taruhannya nyawa, mereka bakal bayar preman,” imbuh pria 21 tahun itu.

Perbudakan di era modern tak lepas dari tingginya angka kemiskinan. Pada 2021, diperkirakan ada sekitar 45,8 juta orang yang terperangkap dalam perbudakan modern atau perdagangan manusia. Jumlah ini terdiri dari 10 juta anak-anak, 15,4 juta orang dalam pernikahan yang dipaksakan dan 4,8 juta orang dalam paksaan eksploitasi seksual. 

Pekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Foto Pixabay.com.

Data dari notforsalecampaign.org tersebut diperkuat dengan laporan lima tahunan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT-TPPO). Dalam kurun waktu 2015-2019 tercatat ada sebanyak 2.648 korban TPPO. Di mana 2.319 orang di antaranya adalah perempuan dan 329 orang lainnya laki-laki. 

Lalu pada 2020, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) memperkirakan, ada kenaikan jumlah korban TPPO, khususnya dari kalangan perempuan dan anak hingga 65%.

Sementara jumlah penduduk miskin tanah air pada September 2021, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 26,50 juta orang atau sekitar 9,71% dari total penduduk. Jumlah ini turun 0,48% dibandingkan September tahun sebelumnya, yang mencapai 27,55 juta orang. 

Angka korban perdagangan orang ini diperkirakan bisa lebih tinggi lagi, karena masih banyak kasus perbudakan modern yang tidak dilaporkan. Apalagi, pintu menuju perbudakan modern dan TPPO terbuka dari banyak sektor usaha di Indonesia, seperti perikanan, perkebunan, hingga pekerja migran di luar negeri. 

Indonesia sebenarnya memiliki instrumen hukum yang cukup. Bahkan, Direktorat Penanganan TPPO Kementerian Dalam Negeri Amerika Serikat dalam Laporan Trafficking in Person menggolongkan Indonesia sebagai negara tier 2 dalam penanganan perbudakan modern dan TPPO, bersama Italia, Jepang, Polandia, dan masih banyak negara lainnya. 

Artinya, meskipun belum sepenuhnya memenuhi standar minimum Undang-Undang Perlindungan Korban Perdagangan Orang (Trafficking Victims Protection Act/TVPA), tetapi pemerintah telah melakukan upaya signifikan untuk memenuhi standar tersebut.

“Namun, karena kemiskinan dan relasi kuasa, menyebabkan penegakan hukum dan HAM belum dilakukan secara maksimal. Masih banyak celah yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk mempraktikkan perbudakan modern,” ungkap Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga, kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu. 

Penyebab perbudakan

Janji manis, bayang-bayang kelaparan, serta tumpukkan utang seringkali menjerumuskan masyarakat berpenghasilan rendah terperangkap dalam praktik perbudakan modern atau TPPO. Di sektor perikanan misalnya, upah dalam mata uang asing jelas menjadi tawaran manis. Mereka berangkat melaut dan menjadi anak buah kapal (ABK) tanpa mengetahui, apa saja yang bakal mereka hadapi di lautan lepas. 

Menurut catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), sejak September 2014 hingga Juli 2020, terdapat 338 aduan terkait kerja paksa di laut, yang dialami oleh ABK Indonesia di kapal ikan asing. Pada 2020, terhitung 104 aduan disampaikan pada SBMI, angka ini meningkat dibanding 2019 yang hanya 86 aduan. 

Praktik perbudakan modern yang acap kali terjadi di atas kapal antara lain, gaji tidak dibayar dan tindak kekerasan hingga menyebabkan kematian. “Bahkan hingga pelarungan jenazah tanpa seizin keluarga,” kata Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (26/2).

Sementara itu, Koordinator Advokasi dan Kebijakan Migrant CARE Siti Badriyah menilai ditemukannya keberadaan kerangkeng di perkebunan sawit milik Terbit Rencana jelas merupakan salah satu praktik perbudakan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi para pekerja yang kebanyakan memiliki luka lebam, kerja tak diupah, serta tidak boleh dijenguk oleh keluarga.

Para pekerja kebun kepala sawit yang menjadi korban perbudakan modern oleh Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin, dikerangkeng di belakang rumah Terbit Rencana, Langkat, Sumut. Istimewa.

Selain itu, praktik perbudakan modern juga bisa terjadi pada buruh lepas harian di kebun-kebun sawit. Beban kerja berat, upah sangat minim bahkan nyaris nol ditambah jeratan utang, praktis membuat para pekerja tetap berkubang dalam kemiskinan. Pada akhirnya, untuk menambah pendapatan harian mereka, istri dan anak pun tidak jarang ikut bekerja. 

“Dari perusahaan, ada yang bayarnya satu buruh untuk satu keluarga, ada juga yang memang per kepala. Tapi, ada lagi yang memang ngerekrutnya pekerja anak, karena upahnya lebih kecil,” ungkap dia, kepada Alinea.id, Sabtu (19/2).

Lebih parahnya lagi, selain upah minim dan beban kerja tinggi, para pekerja di kebun tembakau misalnya, masih dihantui oleh potensi keracunan nikotin. Kata Siti, ini sering terjadi pada pekerja anak. 

Menurut Laporan Perdagangan Orang 2021: Indonesia, oleh Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia, lebih dari 1,5 juta anak-anak Indonesia antara usia 10 dan 17 tahun bekerja di bidang pertanian, termasuk perkebunan tembakau, tanpa alat yang dapat melindungi mereka dari sinar matahari dan bahan kimia. Bekerja tanpa alat perlindungan yang memadai dapat menjadi indikator kerja paksa. 

Sebut saja Ayu (bukan nama sebenarnya). Siswi kelas VI Sekolah Dasar (SD) ini menjadi pekerja anak di kebun tembakau, di Desa Legoksari, Temanggung, Jawa Tengah. Sepulang sekolah, ia selalu menyempatkan diri untuk mampir ke kebun tempat ayah dan ibunya bekerja.

Bahkan, saat masa panen tiba, gadis 12 tahun ini sering kali memilih untuk membolos sekolah dan turut memanen mbakau seperti halnya anak-anak lain. “Lumayan kalau dapat mbakau pulung,” ujar dia, kepada Alinea,id, Rabu (23/2). 

Mbakau pulung atau tembakau srinthil, adalah salah satu tembakau terbaik dari Temanggung. Jenis ini tidak selalu muncul setiap musim panen, juga tidak di semua lokasi areal perkebunan tembakau di Temanggung.

Secara kuantitas, jumlah srinthil tidak banyak, hanya sekitar 1 kilogram (kg) dalam 10 kilogram tembakau yang dipanen. Namun, 1 kg srinthil biasanya dihargai hingga Rp1 juta.
 
“Pernah pas mbakon (istilah untuk masa panen tembakau-red), dapat sak genggem (satu genggam). Dijual, dapet Rp50.000 terus dikasih ke bapak,” kenangnya.

Adapun saat panen biasa dan hanya mendapatkan tembakau rajang, Ayu mengaku hanya diberi upah sebesar Rp5.000 saja. Dari hasil tersebut, Rp1.000 di antaranya akan ditabung untuk biaya masuk SMP. Sisanya lagi, Ayu gunakan untuk membeli jajan untuknya dan kedua adiknya.

Meski bekerja di kebun tembakau menyita waktu bermainnya, namun Ayu mengaku tak keberatan. Apalagi, dengan bekerja sebagai pemetik tembakau, dirinya bisa membantu meringankan beban kerja kedua orang tuanya. 

“Pas kerja juga sama temen-temen, jadi sudah biasa,” tutur gadis yang sudah bekerja di kebun tembakau sejak kelas III itu.

Dinilai wajar

Koordinator Advokasi dan Kebijakan Migrant CARE Siti Badriyah menilai meski banyak anak yang bekerja di kebun tembakau merasa tidak kebaratan, namun pada dasarnya hal ini juga merupakan salah satu bentuk perbudakan modern.

Sayangnya, menghilangkan praktik perbudakan modern bukanlah hal yang mudah. Apalagi, banyak masyarakat yang masih menganggap praktik ini sebagai hal yang wajar. 

“Padahal, seharusnya anak tidak boleh bekerja terlalu berat, apalagi sampai tidak diupah dan untuk perusahaan, kalau tidak mampu bayar pekerjanya sesuai UMR ya turunkan beban kerjanya,” tegas Siti.

Dia pun menyayangkan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap praktik ini. Tidak ada inisiatif dari masyarakat untuk mencegah adanya praktik perbudakan ini. Menurutnya, masyarakat harus dididik untuk sadar bahwa perbudakan dalam bentuk apapun dan alasan apapun adalah dilarang. 

Terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, untuk membasmi praktik perbudakan modern ada sedikitnya tiga hal yang harus diperhatikan pemerintah. 

Pertama, memastikan tidak ada pejabat atau pengusaha yang menyalahgunakan kekuasaan mereka. Sebab, sampai saat ini relasi kuasa sangat erat hubungannya dengan langgengnya praktik perbudakan modern di tanah air.

“Misalnya yang terjadi di Langkat itu kan termasuk penyalahgunaan kekuasaan,” ujar dia, saat dihubungi Alinea.id, Minggu (27/2).

Selanjutnya, pemerintah juga harus efektif dalam menurunkan angka kemiskinan nasional. Dus, dia menilai, angka perbudakan modern yang salah satunya melalui perdagangan orang akan semakin minim.
 
“Dalam hal ini, adalah orang-orang yang diiming-imingi akan bekerja di satu perusahaan baik di dalam dan di luar negeri, namun pada hakikatnya mereka dijebak dan akhirnya dipekerjakan secara paksa,” imbuhnya.

Kemudian, pemerintah juga harus bisa menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia. Sebab, penyebab lain maraknya perbudakan modern adalah terjadinya ledakan penduduk di sebuah negara. Kondisi ini  membuat lapangan pekerjaan kian sempit. Pada akhirnya, orang terpaksa melakukan pekerjaan apapun, asalkan bisa tetap makan.

Di saat yang sama, pemerintah pun harus membenahi hukum di Indonesia. Isnur menilai, sampai saat ini masalah penegakan hukum terhadap perbudakan manusia masih mengkhawatirkan dan tidak tertangani dengan baik. Bahkan, dalam banyak kasus, korban perbudakan modern atau TPPO segan melapor kepada pihak berwajib, lantaran takut dengan ancaman si ‘majikan’.

“Tapi, semua ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Karena untuk menghentikan perbudakan modern diperlukan usaha dari semua pihak, termasuk masyarakat untuk berani melaporkan, apabila ada kasus seperti ini di lingkungan mereka,” tegas Isnur.

Risiko pekerja migran

Sementara itu, menurut Laporan Perdagangan Orang 2021: Indonesia yang dirilis oleh Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia, pemerintah memperkirakan terdapat lebih dari 2 juta, dari 6-8 juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri tidak memiliki dokumen.

Pekerja yang didominasi perempuan ini juga kerap telah melebihi batas waktu tinggal yang tercantum pada visa mereka yang meningkatkan risiko mereka terhadap perdagangan orang. 

Pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi banyak warga Indonesia melalui kekerasan dan paksaan berbasis utang di Asia (terutama di China, Korea Selatan, dan Singapura) dan Timur Tengah (terutama Arab Saudi).

Khususnya pekerja rumah tangga, pabrik, konstruksi, manufaktur, perkebunan kelapa sawit di Malaysia, dan pada kapal-kapal penangkap ikan di seluruh Samudra Hindia dan Pasifik. 

Foto Freepik.com.

Perempuan-perempuan asal Indonesia dieksploitasi kerja paksa di Suriah. Lalu, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah menerima banyak pekerja rumah tangga asal Indonesia yang tidak dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan setempat. Mereka sering mengalami berbagai indikator TPPO, termasuk jam kerja yang panjang, ketiadaan kontrak resmi, dan upah yang tak dibayarkan.

Di Indonesia, pelaku perdagangan tenaga kerja mengeksploitasi perempuan, laki-laki, dan anak-anak di bidang penangkapan ikan, pengolahan ikan, konstruksi, perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya, pertambangan, dan manufaktur. 

Pelaku perdagangan orang mengeksploitasi perempuan dewasa dan muda untuk kerja paksa di sektor domestik. Pelaku juga dapat menjerumuskan anak-anak untuk melakukan tindak kejahatan terkait produksi, penjualan, dan pengangkutan obat-obatan terlarang. 

Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan, untuk mengatasi perbudakan modern dan TPPO, pihaknya telah melakukan kerja sama dengan berbagai negara di dunia yang tergabung dalam ILO (International Labour Organization) untuk memerangi praktik ini. Di saat yang sama, dirinya juga tengah melakukan berbagai pembenahan, baik itu terkait implementasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), hingga hak-hak tenaga kerja indonesia. 

“Tapi, di swasta juga harus patuh pada aturan pemerintah. Seperti di sawit, pemerintah melalui UU 20/1999 telah meratifikasi Konvensi ILO nomor 138 tahun 1973, mengenai batas usia minimum yang diperbolehkan untuk bekerja. Itu juga pengusaha harus patuhi,” kata dia, melalui pesan singkat, kepada Alinea.id, Minggu (27/2).
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan