RI tempuh jalur litigasi lawan diskriminasi sawit Uni Eropa
Indonesia semakin serius mengecam diskriminasi Uni Eropa (UE) terhadap komoditas kelapa sawit.
Saat ini upaya yang dijalankan pemerintah telah masuk kepada tahap litigasi atau upaya gugatan ke pengadilan internasional Organisasi Perdagangan In ternasional (World Trade Organization/WTO).
Sementara gugatan dari para pengusaha akan disodorkan melalui Pengadilan Tinggi Uni Eropa (the Court of Justice/CJEU).
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan strategi ini telah matang dipersiapkan pemerintah RI.
"Kita tidak akan tinggal diam dengan Eropa. Diplomasi sudah dilakukan, dan langkah kita sekarang sudah mengarah kepada litigasi (WTO), sedangkan untuk perusahaan atau asosiasi kita dorong melalui CJEU," ujar Oke Nurwan di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (25/3).
Staf Khusus Menteri Luar Negeri Peter F Gontha menuturkan pemerintah telah menggalang dukungan dari berbagai lembaga, salah satunya dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut dia, DPR sudah mengirim surat juga kepada parlemen Eropa.
“Jadi sekarang kita tinggal tunggu masa pemiilihan umum parlemen di Eropa selesai dulu. Kita akan lihat 3-4 hari ke depan," katanya.
Selain DPR, pemerintah juga akan terus menggalang dukungan lewat lembaga swadaya masyarakat (Non Governmental Organization/NGO) terkait dengan kelapa sawit nasional.
"Indonesia menjadi salah satu negara yang paling aktif mengikuti persyaratan-persyaratan supaya kita juga dianggap dunia bahwa kita, memperhatikan 'climate change'," ucapnya.
Setelah hasil sidang Parlemen Eropa diumumkan dan menyimpulkan penolakan yang sama, maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan Indonesia adalah mengajukan gugatan lewat Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
"Ini kita harus perjuangkan," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, pada 13 Maret 2019 lalu, Komisi Eropa telah meloloskan aturan pelaksanaan atau 'delegated act' dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II).
Beleid ini secara jelas merencanakan penghapusan secara bertahap penggunaan biofuel berbasis minyak kelapa sawit (CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.
Meski belum diterapkan, kebijakan ini rencananya secara resmi berjalan setelah mendapat ijin dari sidang Parlemen Eropa pada sekitar tanggal 25-28 Maret 2019 atau paling lambat 15 April 2019 mendatang.
Neraca perdagangan Uni Eropa defisit
Di sisi lain, Peter menduga langkah diskriminasi yang dilancarkan UE terhadap komoditas kelapa sawit terjadi sebab Benua Biru itu tengah fokus memperbaiki neraca perdagangannya.
Perdagangan UE ke Indonesia tercatat mengalami defisit. Sebaliknya, perdagangan kelapa sawit RI ke UE justru selalu tercatat surplus.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan pada 2018, neraca perdagangan Indonesia ke UE mengalami surplus, bahkan selama lima tahun terakhir. Tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke UE sebesar US$17,1 miliar, sebaliknya impor UE ke Indonesia sebesar US$14,1 miliar.
Total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa mencapai USD31,2 miliar atau meningkat 8,29% dibandingkan periode yang sama tahun 2017 (year on year/yoy). UE sendiri merupakan tujuan ekspor dan asal impor nonmigas terbesar ke-3 bagi Indonesia.
Meski UE tak pernah mengisyaratkan secara jelas masalah tersebut, akan tetapi UE acap kali mengampanyekan secara negatif terkait penanaman sawit dengan menyebutnya berisiko tinggi terhadap deforestasi.
Padahal di Indonesia sendiri, sejak lama sudah dilakukan berbagai langkah perbaikan terhadap dampak lingkungan atas hal tersebut.
Perbaikan itu pun terlihat dengan menurunnya perusakan hutan akibat budidaya kelapa sawit yang mana sebelumnya sempat mencapai 2 juta hektare (ha) per tahun, menjadi hanya 400 ribu ha per tahun pada 2018.
Artinya, terjadi perbaikan hingga 1,6 juta ha dan kemudian mematahkan kampanye negatif UE terkait budi daya sawit.
"Jadi pertanyaan sekarang adalah dengan mereka mau banned kelapa sawit kita, apakah mereka mencoba untuk melakukan diskriminasi agar neraca dagang berubah juga?," ujar Peter.
Ancaman boikot tidak tepat
Di sisi lain, pemerintah Indonesia mengancam untuk memboikot produk-produk Uni Eropa, sebagai dampak dari diskriminasi sawit.
Ekonom UI Fithra Faisal menilai, tindakan dinilai terlalu tergesa-gesa dan pemerintah Indonesia bisa dicap oleh dunia sebagai negara yang tidak memahami kerja sama internasional.
“Produk CPO itu tidak termasuk ke dalam kesepakatan dagang antara Indonesia dan Eropa,” kata dia.
Persoalan ini menurut Fithra dinilai sangat abstrak dan subjektif, sehingga kata dia Indonesia bisa melakukan dengan pendekatan yang sifatnya informal.
Terlebih, Indonesia saat ini memiliki peluang dengan Uni Eropa untuk melakukan kerja sama ekonomi komprehensif (comprehensive economic partnership agreement/ CEPA).
Selain itu, Fithra mengatakan langkah pemerintah membuat suatu pengumuman untuk melakukan boikot melalui media atau publik, merupakan tindakan yang semestinya tidak dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Pasalnya, saat ini, fasilitas perdagangan dengan UE berupa generlized system of preference (GSP) bisa terancam dicabut.
Untuk diketahui GSP merupakan salah satu fasilitas perdagangan Internasional yang didapat Indonesia dari UE berupa pembebasan bea masuk ekspor.
Produk yang mendapatkan fasilitas ini antara lain produk hewan hidup dan produk hewani, kecuali ikan serta minyak hewani atau nabati, lemak, dan lilin.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan pemerintah sebaiknya mengambil langkah taktis yang terukur, salah satunya bisa dengan menaikkan pajak atau tarif bea masuk barang dari UE.
Misalnya, produk otomotif asal Eropa dikenakan PPnBM lebih tinggi dan PPh impor lebih besar lagi. Begitu juga dengan model hambatan non tarif seperti kuota impor ikan salmon asal Norwegia.
Langkah lain, Indonesia juga bisa melakukan kampanye positif di Eropa untk membentuk opini publik bahwa sawit indonesia sudah memenuhi standar lingkungan. Indonesia juga semetstinya bisa membuka partner ekspor baru diluar negara UE.
"Perkuat tim negosiasi untk melobi parlemen eropa. Optimalkan seluruh sumber daya termasuk peran kedutaan besar dan atasi perdagangan di eropa," ujar Bhima.
Untuk diketahui nilai ekspor Indonesia ke UE pada 2018 mencapai US$17,09 miliar atau memiliki porsi 10,47% dari keseluruhan ekspor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jilai ekspor ke UE menjadi yang terbesar keempat setelah Asean, China, dan Amerika Serikat (AS).