close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi deflasi. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi deflasi. Foto Freepik.
Bisnis - Makro Ekonomi
Senin, 07 Oktober 2024 17:46

Deflasi 5 bulan beruntun: Yang harus dilakukan Prabowo agar tak resesi

RI mengalami deflasi beruntun sejak Mei 2024 akibat turunnya konsumsi masyarakat. Gejolak ini dapat berujung pada resesi ekonomi.
swipe

Pergantian pemerintahan periode 2024-2029 tinggal menghitung hari. Presiden terpilih, Prabowo Subianto akan menggantikan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024. Sementara, wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka akan menggantikan KH. Ma'ruf Amin.

Sederet pekerjaan rumah menanti Prabowo dan Gibran yang resmi dinyatakan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih setelah memenangkan pemilihan umum (Pemilu) 2024 itu. Salah satunya, angka deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut akibat melemahnya konsumsi masyarakat. Jika kondisi ini berlanjut, dikhawatirkan menyebabkan resesi ekonomi.

Deflasi beruntun

Indonesia mengalami deflasi 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm) pada September 2024, yang menyebabkan deflasi beruntun sejak Mei 2024. Laju inflasi tahunan melandai. Secara tahunan alias year on year (yoy), inflasi pada September mencapai 1,84%.

Deflasi beruntun selama beberapa bulan bukan baru terjadi sekarang. Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan Indonesia beberapa kali mengalami deflasi beruntun, dengan penyebab yang berbeda-beda. Pada 1999 atau setelah krisis finansial Asia, deflasi terjadi tujuh bulan berturut-turut, yakni pada Maret 1999 hingga September 1999. Situasi tersebut merupakan efek krisis 1998 yang menyebabkan harga beberapa barang turun setelah diterpa inflasi tinggi. 

"Waktu itu ada inflasi tinggi karena terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah, tetapi kemudian tekanan depresiasinya menurun, otomatis harga-harga mulai kembali kepada keseimbangannya, ini yang menyebabkan deflasi," ujar Amalia.

Kemudian, pada penghujung 2008 juga sempat terjadi deflasi beruntun, yakni pada Desember 2008 hingga Januari 2009 yang disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia. Lalu, pada 2020 terjadi deflasi tiga bulan berturut-turut sejak Juli hingga September akibat pandemi Covid-19. Saat itu, kondisi ekonomi global maupun domestik tertekan sehingga terjadi deflasi. 

PR pemerintahan baru

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan deflasi yang terjadi saat ini merupakan indikasi melemahnya permintaan masyarakat. Kelompok kelas menengah sulit mencari pekerjaan, sementara kelas menengah atas menahan belanja lantaran khawatir situasi ekonomi akan memburuk.

"Kondisi deflasi bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi, melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja. Malah, bukan lagi tahan belanja, tapi uang yang mau dibelanjakan sudah berkurang porsinya," ujar Bhima kepada Alinea.id, belum lama ini.

Jika deflasi berlanjut, maka pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan merevisi rencana bisnisnya. Saat ini angka Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur sudah berada di bawah 50 yang menunjukkan kontraksi atau penurunan aktivitas pembelian bahan baku.

"Gejolak ini dapat berujung pada resesi ekonomi," kata Bhima.

Agar tak terjadi resesi, Bhima bilang, pemerintahan baru perlu menunda mega proyek infrastruktur dan dialihkan ke program perlindungan sosial untuk kelas menengah rentan. Kemudian, mem⁠perkuat sektor industri dengan menarik investasi yang lebih berkualitas; ⁠mendorong sektor pertanian dan perikanan berkelanjutan dengan bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih besar, misalnya untuk subsidi pupuk; serta ⁠memberikan jaring pengaman sosial tambahan bagi pekerja gig economy atau pekerja lepas.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan deflasi lima bulan beruntun merupakan kondisi yang mengkhawatirkan. Hal itu tidak terjadi dalam kondisi normal pada negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi 5%, seperti Indonesia.

"Dengan angka pertumbuhan ekonomi tersebut, biasanya terjadi inflasi seperti yang diharapkan dengan laju rendah, bisa dijinakkan, dan inflasi yang disebabkan oleh kemampuan dalam mengendalikan harga-harga, bukan inflasi yang terjadi karena pelemahan demand," kata Faisal kepada Alinea.id.

Dia mengatakan deflasi beruntun tersebut menyerupai kondisi krisis. Diperkirakan laju inflasi sepanjang 2024 akan menyentuh di bawah 2%. Angka tersebut menyamai tahun 2020 hingga 2021 saat pandemi Covid-19 melanda. Saat itu, inflasi mencapai kisaran 1,5% hingga 1,8% sepanjang tahun.

"Saya melihat ini bukan berdampak apa, tetapi deflasi sendiri merupakan dampak dari lemahnya tingkat permintaan, tingkat konsumsi," katanya.

Dia melanjutkan, tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakat melemah. Malahan, saat ini pendapatan yang bisa dikantongi oleh masyarakat jauh lebih kecil dibandingkan saat pandemi. Sebagian besar orang yang tadinya bekerja pada saat sebelum pandemi, kini belum kembali normal pekerjaannya atau justru belum bekerja. Dus, tingkat konsumsi anjlok terutama di kelas menengah dan bawah.

Padahal, kelompok menengah merupakan mesin untuk pertumbuhan ekonomi. "Orang yang punya konsumsi terbesar adalah kalangan ini dan kalau konsumsi meningkat, maka akan menggerakkan perekonomian, menggerakkan industri manufaktur dan sektor jasa-jasa. Tapi kalau konsumsinya melemah, ini yang membuat ekonomi susah bergerak, dan efeknya ke sektor yang lain," ujarnya.

Menurut Faisal, kondisi ini perlu disikapi secara cepat. Tak hanya melakukan pelonggaran kebijakan moneter, tapi pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan insentif di fiskal dan sektor riil. 

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan