Revisi target bauran EBT: Setengah hati transisi energi
Pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) berencana merevisi target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Target bauran EBT pada tahun 2025 yang sebelumnya ditetapkan sebesar 23% diubah menjadi hanya sekitar 17% hingga 19%.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengungkapkan, alasan revisi target bauran EBT adalah karena perlu adanya penyesuaian dalam KEN. Hal ini seiring dengan adanya pandemi Covid-19, yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia harus terkontraksi sebesar 2,07% pada 2020, dari yang sebelumnya ada di level 5,02%.
“Ada hal yang memaksa kami untuk meninjau kembali, terutama dari sisi indikator makroekonomi kita, termasuk pertumbuhan ekonomi. Kondisi ekonomi dunia sudah cukup memaksa semua (orang) menurunkan aktivitasnya waktu Covid-19,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (15/2).
Apalagi, angka pertumbuhan ekonomi yang digunakan sebagai dasar perhitungan target bauran energi di KEN saat ini adalah proyeksi yang lawas. Pun dengan KEN sendiri yang juga ditetapkan sebelum Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2016 lalu dan adanya komitemen dari Presiden Joko Widodo untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) dari Conference of the Parties (COP) 26, di Glasgow, Skotlandia pada 31 Oktober hingga 12 November 2021.
“Sekarang sudah ada Paris Agreement dan komitmen net zero emission yang menjadi Undang-Undang Perubahan iklim. ini beberapa alasan mengapa kami perlu merivisi target,” imbuh Satya.
Dia menyebut, target yang lebih rendah dari sebelumnya itu bukan menunjukkan pesimistis. Pasalnya, realisasi bauran energi di sepanjang 2023 hanya berada di angka 13,09%, atau lebih rendah ketimbang target sebelumnya yang dipatok sebesar 17,9%. Selain itu, dalam revisi KEN nantinya juga akan menggunakan periode waktu 2030 dan 2060, bukan lagi 2025 dan 2050.
Satya bilang, perubahan periode waktu ini dilakukan agar sesuai dengan Undang-Undang (UU) Perubahan iklim atau UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention On Climate Change atau Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
“Mereka targetnya di 2030 dan 2060. Karena itu, harus kami selaraskan energy mix atau energi sektor yang menjadi terpenting dalam penurunan emisi karbon,” imbuhnya.
Dengan ini, diharapkan penurunan emisi karbon di sektor energi pada 2030 dapat mencapai 446 juta ton apabila dengan bantuan internasional dan sekitar 328 juta ton dengan upaya Indonesia sendiri. Sesuai dengan indikator makroekonomi Indonesia, bauran energi nasional ditargetkan mencapai 17% pada 2025, di 2030 menjadi 19% dan kemudian melonjak jadi 70% di 2060.
“Angka-angka ini mencerminkan komitmen penurunan emisi karbon, jadi tidak semata mengejar target EBT 23% yang tidak tercapai,” tegas Satya.
Mengurangi daya tarik investasi
Direktur Eksekutif Indonesia for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengibaratkan penurunan target bauran energi ini seperti sinyal jaringan seluler generasi kedua edge (enhanced data rates for GSM evolution). Artinya, revisi itu mengirimkan sinyal yang lemah bagi percepatan transisi energi nasional. Selain itu, sasaran bauran energi ini juga menjadi tanda pemerintah telah mengingkari cita-cita Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060 dan berlawanan dengan target global.
“Ini sangat disayangkan. Kita harusnya akselerasi, bahkan di 2050 kita harusnya sudah mencapai 90% hingga 95%. Karena ada call untuk fossil faced out (menghapuskan energi fosil). Dalam konteks Indonesia, PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) harus di-faced out sebelum 2045 dan menggantinya dengan energi terbarukan,” tegas dia, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (15/2).
Padahal, seharusnya target tinggi yang sebelumnya dipasang untuk tahun 2025 dan 2030 menjadi tonggak penting lepas landasnya transisi energi di Indonesia dengan pencapaian target energi terbarukan lebih dari 40% dan puncak emisi sektor energi di 2030. Capaian bauran energi terbarukan yang ambisius di dekade ini dinilai penting agar realisi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia selaras dengan target Persetujuan Paris, untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global di bawah 1,5 derajat Celcius.
Fabby khawatir, dengan target setengah hati bauran energi, Indonesia bakal terlambat dalam menggenjot bauran EBT sebesar 38% hingga 40% di 2040. Ujung-ujungnya, tidak bisa meraup manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan. Yakni, harga listrik yang lebih murah dan kompetitif untuk jangka panjang, rendahnya emisi listrik di daerah yang menjadi daya tarik investasi, berkembangnya industri manufaktur dan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri, hingga penciptaan kesempatan kerja dari energi terbarukan (green job) yang lebih besar.
“Rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia. Karena industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi,” beber dia.
Belum lagi, penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah di 2025 dan 2030 juga tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan yang telah disepakati dengan Just Energy Transition Partnership (JETP), program kelompok negara mitra internasional yang dipimpin Inggris, yang membidik bauran energi hingga 44% pada 2030.
“Target ini selaras dengan RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu,” lanjut Fabby.
Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia berpotensi diragukan oleh investor dan dunia internasional. Karena itu, alih-alih menurunkan target dengan alasan agar realistis, DEN dan pemerintah dinilai harus lebih ambisius untuk mendorong transisi energi.
“Sebagai lembaga yang dipimpin presiden, DEN justru dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang,” tukas Fabby.