Rentetan bom waktu gagal bayar asuransi
Sejak bertahun-tahun lalu, Indonesia masih saja dibayangi gagal bayar perusahaan-perusahaan asuransi. Sebut saja kasus wanprestasi yang dialami PT Asuransi Jiwa Bakrie pada 2009 lalu, dengan nilai tanggungan dari klaim produk asuransi berbalut investasi Diamond Investa sebesar Rp400 miliar dan menimpa sekitar 600 nasabah.
Penempatan dana investasi yang terlalu agresif dan krisis ekonomi 2008, menjadi musabab kesalahan penempatan dana nasabah di pasar modal tersebut. Belum tuntas penyelesaian masalah Bakrie Life, industri asuransi kembali dihantam oleh kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwa Bumi Asih.
Kasus wanprestasi perusahaan asuransi yang berdiri sejak 1967 ini bermula pada April 2009, usai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dulu bernama Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menjatuhkan sanksi pembatalan kegiatan usaha (PKU). Perusahaan ini dinilai tidak menjalankan kewajiban penambahan modal dan rasio solvabilitas di bawah ketentuan, yakni sebesar 120%.
Empat tahun berselang, Bapepam-LK yang telah melebur menjadi OJK pun mencabut izin usaha Bumi Asih pada 18 Oktober 2013 lantaran tak bisa memenuhi permodalan minimum yang disyaratkan pada saat itu, yakni senilai Rp70 miliar. Sementara itu, menurut OJK, selain tidak bisa memenuhi penambahan modal melalui pemegang sahamnya sebesar Rp1,06 triliun, Bumi Asih juga punya utang klaim senilai Rp85,6 miliar kepada 10.584 pemegang polis.
Pada 2019, industri asuransi Indonesia kembali digegerkan oleh terkuaknya mega skandal Jiwasraya. Meski sebenarnya masalah gagal bayar telah muncul sejak Oktober 2018, ketika manajemen PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mengirimkan surat kepada bank mitra yang memasarkan produk Saving Plan terkait penundaan pembayaran klaim sebesar Rp802 miliar kepada nasabah. Untuk kemudian memperpanjang jatuh tempo polis, dengan kompensasi bunga 7,5% dan 5% ke nasabah yang tidak mau.
Setelah dilakukan penyelidikan mendalam, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa nilai gagal bayar perusahaan asuransi pelat merah ini mencapai Rp12,4 triliun kepada 17.000 nasabah pemegang produk Saving Plan.
“Penyebab gagal bayarnya masalah solvabilitas yang diatasi dengan window dressing, lalu masalah likuiditas diatasi dengan penerbitan produk asuransi yang bersifat investasi dan berbunga tinggi yang mana ini sangat berisiko bagi perusahaan. Terakhir, tata kelola,” jelas Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo, saat dihubungi Alinea.id belum lama ini.
Kegagalan investasi yang terjadi pada Jiwasraya, terjadi pula pada PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Kesalahan pengelolaan dana investasi untuk mendapat imbal hasil tinggi yang berujung korupsi ini pun dilakukan oleh manajemen dengan pihak luar yang sama dengan kasus Jiwasraya, yakni Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman Purnomosidi. Karena skandal korupsi ini, perusahaan harus menanggung rugi sebesar Rp10 triliun dan merugikan negara hingga Rp22,79 triliun.
Pada saat yang sama dengan terungkapnya gagal bayar Jiwasraya, Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 pun harus diterpa masalah serupa. Buruknya tata kelola perusahaan yang berujung kondisi insolvent (jumlah utang lebih banyak dari aset yang dimiliki perusahaan) menjadi penyebab gagal bayar AJB Bumiputera.
Berdasarkan catatan Alinea.id, pada akhir 2018 perusahaan memiliki tanggungan klaim pembayaran polis kepada sekitar 7 juta nasabah, dengan nilai Rp31 triliun. Padahal di saat yang sama total nilai aset perusahaan hanya sebesar Rp10,28 triliun.
Belum usai, pada 2020 hingga 2022 ada kasus wanprestasi yang menimpa dua perusahaan asuransi berbeda, PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha alias Wanaartha Life dan PT Asuransi Jiwa Kresna atau Kresna Life. Akibat gagal bayar tersebut, sekitar 29.000 nasabah Wanaartha Life harus menanggung kerugian hingga Rp15 triliun karena klaim yang tak dibayarkan. Sedangkan sekitar 12.000 pemegang polis Kresna Life didera kerugian sebesar Rp6,4 triliun.
Pemicu gagal bayar
Melihat lebih dalam, masalah gagal pada perusahaan asuransi disebabkan oleh dua hal, masalah internal dan eksternal. Pengamat Asuransi Dedy Kristianto bilang, setidaknya ada lima faktor yang menjadi pendorong terjadinya masalah internal, di antaranya manajemen perusahaan asuransi tidak menjalankan good corporate governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik secara prudent dan disiplin.
Sejalan dengan ini, perusahaan juga terkadang tidak menjalankan risk management (manajemen risiko) secara melekat dan ketat. Pada kasus gagal bayar yang meliputi tujuh perusahaan besar tersebut, dapat dikatakan kesemuanya tidak menjalankan tata kelola perusahaan yang baik.
“Ketiga, produk-produk asuransi yang dijual terkadang menyalahi aturan dan kaidah yang semestinya. Sehingga bisa menjanjikan manfaat dan return (imbal hasil) yang tidak masuk akal kepada nasabah dan itu meninggalkan bom waktu,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (31/3).
Selanjutnya, masalah internal disebabkan pula oleh adanya kepentingan pribadi dari para pemilik saham perusahaan. Pada kasus Wanaartha Life misalnya, berdasar pantauan BPK terhadap aktivitas keuangan di PT WAL, terungkap adanya transaksi semu dan diduga sebagai pencucian uang.
Dengan transaksi paling besar dari jual efek dengan janji beli kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Di mana transaksi ini disepakati oleh para petinggi WAL dengan Benny Tjokrosaputro sejak tahun 2016-2018 senilai Rp452,84 miliar.
“Unsur pidananya jelas disitu,” imbuhnya.
Kemudian, masalah internal juga bisa timbul karena seringkali perusahaan memandang agen sebagai ‘collecting premium’ saja. Sehingga tidak dibekali dengan pemahaman yang cukup akan produk yang dijual, pelayanan secara berkelanjutan kepada nasabah, dan lain sebagainya.
“Sehingga banyak kita temukan agen menjelaskan salah dan tidak tahu kemana rimbanya setelah penutupan asuransi dilakukan,” ungkapnya.
Adapun faktor eksternal penyebab gagal bayar, biasanya terjadi karena pengawasan yang tidak ketat serta melekat dari regulator dalam hal ini OJK. Menurut Dedy, pada periode kepengurusan OJK sebelumnya, otoritas tidak melakukan pengawasan pada industri asuransi secara ketat dan melekat.
Hal inilah yang menyebabkan banyak masalah (fraud) salah satunya gagal bayar terjadi di industri asuransi nasional. Padahal, seharusnya untuk menghindari wanprestasi pada industri asuransi, OJK melakukan pengawasan dari hulu hingga hilir pada perusahaan asuransi. Selama ini, yang terjadi OJK hanya mengeluarkan regulasi-regulasi bagi industri tanpa pengawasan dan kontrol implementasinya.
“Kita bisa berharap pada OJK jilid sekarang ini yang mulai terlihat pengawasannya secara baik pada industri berkaca pada permasalahan perusahaan asuransi sebelumnya,” tegasnya.
Rangkuman gagal bayar perusahaan asuransi
Perusahaan |
Nilai Gagal Bayar |
Jumlah Nasabah (Korban) |
Penyebab |
PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) |
Rp400 miliar |
Sekitar 600 nasabah |
Kesalahan penempatan investasi |
PT Asuransi Jiwa Bumi Asih (Bumi Asih Jaya) |
Rp85,6 miliar |
10.584 nasabah |
|
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) |
Rp12,4 triliun |
17.000 nasabah (Saving Plan) |
Kesalahan pembentukan harga produk Saving Plan, Lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi, Rekayasa harga saham, Tekanan likuiditas pada produk Saving Plan |
PT Asabri (Persero) |
Rp10 triliun (kerugian perusahaan) |
Sekitar 600.000 personel Polri dan 360.000 prajurit TNI |
Kesalahan pengelolaan investasi berupa saham |
Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 |
Rp31 triliun |
Sekitar 7 juta nasabah dengan lebih dari 18 juta polis potensial |
Salah tata kelola perusahaan dan insolven |
PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life) |
Rp15,84 triliun |
29.000 nasabah |
Masalah tingkat solvabilitas |
Kresna Life |
Rp6,4 triliun |
12.000 nasabah |
Salah penempatan investasi |
Dari berbagai sumber.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo mengungkapkan, di sepanjang tahun 2022, setidaknya ada 10 masalah yang terjadi di industri asuransi, termasuk di antaranya gagal bayar yang berujung pencopotan izin dan kasus sengketa nasabah unit link yang melibatkan beberapa perusahaan asuransi.
Soal kasus unit link, Alinea.id mencatat, di awal tahun lalu, sebanyak 16 orang nasabah dilaporkan menggeruduk kantor PT Prudential Life Assurance, PT AIA Financial dan PT AXA Mandiri karena merasa dirugikan usai membeli produk asuransi unit link yang ditawarkan tiga perusahaan tersebut.
Pada tahun 2019, OJK juga mencatat, setidaknya ada 360 pengaduan yang masuk terkait asuransi unit link. Jumlah ini kemudian melonjak pada tahun 2020 menjadi 593 aduan. Sementara pada kuartal-I 2021, ada 273 pengaduan yang masuk ke OJK terkait produk asuransi ini.
Peristiwa lainnya yaitu OJK mengumumkan 13 perusahaan asuransi berada dalam pengawasan khusus atau bermasalah. Perusahaan-perusahaan tersebut terdiri dari tujuh perusahaan asuransi jiwa dan enam perusahaan asuransi umum, termasuk reasuransi.
“OJK dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas sudah melakukan bagiannya sebagaimana amanat undang-undang. Lembaga dan instansi pemerintah yang berfungsi melakukan pengawasan juga sudah sedemikian banyak dan berlapis. Tapi masih banyak perusahaan asuransi yang gagal bayar,” ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (29/3).
Hal ini, menurutnya, karena sikap mental para pelaku bisnis, mulai dari agen asuransi hingga level direksi. Bagaimana tidak, di Indonesia kompetisi harga di pasar asuransi masih kerap terjadi. Di mana perusahaan asuransi berlomba-lomba menawarkan harga rendah untuk bisa bersaing dalam menggaet konsumen.
Perang produk murah
Produk PAYDI Prudential PRULink NextGen (PNG) misalnya, yang memiliki minimum premi Rp500.000 per bulan. Untuk produk asuransi jiwa perlindungan seumur hidup Pruwarisan, minimum premi Rp300.000 per bulan. Kemudian ada pula Produk PAYDI Manulife MiSmart Insurance Solution minimum premi Rp4 juta per tahun atau sekitar Rp333.000 per bulan.
Adapun asuransi jiwa seumur hidup Manulife Manulife Essential Assurance minimal premi untuk masa pembayaran premi 20 tahun sebesar Rp475.000 per bulan. Produk asuransi jiwa yang dihubungkan dengan investasi Mandiri AXA memiliki minimum premi bulanan mulai dari Rp500.000 dan minimal premi top up berkala sebesar Rp100.000 per bulan.
Sementara produk asuransi jiwa AIA Finance AIA PowerPro Life sebesar Rp300.000 per bulan untuk masa asuransi 10 tahun. Sedangkan untuk asuransi produk unit link AIA Financial yang dipasarkan oleh Bank BCA minimal premi dasar Rp500.000
Nilai ini hampir sama dengan jika seseorang mengonsumsi kopi kekinian. Di mana jika seseorang menghabiskan budget untuk minuman kopi kekinian Rp30.000 dalam sebulan, akan menghabiskan setidaknya Rp900.000.
Karena perang harga ini, dalam konferensi pers, Senin (2/1) lalu, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Ogi Prastomiyono mengungkapkan, pihaknya tengah mencermati perkembangan tarif premi yang dipasang oleh perusahaan-perusahaan asuransi, terutama asuransi kredit. Jika direrata, premi yang dibayarkan asuransi kredit sebesar kurang dari 1%. Padahal, tingkat rata-rata gagal bayar (default) asuransi kredit berada di kisaran 2% - 3%.
“Kami mencermati perkembangan harga untuk asuransi kredit di mana perusahaan menawarkan asuransi kredit yang harganya sangat rendah, dan ini kami anggap tidak sehat,” ungkapnya.
Sebab, jika perang tarif terus terjadi, Ogi khawatir perusahaan asuransi tidak mampu lagi membayar klaim yang ditagihkan oleh bank di kemudian hari. Karenanya, untuk mencegah hal itu terjadi OJK sedang berencana untuk mengatur batas minimal biaya premi.
“Kami sedang mengkaji dan akan mengatur mengenai batas minimal premi asuransi-asuransi yang kami anggap tidak sehat,” imbuhnya.
Tak hanya itu, maraknya kasus gagal bayar dan masalah lainnya jelas memberikan pukulan bagi industri asuransi nasional. Hal ini terlihat dari inklusi asuransi yang jauh lebih rendah dibanding tingkat literasi asuransi. Di mana menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK), tingkat inklusi asuransi di level 16,63%, naik dibanding hasil survey tahun 2019 yang sebesar 13,15%. Adapun untuk tingkat literasi asuransi di tahun 2022 sebesar 31,72%, melonjak dari 2019 yang hanya 19,40%.
“Literasi di tahun 2022 terjadi peningkatan cukup signifikan. Namun di inklusi, tidak setinggi di literasi. Artinya, semakin orang paham, mereka tidak menjadikan ingin membeli produk tersebut,” jelas Kepala Departemen Pengawasan Asuransi dan Jasa Penunjang IKNB OJK Dewi Astuti, kepada Alinea.id, awal Maret lalu.
Kondisi ini, lanjut Dewi patut dijadikan sebagai sarana mawas diri bagi industri asuransi. Sebab, industri diperkirakan masih bisa terus bertumbuh, mengingat penetrasinya yang masih mini. Data OJK menunjukkan bahwa tingkat penetrasi asuransi di Indonesia pada tahun 2021 baru mencapai 3,18%, yang terdiri dari penetrasi asuransi sosial 1,45%, asuransi jiwa 1,19%, asuransi umum 0,47%, dan sisanya asuransi wajib.
Hal ini pun diamini Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo. Menurutnya, untuk mengakhiri era gagal bayar ini, baik OJK maupun industri perlu melakukan transformasi besar-besaran. Sebab, meski OJK telah menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan undang-undang, dia menilai pengawasan yang dilakukan masih kurang tegas.
Hal ini pun terlihat dari sikap mental yang masih banyak diambil oleh perusahaan-perusahaan asuransi nasional, perang tarif dan penerapan tata kelola yang tidak cukup baik adalah contohnya. “Tugas pembenahan usaha asuransi harus didahului oleh niat baik para pelaku usahanya meski peran pengawasan lembaga resmi semacam OJK tentu tak bisa dikesampingkan,” tegasnya.
Urgensi pembenahan industri asuransi pun perlu cepat dilakukan, mengingat penurunan kinerja juga tengah terjadi di tubuh industri asuransi indonesia. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat, total tertanggung asuransi jiwa meningkat menjadi 85,01 juta orang. Namun, seiring dengan peningkatan tersebut pendapatan industri justru turun 7,5% dibanding tahun sebelumnya menjadi Rp223 triliun.
Di saat yang sama, total klaim dan manfaat yang dibayarkan industri asuransi jiwa sepanjang 2022 mencapai Rp174,28 triliun, berkurang tipis 0,2% dari tahun sebelumnya. Sementara pembayaran klaim dan manfaat untuk kasus meninggal dunia mengalami penurunan drastis sebesar 43,8% ke angka Rp11,88 triliun dari Rp21,14 triliun pada tahun sebelumnya, pembayaran klaim dan manfaat karena kontrak yang berakhir mengalami lonjakan 48,9% dari Rp14,19 triliun ke Rp21,13 triliun pada 2022.
Untungnya, pelemahan kinerja dari segmen asuransi jiwa tidak diikuti oleh asuransi umum. Dari catatan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), pendapatan premi industri asuransi umum mencapai Rp90,1 triliun pada kuartal-IV 2022. Angka ini tumbuh 15,3% secara tahunan (year on year/yoy) dari tahun sebelumnya yang senilai Rp78,1 triliun.
“Untuk klaim industri asuransi umum mencapai Rp41,7 triliun, tumbuh 36,1% yoy pada 2022. Kenaikan klaim ini terjadi hampir semua lini usaha asuransi, tertinggi terjadi pada asuransi kredit sebesar 65,3% dan asuransi harta benda 42,5%,” beber Wakil Ketua AAUI Bidang Statistik & Riset Trinita Situmeang, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (30/3).