Di gudang bobrok di pinggiran ibu kota China, pengusaha An Dawei memeriksa deretan lemari es raksasa, kompor industri, dan oven roti komersial yang menunggu untuk dijual kembali ke tempat makan.
"Bagi kebanyakan orang, membuka restoran hampir pasti gagal," kata pria berusia 38 tahun yang menjual peralatan dapur bekas.
Di balik setiap peralatan, ada kisah tentang restoran Beijing yang gagal, yang didirikan oleh mereka yang sering mempertaruhkan seluruh tabungan mereka pada pemulihan ekonomi berbentuk V setelah pandemi Covid-19, hanya untuk melihat konsumen berhemat dalam makan di luar karena ekonomi China melambat.
Hal itu memicu perang harga di mana penyedia makanan menawarkan kopi seharga 9,9 yuan dan paket makanan untuk empat orang seharga 99 yuan (Rp225 ribu).
Perluasan permintaan domestik menjadi prioritas utama pada tahun 2025 bagi para penguasa Tiongkok, yang berupaya mengimbangi dampak tarif AS dan krisis properti yang berkepanjangan.
Namun, inflasi konsumen turun pada bulan Februari dengan laju tercepat sejak Januari 2024, yang memicu kekhawatiran tentang spiral deflasi.
Pada tahun 2024, An dan timnya membongkar 200 restoran setiap bulan, atau 270 persen lebih banyak dari tahun sebelumnya, karena jumlah perusahaan katering yang bubar mencapai titik tertinggi dalam sejarah yakni hampir 3 juta di seluruh negeri, menurut data dari daftar perusahaan Qichacha.
“Di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Shenzhen, tingkat penutupan restoran per bulan melebihi 10 persen, terkadang bahkan melampaui 15 persen,” kata An.
Di restoran-restoran yang tutup di seluruh ibu kota, tim pekerjanya menumpuk kursi, oven, unit penyimpanan, dan troli pemanggang, menggunakan forklift untuk memuat sebagian ke kendaraan untuk dibawa pergi, sementara di satu lokasi, seorang pembeli membawa pergi meja-meja.
Pendapatan perusahaan turun lebih dari seperlima pada tahun 2024, kata An, karena lebih banyak toko kecil dengan biaya operasional rendah dibuka, seperti toko minuman dan toko roti, yang membutuhkan pengeluaran lebih kecil untuk peralatan.
Di sebuah pusat perbelanjaan sepi dekat Taman Olimpiade Beijing, manajer waralaba toko roti menyalahkan sewa yang tinggi sebesar 50.000 yuan per bulan dan lalu lintas pejalan kaki yang rendah atas kegagalannya setelah 14 bulan.
“Ada toko-toko di sebelahnya yang menjual produk serupa yang rasanya tidak seenak itu, tetapi harganya 10 yuan lebih murah. Orang biasa pada dasarnya akan membeli produk yang lebih murah,” kata manajer tersebut, yang berbicara dengan syarat anonim.
“Orang-orang tidak punya uang. Atau jika mereka punya, mereka tidak mau menghabiskan uang seperti sebelumnya, karena sangat sulit mendapatkannya.”
Lingkaran setan
Menurut para analis, sebuah restoran di Tiongkok memiliki masa hidup rata-rata hanya sekitar 500 hari, dan di Beijing, turun hingga satu tahun. Data kota menunjukkan laba bersih restoran anjlok 88 persen pada paruh pertama tahun 2024.
"Perusahaan kelas menengah lebih mungkin bangkrut... karena tidak hemat biaya," kata analis industri makanan Zhu Danpeng, merujuk pada restoran yang mengenakan biaya 100 yuan (Rp227 ribu) hingga 120 yuan (Rp272 ribu) per orang.
Persaingan harga yang ketat dan menu yang terus berubah untuk menarik pelanggan yang bosan telah membuat banyak tempat usaha berjuang untuk bertahan hidup, kata An, seraya menambahkan bahwa banyak yang terpaksa memangkas biaya menjadi sekitar 70 yuan hingga 80 yuan per pelanggan.
Pada sesi legislatif utama di bulan Maret, pejabat Tiongkok berjanji akan melakukan upaya lebih besar untuk menindak "involusi", atau persaingan yang berlebihan, tetapi industri restoran adalah salah satu bidang yang paling terlihat jelas permasalahannya.
Banyak restoran gulung tikar pada tahun 2024, yang memperlambat pertumbuhan pendapatan di industri makanan dan minuman Tiongkok menjadi hanya 5,3 persen dari angka tahun 2023 sebesar 20,4 persen.
Para pelaku usaha yang bertahan harus memangkas margin keuntungan secara drastis agar tetap bertahan dalam bisnis.
An menelusuri perang harga ini hingga tahun 2023, setelah Tiongkok mencabut pembatasan pandemi, yang menurutnya mendorong masuknya pendatang baru ke industri restoran menyusul PHK massal di berbagai industri seperti real estat, pendidikan, keuangan, dan teknologi.
Lingkaran setan persaingan pada akhirnya akan merugikan konsumen, imbuh An.
"Begitu (restoran) tidak dapat lagi merugi, mereka akan menemukan cara untuk mendapat untung, dan mereka hanya dapat melakukannya dengan mengurangi kualitas bahan-bahan," katanya.