close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bank Indonesia (BI) mengklaim siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG, 27-28 Juni 2018 yang akan datang./AntaraFoto
icon caption
Bank Indonesia (BI) mengklaim siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG, 27-28 Juni 2018 yang akan datang./AntaraFoto
Bisnis
Kamis, 21 Juni 2018 16:57

Rencana relaksasi LTV sektor properti dipertanyakan ekonom

BI berencana menaikkan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan loan to value (LTV) untuk mendorong sektor perumahan.
swipe

Bank Indonesia (BI) mengklaim siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptivefront loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada rapat dewan gubernur atau RDG, 27-28 Juni 2018 yang akan datang. Kebijakan lanjutan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan loan to value (LTV) untuk mendorong sektor perumahan.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira menilai respons BI untuk segera menaikkan suku bunga acuan memang cukup positif dalam menenangkan pasar. Namun, jika kenaikannya hanya 25 basis poin, diperkirakan tidak akan mampu memulihkan rupiah kembali di bawah Rp 13.800.

Sampai akhir Juni, ada kemungkinan rupiah bisa menyentuh Rp 14.200 jika langkah pre-emptive hanya sekedar menaikkan bunga acuan. Oleh karena itu, BI dan pemerintah harus memperluas upayanya untuk memperbaiki kinerja rupiah.

"Diperlukan langkah lain yang lebih terukur. Misalnya stimulus fiskal untuk mendorong kinerja ekspor. Dari sisi moneter setelah pelonggaran LTV properti juga bisa ditambahkan ke pelonggaran LTV kendaraan bermontor, dan sebagainya," ujar Bhima kepada Alinea.id, Kamis (21/6).

Jika hanya mendorong kebijakan LTV perumahan, kemungkinan dampaknya tidak bisa dirasakan dalam jangka pendek. Dikarenakan membangun rumah membutuhkan waktu yang lama, sama seperti pembangunan infrastruktur. Tetapi, untuk jangka menengah, dampaknya bisa besar dirasakan. 

"Kenapa tidak bisa mencicil KPR, karena daya beli masyarakat lesu. Sekarang bagaimana pemerintah dan BI menstimulus daya beli masyarakat," jelas Bhima. 

Upaya memperbaiki daya beli juga bisa dilakukan dengan mengatur sektor komoditas, khususnya yang berorientasi ekspor. Sementara jangka menegahnya yakni dengan mendorong industrilisasi, yang sekarang berkontribusi sebesar 20% terhadap PDB Indonesia. 

Hal senada juga disampaikan Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah. Dia menilai, sektor perumahan bukan pendorong membaiknya perekonomian. Tetapi perumahan itu adalah indikator membaiknya perekonomian. 

"Bukan dibalik, bukan perumahannya didorong, kemudian perekonomian membaik. Masyarakat biasanya membeli rumah atau butuh sewa kantor, jika perekonomiannya baik. Bukan masyarakat sewa atau beli rumah dulu baru ekonominya membaik," paparnya.

Itulah sebabnya, suntikan untuk mendorong perekonomian harus dicari, sehingga daya beli masyarakat akan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan. Setelah itu, baru masuk ke sektor properti. 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan