Indonesia di tengah tarik-menarik kepentingan geopolitik nikel dunia
Indonesia merupakan pemain penting dalam tata niaga nikel dunia. United States Geological Survey (USGS) melaporkan negeri khatulistiwa ini memiliki cadangan bijih nikel sebesar 21 juta ton dengan produksi 800 ribu ton pada 2019. Fakta itu menempatkan Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia. Di sisi lain, Wood Mackenzie memperkirakan kebutuhan nikel dunia akan meningkat dari 2,4 juta ton pada 2019 menjadi 4 juta ton pada 2040.
Peningkatan tersebut disumbangkan oleh produksi baja tahan karat (stainless steel) dan baterai. Kebutuhan nikel untuk baja tahan karat meningkat dari 1,65 juta ton pada 2019 menjadi 1,9 juta ton pada 2040, sementara itu kebutuhan untuk baterai meningkat dari 163 ribu ton menjadi 1,22 juta ton. Meningkatnya kebutuhan baterai ini didorong oleh berkembangnya penggunaan kendaraan listrik.
Komisaris PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Raden Sukhyar menilai sumber daya nikel menjadi salah satu keunggulan komparatif Indonesia. Pertama, bijih yang diproduksi memiliki kadar nikel yang lebih tinggi dibanding negara-negara produsen di kawasan Asia Pasifik seperti Filipina, Australia, dan Kaledonia Baru. Selain itu, deposit nikel Indonesia banyak terdapat di tanah (laterit) yang lebih mudah ditambang dibandingkan deposit dalam batuan.
“Artinya dengan produksi yang sama kita mendapat kadar nikel yang lebih baik.” katanya melalui sambungan telepon, Rabu (4/11).
Kedua, jarak Indonesia lebih dekat dengan pasar utama nikel dunia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Dia menilai secara geopolitik Indonesia memiliki hubungan baik dengan keempat negara tersebut yang potensial menjadi pasar utama produk nikel Indonesia. Ketiga, keamanan dalam negeri yang terjamin membuat investor nyaman dalam melakukan aktivitas pertambangan.
“Kalau keunggulan komparatif lebih banyak dari Yang Maha Kuasa, tapi ini harus bisa diamankan bagaimana bisa menjadi keunggulan kompetitif,” tegasnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki semua komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai kendaraan bermotor listrik. Namun terkecuali untuk litium yang harus impor dari negara produsen seperti Australia, China, dan beberapa negara di Amerika Selatan dan Afrika.
Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo menambahkan besarnya cadangan nikel Indonesia menarik minat banyak investor asing. Hal ini juga berimbas pada meningkatnya harga nikel yang kini mencapai kisaran US$15.000/ton, meskipun pada awal tahun sempat jatuh hingga mencapai sekitar US$11.000/ton.
“Bisnis nikel kan lagi naik daun. Arahnya bukan stainless steel seperti sendok, garpu, dan panci, kita enggak bicara lagi terlalu kecil. Paling penting kan sekarang buat baterai untuk kendaraan bermotor. Dari mobil yang pakai listrik baterai, 70% bahannya nickel metal hybrid. Itu 70%-nya kan nikel,” ungkapnya kepada Alinea.id, Selasa (3/11).
Meskipun perusahaan kendaraan bermotor listrik (KBL) berlomba-lomba datang, Handojo menilai teknologi pengembangan baterai harus dikuasai oleh Indonesia sebagai tuan rumah. Hal ini berkaca pada dominasi China dalam industri stainless steel lantaran menguasai semua lini produksinya seperti nikel dan krom.
Indonesia hanya memiliki nikel karena masih minimnya krom yang tersedia. Sementara itu, perusahaan-perusahaan China banyak membeli dan membuka tambang krom di Afrika.
Fokus hilirisasi
Sadar akan besarnya potensi Indonesia, pemerintah tengah mendorong adanya hilirisasi nikel dalam rangka meningkatkan nilai tambah ekonomi. Hilirisasi logam di dalam negeri menjadi amanat Undang-Undang (UU) 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang kemudian direvisi oleh UU 3/2020.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi hasil olahan nikel di Indonesia didominasi oleh feronikel (FeNi) sebesar 1,1 juta ton pada 2019. Feronikel ini merupakan bahan baku dari baja tahan karat. Adapun jumlah pabrik peleburan logam (smelter) di Indonesia telah mencapai 11 unit pada tahun yang sama.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan dan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif menjelaskan pihaknya tengah mendorong hilirisasi tak hanya sebatas memproduksi FeNi, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte semata, namun juga pengolahan nikel sulfat (Ni-sulfat) dan kobalt sulfat (Co-sulfat) yang merupakan bahan baku katoda baterai Litium Nikel Kobalt Mangan Oksida (NMC) maupun Litium Nikel Kobalt Alumunium Oksida (NCA).
Tak hanya untuk kendaraan listrik, baterai ini nantinya akan menjadi komponen bagi kendaraan bertenaga listrik maupun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),
“Ada usul bagaimana supaya ada moratorium produk smelter NPI yang mendominasi produk kita. Kemudian, PPN produk jadi atau setengah jadi dan pembebanan bea masuk untuk menjaga daya saing produk dalam negeri. Ini tentunya WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) harus diperhatikan ya,” jelasnya melalui telekonferensi, Selasa (13/10).
Di sisi lain, bijih limonit yang memiliki kadar nikel rendah (<1.5%) masih jarang dimanfaatkan oleh smelter-smelter dalam negeri. Untuk menyerap bijih berkualitas rendah tersebut, pengembangan smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) atau pencucian asam bertekanan tinggi menjadi fokus pemerintah.
Smelter HPAL mampu mengolah bijih limonit menjadi Mix Hydroxide Precipitate (MHP) dan Mix Sulphide Precipitate (MSP). Dua bahan nantinya akan menjadi bahan baku Ni-sulfat dan Co-sulfat.
Irwandy menjelaskan terdapat lima smelter HPAL yang akan beroperasi antara 2021-2023. Adapun modal investasi yang dikeluarkan mencapai US$4,68 miliar dengan kapasitas keseluruhan mencapai 205.000 ton nikel murni. Selain itu, pihaknya menargetkan jumlah smelter yang beroperasi meningkat dari 11 smelter pada 2019 menjadi 29 smelter pada 2022.
“Kita ada stainless steel, industri baterai yang dirintis, kemudian RKEF (Rotary Klin-Electric Furnace), dan slag. Inilah yang selalu kita kenal sebagai pohon industri. Poin ini jadi perhatian bersama Kementerian Perindustrian semoga bisa menyerap intermediate product dan masuk ke industri lebih hilir,” jelasnya.
Produk | Kapasitas tahun 2019 | Kapasitas tahun 2022 | Jumlah smelter tahun 2019 | Jumlah smelter tahun 2022 |
Nickel Pig Iron (NPI) | 500.000 ton | 2.300.000 ton | 4 | 14 |
Nickel matte | 78.000 ton | 78.000 ton | 1 | 1 |
Feronikel (FeNi) | 1.200.000 ton | 2.200.000 ton | 5 | 11 |
NiOH | 21.000 ton | 21.000 ton | 1 | 1 |
MHP | 0 | 172.000 ton | 0 |
2 |
Menurutnya, semangat hilirisasi yang ada di UU 3/2020 tidaklah bertentangan dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang baru-baru ini disahkan oleh pemerintah karena proses pembahasannya hampir bersamaan. UU Cipta Kerja sendiri diharapkan mampu menarik minat pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia melalui penyederhanaan dan harmonisasi peraturan serta kemudahan perizinan.
“Saya pikir, jiwa daripada tujuan nilai tambah itu tetap tertampung di dalam undang-undang nomor tiga sesuai dengan yang ada di undang-undang Cipta Kerja,” ujarnya.
Meskipun demikian, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P. G. Talattov menganggap undang-undang sapu jagat tersebut bukanlah jawaban untuk menghadapi tantangan hilirisasi.
“Pada prinsipnya persoalan investasi kita tidak serta merta diselesaikan denagan kehadiran UU Cipta Kerja. Yang penting bagaimana konsistensi terhadap peraturan-peraturan yang sudah dibuat, termasuk konsistensi dalam menegakkan aturan mainnya,” tegasnya kepada Alinea.id, Kamis (28/10).
Menurutnya, investor tidak serta merta percaya dengan gimik pemerintah yang mengeluarkan undang-undang tersebut, terutama persoalan korupsi. Di sisi lain, Abra melihat pemerintah sering mentoleransi praktek-praktek yang sudah disepakati. Ia mencontohkan larangan ekspor bijih dalam waktu 10 tahun seperti yang diamanatkan UU 4/2009.
Indonesia merupakan pemain penting dalam tata niaga nikel dunia. United States Geological Survey (USGS) melaporkan negeri khatulistiwa ini memiliki cadangan bijih nikel sebesar 21 juta ton dengan produksi 800 ribu ton pada 2019. Fakta itu menempatkan Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia. Di sisi lain, Wood Mackenzie memperkirakan kebutuhan nikel dunia akan meningkat dari 2,4 juta ton pada 2019 menjadi 4 juta ton pada 2040.
Peningkatan tersebut disumbangkan oleh produksi baja tahan karat (stainless steel) dan baterai. Kebutuhan nikel untuk baja tahan karat meningkat dari 1,65 juta ton pada 2019 menjadi 1,9 juta ton pada 2040, sementara itu kebutuhan untuk baterai meningkat dari 163 ribu ton menjadi 1,22 juta ton. Meningkatnya kebutuhan baterai ini didorong oleh berkembangnya penggunaan kendaraan listrik.
Komisaris PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Raden Sukhyar menilai sumber daya nikel menjadi salah satu keunggulan komparatif Indonesia. Pertama, bijih yang diproduksi memiliki kadar nikel yang lebih tinggi dibanding negara-negara produsen di kawasan Asia Pasifik seperti Filipina, Australia, dan Kaledonia Baru. Selain itu, deposit nikel Indonesia banyak terdapat di tanah (laterit) yang lebih mudah ditambang dibandingkan deposit dalam batuan.
“Artinya dengan produksi yang sama kita mendapat kadar nikel yang lebih baik.” katanya melalui sambungan telepon, Rabu (4/11).
Kedua, jarak Indonesia lebih dekat dengan pasar utama nikel dunia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Dia menilai secara geopolitik Indonesia memiliki hubungan baik dengan keempat negara tersebut yang potensial menjadi pasar utama produk nikel Indonesia. Ketiga, keamanan dalam negeri yang terjamin membuat investor nyaman dalam melakukan aktivitas pertambangan.
“Kalau keunggulan komparatif lebih banyak dari Yang Maha Kuasa, tapi ini harus bisa diamankan bagaimana bisa menjadi keunggulan kompetitif,” tegasnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki semua komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai kendaraan bermotor listrik. Namun terkecuali untuk litium yang harus impor dari negara produsen seperti Australia, China, dan beberapa negara di Amerika Selatan dan Afrika.
Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo menambahkan besarnya cadangan nikel Indonesia menarik minat banyak investor asing. Hal ini juga berimbas pada meningkatnya harga nikel yang kini mencapai kisaran US$15.000/ton, meskipun pada awal tahun sempat jatuh hingga mencapai sekitar US$11.000/ton.
“Bisnis nikel kan lagi naik daun. Arahnya bukan stainless steel seperti sendok, garpu, dan panci, kita enggak bicara lagi terlalu kecil. Paling penting kan sekarang buat baterai untuk kendaraan bermotor. Dari mobil yang pakai listrik baterai, 70% bahannya nickel metal hybrid. Itu 70%-nya kan nikel,” ungkapnya kepada Alinea.id, Selasa (3/11).
Meskipun perusahaan kendaraan bermotor listrik (KBL) berlomba-lomba datang, Handojo menilai teknologi pengembangan baterai harus dikuasai oleh Indonesia sebagai tuan rumah. Hal ini berkaca pada dominasi China dalam industri stainless steel lantaran menguasai semua lini produksinya seperti nikel dan krom.
Indonesia hanya memiliki nikel karena masih minimnya krom yang tersedia. Sementara itu, perusahaan-perusahaan China banyak membeli dan membuka tambang krom di Afrika.
Fokus hilirisasi
Sadar akan besarnya potensi Indonesia, pemerintah tengah mendorong adanya hilirisasi nikel dalam rangka meningkatkan nilai tambah ekonomi. Hilirisasi logam di dalam negeri menjadi amanat Undang-Undang (UU) 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang kemudian direvisi oleh UU 3/2020.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi hasil olahan nikel di Indonesia didominasi oleh feronikel (FeNi) sebesar 1,1 juta ton pada 2019. Feronikel ini merupakan bahan baku dari baja tahan karat. Adapun jumlah pabrik peleburan logam (smelter) di Indonesia telah mencapai 11 unit pada tahun yang sama.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan dan Tata Kelola Minerba Irwandy Arif menjelaskan pihaknya tengah mendorong hilirisasi tak hanya sebatas memproduksi FeNi, nickel pig iron (NPI), dan nickel matte semata, namun juga pengolahan nikel sulfat (Ni-sulfat) dan kobalt sulfat (Co-sulfat) yang merupakan bahan baku katoda baterai Litium Nikel Kobalt Mangan Oksida (NMC) maupun Litium Nikel Kobalt Alumunium Oksida (NCA).
Tak hanya untuk kendaraan listrik, baterai ini nantinya akan menjadi komponen bagi kendaraan bertenaga listrik maupun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),
“Ada usul bagaimana supaya ada moratorium produk smelter NPI yang mendominasi produk kita. Kemudian, PPN produk jadi atau setengah jadi dan pembebanan bea masuk untuk menjaga daya saing produk dalam negeri. Ini tentunya WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) harus diperhatikan ya,” jelasnya melalui telekonferensi, Selasa (13/10).
Di sisi lain, bijih limonit yang memiliki kadar nikel rendah (<1.5%) masih jarang dimanfaatkan oleh smelter-smelter dalam negeri. Untuk menyerap bijih berkualitas rendah tersebut, pengembangan smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) atau pencucian asam bertekanan tinggi menjadi fokus pemerintah.
Smelter HPAL mampu mengolah bijih limonit menjadi Mix Hydroxide Precipitate (MHP) dan Mix Sulphide Precipitate (MSP). Dua bahan nantinya akan menjadi bahan baku Ni-sulfat dan Co-sulfat.
Irwandy menjelaskan terdapat lima smelter HPAL yang akan beroperasi antara 2021-2023. Adapun modal investasi yang dikeluarkan mencapai US$4,68 miliar dengan kapasitas keseluruhan mencapai 205.000 ton nikel murni. Selain itu, pihaknya menargetkan jumlah smelter yang beroperasi meningkat dari 11 smelter pada 2019 menjadi 29 smelter pada 2022.
“Kita ada stainless steel, industri baterai yang dirintis, kemudian RKEF (Rotary Klin-Electric Furnace), dan slag. Inilah yang selalu kita kenal sebagai pohon industri. Poin ini jadi perhatian bersama Kementerian Perindustrian semoga bisa menyerap intermediate product dan masuk ke industri lebih hilir,” jelasnya.
Produk | Kapasitas tahun 2019 | Kapasitas tahun 2022 | Jumlah smelter tahun 2019 | Jumlah smelter tahun 2022 |
Nickel Pig Iron (NPI) | 500.000 ton | 2.300.000 ton | 4 | 14 |
Nickel matte | 78.000 ton | 78.000 ton | 1 | 1 |
Feronikel (FeNi) | 1.200.000 ton | 2.200.000 ton | 5 | 11 |
NiOH | 21.000 ton | 21.000 ton | 1 | 1 |
MHP | 0 | 172.000 ton | 0 |
2 |
Menurutnya, semangat hilirisasi yang ada di UU 3/2020 tidaklah bertentangan dengan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang baru-baru ini disahkan oleh pemerintah karena proses pembahasannya hampir bersamaan. UU Cipta Kerja sendiri diharapkan mampu menarik minat pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia melalui penyederhanaan dan harmonisasi peraturan serta kemudahan perizinan.
“Saya pikir, jiwa daripada tujuan nilai tambah itu tetap tertampung di dalam undang-undang nomor tiga sesuai dengan yang ada di undang-undang Cipta Kerja,” ujarnya.
Meskipun demikian, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P. G. Talattov menganggap undang-undang sapu jagat tersebut bukanlah jawaban untuk menghadapi tantangan hilirisasi.
“Pada prinsipnya persoalan investasi kita tidak serta merta diselesaikan denagan kehadiran UU Cipta Kerja. Yang penting bagaimana konsistensi terhadap peraturan-peraturan yang sudah dibuat, termasuk konsistensi dalam menegakkan aturan mainnya,” tegasnya kepada Alinea.id, Kamis (28/10).
Menurutnya, investor tidak serta merta percaya dengan gimik pemerintah yang mengeluarkan undang-undang tersebut, terutama persoalan korupsi. Di sisi lain, Abra melihat pemerintah sering mentoleransi praktek-praktek yang sudah disepakati. Ia mencontohkan larangan ekspor bijih dalam waktu 10 tahun seperti yang diamanatkan UU 4/2009.
Demam kendaraan listrik
Terkait pengembangan kendaraan listrik, pemerintah telah mengaturnya dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik. Peraturan ini juga menjadi peta jalan bagi pengembangan industri KBL di Indonesia.
Dalam Pasal 6, perusahan industri KBL berbasis baterai dan/atau komponennya diwajibkan mendirikan fasilitas manufaktur di dalam negeri, baik sendiri maupun melalui kerja sama dengan mitra dalam negeri. Kemudian, Pasal 8 menyebut adanya kewajiban pemenuhan Total Komponen Dalam Negeri (TKDN) hingga 80% untuk kendaraan roda dua atau tiga mulai 2026 dan kendaraan roda empat atau lebih mulai 2030.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Taufiek Bawazier mengungkapkan pemerintah membuka peluang investasi pengembangan KBL di Indonesia, baik bagi pemain baru maupun pemain lama yang mengkonversi produksinya dari kendaraan berbasis ICE (Internal Combustion Engine) bertenaga bahan bakar minyak (BBM) menjadi kendaraan bertenaga listrik.
“Kita memang punya resource nikel banyak. Kita upayakan smelter-smelter kita bangun dan akan ada investasi konsorsium untuk membangun baterai Harus dipikirkan OEM (Original Equipment Manufacturer) itu mau terima inline dengan yang dihasilkan industri baterai itu sendiri. OEM ini juga penting di guidance bahwa dia mau menghasilkan produk EV (kendaraan listrik),” tuturnya dalam webinar yang diadakan oleh Bappenas, Rabu (14/10).
Menurutnya, pasar otomotif Indonesia masih berpotensi untuk tumbuh lantaran rasio kepemilikan mobil Indonesia masih mencapai 87 per 1.000 penduduk, jauh di bawah negara ASEAN lainnya seperti Brunei (771 per 1.000 penduduk), Malaysia (439 per 1.000 penduduk), Thailand (228 per 1.000 penduduk), dan Singapura (147 per 1.000 penduduk).
Dalam paparannya, Taufiek menjelaskan pemerintah masih fokus dalam penguatan produksi kendaraan ICE dalam 3-5 tahun mendatang. Namun, fokus perlahan mulai bergeser ke arah inisiasi produksi sepeda motor listrik lokal dalam 5-10 tahun mendatang dan inisiasi produksi mobil listrik lokal 10-15 tahun mendatang. Ini juga seiring dengan fokus pengembangan kendaraan rendah karbon (Low Carbon Emission Vehicle/LCEV) dan kendaraan hijau berbiaya rendah (Low Cost Green Car/LCGC).
Taufiek mengaku bahwa harga baterai kendaraan listrik masih mahal. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberi insentif fiskal sebagaimana amanat Perpres 55/2019, mendorong perbankan memberi bunga kredit yang rendah, serta menyediakan berbagai infrastruktur yang diperlukan bagi ekosistem kendaraan listrik.
Dia menambahkan beberapa investor telah berminat dalam mengembangkan kendaraan listrik di Indonesia. Ia menyebut Hyundai Motor Company asal Korea Selatan yang sudah berkomitmen membangun pabrik mobil berkapasitas 250 ribu unit dan akan selesai antara 2021-2023. Nilai investasi yang dikucurkan mencapai US$1,55 miliar.
Beberapa waktu lalu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga mengkonfirmasi rencana Tesla, pabrikan kendaraan listrik asal Amerika Serikat yang akan membuka pabrik di Batang, Jawa Tengah. Pemerintah dan Tesla masih dalam tahap diskusi.
“Pada ujungnya market yang menentukan apa yang lebih efisien dan punya daya beli apa, sehingga bisa masuk ke produk-produk apa yang dibuat Indonesia. Tentunya skala ekonomi ada di pihak OEM untuk membangun pabriknya dan melihat pasar,” jelasnya.
Indonesia berdikari, asing bereaksi
Langkah pemerintah Indonesia yang ingin mengolah nikelnya sendiri mendapat tentangan dari asing. Salah satunya Uni Eropa (UE) yang menggugat kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia ke WTO.
Direktur Perundingan Multilateral Kementerian Perdagangan (Kemendag) Dandy Satria Iswara mengatakan Indonesia dan UE sudah melakukan konsultasi di WTO awal tahun ini. Pemerintah telah menyampaikan kebijakan yang ditempuh semata-mata sebagai upaya menjaga sumber daya alam kita secara optimal dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia di WTO.
“Pihak UE meminta beberapa penjelasan yang bersifat teknis, tapi kita sudah jawab pada pertemuan konsultasi tersebut,” tulisnya melalui pesan singkat, Senin (2/11).
Adapun penjelasan yang diminta UE adalah persyaratan izin ekspor dan berbagai informasi terkait kebijakan mineral dan batubara. Tahap selanjutnya, adalah sidang panel, namun hingga kini masih belum ada permintaan pembentukan panel dari UE.
“Itu tergantung dari UE, tapi pemerintah tentu tetap terbuka apabila UE ingin berkonsultasi kembali,” ujarnya.
Raden Sukhyar yang juga Mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM berpendapat sikap UE didasarkan dari adanya kebutuhan terhadap bijih nikel sebagai bahan baku industri.
Meski menunjukkan perlawanan, Uni Eropa hanya berkontribusi sekitar 5% dari keseluruhan produk nikel Indonesia. Ia menyebut negara-negara Asia Timur seperti China, Jepang, dan Korea Selatan sebagai pangsa pasar utama.
“Bijih kan tidak berharga yang berharga logamnya. Kalau mau, beli aja dong metalnya dari tanah. Kamu kalau butuh metalnya datang dong ke kita, harusnya kan begitu. Jadi kita juga ingin maju selangkah gitu lho dari bijih ke metal,” tegasnya.
Menurutnya, kebijakan pelarangan ekspor juga membuat China kelimpungan dan membangun smelter di Indonesia. Perusahaan asal Negeri Tirai Bambu tersebut bahkan memproduksi NPI dan FeNi untuk kemudian diekspor ke China dan diolah menjadi stainless steel. Baja tahan karat tersebut dijual ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, Sukhyar berharap pemerintah melakuan pembatasan terhadap pembangunan smelter, terutama yang memproduksi NPI dan FeNi dan fokus pada produksi bahan baku baterai berbasis nikel.
“Mereka banyak masuk ke Indonesia, membawa duit, membawa barang modalnya, teknologinya. Artinya apa? Nikel kita membawa daya tarik. Apa boleh buat dengan kebijakan hilirisasi pintunya kita buka, tapi arah hilirisasinya itu masih ditentukan pihak luar,” ungkapnya.
Negara kecolongan
Jonatan Handojo dari AP3I mengungkapkan negara selama ini kecolongan dalam upayanya melakukan hilirisasi nikel. Hal ini terjadi di dalam Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang devisa hasil ekspornya tidak tercatat di Indonesia. Belum lagi, adanya fasilitas pembebasan pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan China di Morowali.
“Jadi mereka transaksi jual-beli lewat Bank di China. Jadi itulah sebabnya tidak ada L/C (Letter of Credit) yang masuk karena tidak ada Bank Lokal Indonesia yang dapat menampung transaksi jual beli mereka,” terangnya.
Persyaratan yang dimaksud Handojo adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) PBI 21/14/PBI 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Pembayaran Impor. Peraturan tersebut mencabut ketentuan PBI 21/03/PBI 2019 tentang Penerimaan DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam, kecuali mengenai penyampaian informasi dan laporan terkait penerimaan DHE SDA yang masih berlaku hingga 31 Desember 2020. Dengan kata lain, ketentuan mengenai sanksi ditangguhkan hingga akhir tahun.
“Katanya dijual naik kapal kirim ke China, tapi kok di Indonesia enggak dapat duit apa-apa? Ternyata, saya sudah bongkar. Itu ternyata transaksinya dibikin seolah-olah beli dagangan di China, biarpun barangnya di Indonesia,” ungkapnya.
Handojo melihat kehadiran investor asal China di Morowali mulai mengganggu eksistensi perusahaan-perusahaan nikel yang ada sebelumnya. Ia mencontohkan penjualan 20% saham INCO (PT Vale Indonesia. Tbk) kepada MIND ID (Mining Industry Indonesia) sebagai salah satu upaya konsolidasi untuk memperkuat permodalan.
Oleh karena itu, pria yang sudah menekuni bisnis smelter sejak 2010 ini berharap pemerintah membuat peraturan agar investor asing tidak berbuat seenaknya dan konsisten dalam penegakannya. Handojo mencontohkan kebijakan penghentian sementara ekspor bijih nikel selama 1-2 minggu pada akhir 2019 silam sebelum diberlakukan secara permanen mulai 1 Januari 2020.
“Kita masih punya nikel dan kita atur nikel ini agar dikuasai betul-betul. Makanya sudah ketahuan begini. Coba kita atur jangan macam-macam harus ikuti aturan Indonesia. Enak bebas mereka enggak bayar apa-apa ke Indonesia kan gila. Itu kita orang dibodohin lah,” tegasnya.
Menuju produsen nikel kelas dunia
Dengan potensi yang ada, Ketua Indonesia Smelter and Mineral Processing Association (ISPA) Raden Sukhyar menilai sebenarnya Indonesia mampu menjadi pemain penting dalam industri berbasis nikel.
Sukhyar menjelaskan Antam telah mengembangkan smelter feronikel sejak 1976, sedangkan China baru mengembangkannya mulai tahun 2000-an. Ironinya, kini China menjadi yang terdepan dalam teknologi pengolahan feronikel. Belum lagi, INCO juga memiliki pengalaman panjang dalam bisnis smelter di Indonesia.
Menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, terutama dalam aspek pendanaan dan teknologi yang selama ini menjadi masalah utama dalam hilirisasi nikel.
“Dalam konteks pengembangan industri berbasis nikel ada empat unsur. Satu demand, ada kebutuhan dan permintaan enggak? Kedua, dari supply side, ada enggak bahan bakunya? Ketiga, teknologi dan inovasi. Keempat, kebijakan negara, misalnya dalam konteks kebijakan pertambangan, lingkungan, dan pendanaan,” terangnya.
Untuk menjamin kelangsungan pasar, kata Sukhyar, aliansi dengan negara-negara konsumen nikel harus dijalin. Nikel, kata dia, harus dijadikan sebagai posisi tawar untuk menghasilkan aliansi yang menguntungkan bagi Indonesia.
“Kita punya nikel lho, mari kita kerjasama. Kalian punya teknologi canggih dan kita pasok baterainya. Bagaimana kita jadi bargaining position (posisi tawar) yang kuat untuk membangun hilirisasi sejauh mungkin,” katanya.
Sukhyar menambahkan pemerintah juga mesti berperan aktif dalam mendorong inovasi dan menciptakan permintaan. Ia mengapresiasi langkah pemerintah yang memberi insentif pemotongan pajak super (super tax deduction) bagi perusahan yang melakukan kegiatan vokasi dan riset untuk mendorong inovasi.
Terkait permintaan, pemerintah harus dapat memastikan bahan baku yang digunakan berasal dari dalam negeri serta mendorong produsen dan konsumen dalam negeri untuk duduk bersama.
“Kemudian, kalau kita punya resources bagus, kita lihat di dalam negeri. Kita punya populasi terbesar di Asia Tenggara. Market size kita gede banget tuh. Pertanyaannya apakah kita bisa memproses nikel sampai produk tertentu? Mungkin sampai finished product yang bisa dimanfaatkan di dalam negeri,” ujarnya.
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel yang berjudul "Asa hilirisasi sang raja nikel dunia".